
Director : Dandhy Dwi Laksono
Durasi : 78 menit
Casts : Nita, Amin Jalalen, Suparno, Sutara
Jika bioskop kita kemasukan Jalanan pada awal tahun 2014 lalu, maka akhir September lalu Yangketu7uh hadir sebagai film alternatif selanjutnya untuk menghiasi layar lebar kita. Sebuah dokumenter garapan WatchDoc ini buah karya dari 19 videografer yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono. Film ini berusaha menjelaskan sebuah pesta paling meriah di Indonesia tahun 2014, pesta yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat baik masyarakat yang nyata maupun yang maya. Pesta yang dianggap sebagai bentuk demokrasi tertinggi. Atau gampangnya sebut saja pemilu.
Di bagian awal kita disuguhkan footage kala ribuan rakyat Indonesia menyambut kedatangan Soekarno dengan penuh suka cita, ditambah dengan pidato khas Soekarno yang menggelegar membuat semua orang yang ada di rekaman itu berkobar. Sajian footage dari Arsip Nasional ini mengajak penonton kilas balik menapaki jejak demokrasi Indonesia pasca merdeka sebagai nalar awal pondasi berpikir dalam memahami dokumeter ini.
Secara umum, film ini saya petakan menjadi dua dimensi: dimensi mewah dan dimensi bawah. Dimensi mewah adalah dimensi para politisi yang digambarkan saat melakukan kampanye, mengobral janji dan menebar retorika mainstream dalam berjualan politik di negeri ini. Dimulai dari serpihan video saat Jokowi menjabat sebagai walikota Solo tahun 2006 dan perjalanan politik Prabowo saat mendampingi Megawati pada bursa Pilpres tahun 2009 silam. Entah mengapa Dandhy Laksono tidak meyelipkan rekam jejak karir militer Prabowo. Tak begitu kronologis, dimensi mewah ini terlihat begitu tergesa-gesa dalam menggambarkan situasi Pemilu 2014 mulai dari kampanye, penghitungan suara sampai pada penetapan presiden terpilih. Tak segamblang pemberitaan di media massa.
Sedangkan dimensi bawah adalah orang-orang marjinal yang setengah mati berusaha keras mempertahankan hidupnya untuk tinggal di tanah air. Orang-orang marginal di sini direpresentasikan oleh empat orang narasumber diantaranya Nita seorang janda berusia 60 tahun di Tangerang, Amin Jalalen seorang petani penggarap, Suparno seorang buruh bangunan dan Sutara tukang ojek dari Jakarta.
Keempat orang ini saling berkeluh-kesah tentang masalah prbadinya. Misalnya saja Nita yang bekerja menjadi buruh cuci dan asisten rumah tangga ini harus menghidupi kelima anaknya. Tak heran jika prioritas hidup utamanya adalah memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak-anaknya. Dalam Yangketu7uh, Nita berkali-kali mengeluarkan kata ‘bantuan’ atau ‘subsidi’ sebagai bentuk kepedulian negara terhadap wong cilik sekaligus harapan dari pribadi Nita.
Dari keempat narasumber, Suparno dan Sutara memiliki gambaran hidup yang paling ekstrim. Mereka tinggal berdesakan diantara 49.150,27 jiwa/km2 di pusat Jakarta, tepatnya kawasan Tanah Tinggi, Johar Baru. Gilanya lagi, mereka mendiami rumah sebesar 6,65 meter persegi dan hanya ada satu MCK umum. Bisa tak bisa, Sutara harus mencukupi kebutuhan lima anak beserta istrinya. Sama halnya dengan Suparno, orang yang baru saja mengajukan proposal untuk pembangunan mushola dan rumah deret kepada Jokowi tapi dengan terang-terangan justru memilih Prabowo sebagai presiden.
Lain Suparno lain pula Amin Jalalen. Petani penggarap asal Indramayu ini tubuhnya kurus, gaya bicaranya sederhana, namun kritis terhadap kondisi negara. Lihat saja bagimana Amin mempertanyakan Undang-Undang Dasar 1945 tentang kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat. Karena sebagai petani penggarap lahan milik negara, ia harus membayar sewa tanah. Amin menjadi sosok yang paling istimewa dalam sajian dokumenter ini. Ketiga tokoh lainnya cenderung berkeluh-kesah menceritakan kesulitan hidup dan cara mensiasatinya, namun Amin hadir sebagai rakyat biasa yang ‘mampu’ mendiskusikan intisari masalah negara paling tidak dalam tiga pokok bahasan: pertanian, pangan, permukiman.
Sayang sekali upaya perkawinan silang antara dimensi mewah dan dimensi bawah ini masih terasa sulit untuk dipertemukan menjadi benang merah. Perspektif pesta demokrasi masih terlalu melebar ke urusan-urusan pribadi. Jika kita menilik karya-karya WatchDoc lainnya seperti Alkinemokiye (2011) yang mendokumentasikan tentang kondisi buruh di Freeport Papua atau Kubur Kabar Kabur (2014) sebuah dokumenter tentang kekerasan fisik pada jurnalis yang kental sekali nuansa ‘keberpihakan’ pada obyek yang tertindas. Tapi kita patut mengapresiasi, karena bagaimanapun juga karya ini tetap menjadi catatan kecil sejarah perjalanan demokrasi Indonesia. Saya berharap dengan sedikit memaksa ditahun-tahun berikutnya masih ada Yangkedela8an, Yangkesembi9an atau Yang kesepu10h. Semoga saja. [Gunawan Wibisono]