10. Charlotte Gainsbourg – Rest

Pucatnya hitam-putih adalah wajah yang tepat untuk Rest. Muram dan murung. Musikus cum aktris asal Perancis ini tengah merapah duka. Ia menulis lagu-lagu soal kematian, termasuk yang lebih spesifik tentang kecanduan alkohol yang menjemput nyawa ayah dan saudara tirinya. Beginilah Gainsbourg bernyanyi, lirih seperti setengah berbisik dan menganyam hawa kelimut dengan bahasa Inggris dan Perancis. Aransemen yang dramatik dibangun menjadi panggung melankolia, seperti dalam “Kate” atau “Ring-A-Ring O’Roses”. Contoh terbaik dari semua upaya estetika ini adalah “Deadly Valentine”, ketika Gainsbourg melafalkan sumpah perkawinan diiringi irama backbeat berulang-ulang.
9. Aimee Mann – Mental Ilness
Sentuhan folky tersyahdu tahun ini dimenangkan justru oleh seseorang yang baru mencoba-coba lebih serius dengan gitar akustik dan perkusi. Mental Illness dibuka dengan “Goose Snow Cone” yang menghembuskan hawa sejuk ke sekujur batin. Ide lagu itu muncul tatkala Aimee Mann sedang menonton foto seekor kucing putih bernama Goose milik kawannya di Instagram. Semua memang terdengar enteng di album ini, bahkan termasuk saat ia berkisah soal pengidap bipolar dalam “Lies of Summer”. “Saya menulis secara lebih lembut, sejumlah lagu-lagu melankolia yang mana merupakan karya yang paling mudah dibuat dan menyenangkan untuk saya. Materi ini bukan sesuatu yang digarap dengan hati-hati. Lebih seperti melakukan apa yang kamu ingin lakukan saja,” tukasnya kepada Stereogum. Impaknya sama ke pendengar. Mental Illness menjadi salah satu album yang begitu gampang membuat larut hingga kadang kita lupa sampai sejauh mana.
8. The War On Drugs – A Deeper Understanding
The War On Drugs melanjutkan pengembaraannya dengan bekal pengembangan formula musikal yang tepat dari Lost In The Dream (2014). Soundscapes dengan tekstur yang khas, terang dan lapang untuk upaya pencarian spiritualnya. Ada dua unsur yang akan menemani perjalanan mendengarkan aransemen A Deeper Understanding yang menghanyutkan ini. Pertama, lirik-lirik kontemplatif seperti “I remember walking against the darkness of the beach / Love is like a ghost in the distance, ever-reached / Travel through the night because there is no fear / Alone but right behind until I watched you disappear“. Kedua, gemerincing gitar yang seakan muncul dari keterasingan. Album ini diganjar nominasi dari Grammy, penghargaan yang selalu terlambat itu. Terkutuklah para juri jika masih saja tuli.
7. Courtney Barnett – Lotta Sea Lice (ft Kurt Vile)
Sejak masing-masing membuat karya indie rock hebat di tahun 2015 plus sama-sama punya gejala berwatak slackers, banyak hal yang membuat Barnett dan Vile rasanya wajar saja punya relasi. Akan tetapi, siapa kira sampai bakal membuat sebuah album kolaborasi? Hasilnya, sudah diduga akan berakhir tidak terduga. Album ini seperti rekaman obrolan tidak terencana dalam studio di sela-sela jamming. Kiranya diawali dengan basa-basi saling memuji, hingga akhirnya buka-bukaan proses kreatif pengaryaan satu sama lain, termasuk rasa bosan memainkan lagu yang berulang-ulang di atas panggung (“On Script”), curhatan kendala writer’s block (“Let It Go”), dan momen kesepian yang kerap memotivasi penciptaan lagu (“Over Everything”). Memang secara karakter musik akan lebih cocok jika atribut album ini adalah “Kurt Vile ft Courtney Barnett” dibanding sebaliknya. Oh, tapi yakinlah mereka lebih suka berdebat soal mana yang lebih enak antara membuat verse atau chorus duluan daripada ambil pusing dengan itu.
6. Blanck Mass – World Eater

Sebagai sebuah karya musik elektronik-eksperimental, World Eater memang layak mendapat atensi lebih. Kontennya variatif dan liar, tidak terpelihara pada satu nuansa, bahkan pada bentuk sekalipun, namun anehnya tak terdengar tercerai berai pula. Benjamin John Power sebagai orang di belakang Blanck Mass berhasil menyusun rangkaian bebunyian yang kuat untuk mengenyangkan adrenalin.“Rhesus Negative” menjejalkan gempuran kick-drum techno yang nikmat di kepala.“The Rat” seperti musik latar untuk game simulator pesawat tempur di momen-momen tersengitnya. Segala detail suara yang muncul tersaji rapi dalam kacau. Bahkan, deras suara hujan dalam “Minnessota/ Eas Fors/ Naked” saja begitu meneror. Tapi jelas World Eater bukan karya dekonstruktif, melainkan konstruktif karena masih bisa dinikmati sebagaimana musik-musik reguler. Sebuah album niche yang sayang jika tak diperdengarkan lebih luas.
5. Lorde – Melodrama

Jika Pure Heroine (2013) adalah pesta dansa remang-remang, maka Melodramaadalah pesta dansa gemerlap bertabur warna. Persamaannya? Keduanya tidak mengundang siapapun, melainkan dihelat privat untuk dirinya seorang. Ia menghibur, menangisi, menasihati, dan berusaha memahami pribadinya sendiri. Memenuhi hasrat Melodrama lebih sulit, karena ini tentang bagaimana aransemen meriah tidak menyembunyikan rasa kesepiannya. “Green Light”, “Supercut”, dan “Perfect Place” berhasil melakukannya. Ah, bisa jadi sebenarnya Lorde tidak benar-benar teralienasi, ini hanya perasaan alamiah ala remaja. Fase perkembangan emosi yang natural dan indah untuk usianya. Sama seperti suaranya yang memancarkan kedewasaan sekaligus keluguan, talentanya di usia belia masih tak tertandingi tanpa harus membuat kita merasa umurnya terkhianati.
4. Slowdive – Slowdive

Asal dikerjakan dengan baik, tren musik lama bisa diandalkan lagi sampai saat ini dengan menarik, bahkan tanpa harus melibatkan banyak kebaruan. Slowdive sempat menjadi pelaku dalam kancah yang disebut the scene that celebrates itself lalu menjadi salah satu eksponen esensial gelombang shoegaze di dekade 90-an. Persis seperti MBV dari My Bloody Valentine, mereka kemudian meloncati 22 tahun dan hadir kembali. Sementara shoegaze belakangan tengah seret akan keluaran progresif yang meroket, Slowdive menawarkan daya tarik dengan formula-formula lama. “Slomo” yang membuai hingga dream pop dalam “Falling Ashes” terdengar familier. Materi-materi ini mungkin dulunya punya peluang dirilis akhir dekade 90-an, namun musik bagus ternyata memang tidak mengenal masa.
3. Run The Jewels – Run The Jewels 3

Setelah dua album pertamanya direspons dengan baik oleh kritikus dan penggemar hip hop politis, ada semangat perayaan dalam Run The Jewels 3. El-P dan Killer Mike membuka album dengan “Down” yang memamerkan optimisme empat tahun karier mereka. Mereka juga punya braggadocio sangar dalam “Legend Has It”: “Hear what I say, we are the business today / Fuck shit is finished today (what) / RT & J, we the new PB & J / We dropped a classic today (what)”. Di seberang materi hura-hura itu, album ini memuat energi ketegangan yang paling dekat dengan idola mereka, Public Enemy. Simak “Talk To Me” yang ambisius: “You think baby Jesus killed Hitler just so I’d whisper? / And you’re safe and sound and these crooks tapped your phone to not have a file on you?”. Run The Jewels tak hanya menggasak simpatisan Trump atau terdeteksi fasis, melainkan juga liberal moderat dan orang-orang yang tak mencoba melakukan perubahan. Mengutip El-P, mereka “tetap gegabah di hadapan petaka.”
2. St Vincent – Masseduction

Kian yakin bahwa St Vincent adalah figur paling jenius dari gelombang suara wanita dalam musik rock di abad ke-21 ini. Kepiawaiannya menghasilkan melodi yang kuat dalam celah-celah sempit aransemen yang kompleks, eksperimental, dan terkadang kaku memang istimewa. Masseduction lebih dari berhasil untuk mengulanginya lagi sejak diawali dengan dua lagu yang menghantui:“Hang On Me” yang mengambang seperti suara dalam telepon, dan chorus berakses robotik namun catchy dalam “Pills” yang repetitif: “Pills to wake, pills to sleep / Pills, pills, pills every day of the week / Pills to walk, pills to think”. Sepasang lagu terbaik di album ini mencatut nama kota besar, yakni “New York” dan “Los Ageless”. Kita akan tahu seberapa berarti kedua lingkungan itu untuknya. “Jika Anda ingin tahu kehidupan saya, dengarkan album ini,” ucapnya di rilis resmi album ini. Terlalu berisiko, semakin dekat dengan kehidupannya, semakin mabuk kepayang kita dibuatnya.
1. Kendrick Lamar – DAMN
Tahun 2017, tak terhitung adanya bermacam aliran hip hop. Semua berlomba-lomba mencuri perhatian dengan eksperimen dan pengembangannya masing-masing. Namun, DAMN menjadi jawara justru hanya karena fokus pada dua pilar dasar: Beat yang hebat dan lirik yang kuat. Oldschool, tradisional, dan galak.
Tahun 2017, berbondong-bondong musisi dari latar belakang estetika apapun menulis lirik bertemakan sosial politik, rasisme, feminisme, nuklir, kiamat kemanusiaan, dan sebagainya. Tentu semuanya dalam rangka duka cita atas tindak tanduk Trump. Namun, DAMN menjadi jawara karena enteng saja menunjukan perbedaan kualitas untuk seseorang yang sudah terbiasa melakukannya sejak dulu.
Tahun 2017, Jay Z merilis album dengan persandingan consciousness rap dan curhat perkara rumah tangga selebritasnya, begitu juga album anyar Eminem yang menitikberatkan teknik rap yang ambisius. Namun, DAMN menjadi jawara karena kesempatan mereka sudah habis.
Hari ini adalah era Kendrick Lamar.
Simak juga:
- lis 10 Lagu Internasional Terbaik 2017 dari WARN!NG!
- lis 10 Album Indonesia Terbaik 2017 dari WARN!NG!
- lis 10 Lagu Indonesia Terbaik 2017 dari WARN!NG