5. Kabar Burung – Pesan

Selayang dengar, tiada yang istimewa atau mencuri perhatian dari album ini. Sejak Sore merilis Ports of Lima (2008), format yang dimainkan Kabar Burung dengan musik melankolis melalui harmoni vokal dan riuh instrumen-instrumen selumrahnya, seperti gitar, bas, perkusi, kibor, biola, dan terompet. Kabar Burung juga membawakan lagu-lagu bertema cinta yang tak eksentrik.
Namun, dari perihal yang tidak neko-neko itu, Pesan jadi album yang pas. Semua hidup pada tempatnya, sesuai porsi dan terkelola rapi, mulai dari paduan vokal, instrumentasi, hingga penggunaan ungkapan-ungkapan romantis di lirik. Coba cek lirik dalam “Adinda”, “Coba kau lihat, oh Adinda / Sepasang remaja di sudut sana / Sangat berhati-hati dalam menjalin kasih / Seperti kita saat bertemu pertama kali”. Bersahaja luar-dalam. Pesannya cocok didengarkan bersama pasangan yang sedang malas drama, tapi tetap ingin dibuat tersipu.
4. Tuan tigaBelas – Harimau Soematera

2018 menjadi tahun keemasan hip hop lokal. Banyak opsi rilisan yang bagus, mulai dari karya BAP., Pangalo!, Krowbar, hingga kebangkitan Morgue Vanguard. Tahun ini sayangnya tak lagi semeriah itu. Untungnya kita punya Tuan Tigabelas dengan Harimau Sumatera yang kaya. Tiap lagu punya unsur-unsur bunyi yang penuh corak, dan terdengar mahal.
Harimau Soematra dibuka dengan “Move” yang amat seru. Tema liriknya tipikal, “Ku bikin kau KO karena aku Manny Pacquiao / Kau masih cetak flyer, ku sudah jadi baliho”. Namun, lagu ini berhasil memadukan unsur beat oldschool lokal dengan rasa kekinian. Lagu “Last Roar” yang angkat suara soal perlindungan kelestarian harimau sumatera pun berani memasukan instrumen tiup tradisional seperti serunai. Nomor “Faith” yang dibawakan bareng penyanyi bernama Sailor Money juga menampilkan layer-layer sayu yang cantik. Rasanya masih segelintir emcee Tanah Air yang piawai menata detail musiknya seserius, dan sematang ini. Ibarat album ini adalah hutan belantara, Tuan Tigabelas merancang seluruh sektor rerimbunan berbahaya, tak bebas dari taring, dan auman.
3. Kopibasi – Anak Pertama

Sejujurnya Kopibasi terlambat dua-tiga tahun untuk terdengar segar secara musikal di belantika musik kita. Folk Kopibasi dinamis, dan bernuansa. Mereka menguasai penulisan lagu yang sangat baik dengan menyeimbangkan bebunyian ‘rancak’, dan mendayu. Karakteristik ini bisa ditemui di album Sinestesia (2015) dari Efek Rumah Kaca. Sedari awal, melalui tembang “Demi”, si pemain biola bajingan itu tanpa aba-aba yang cukup sudah menyayat-nyayat sudut-sudut paling sensitif di kalbu kita.
Kopibasi adalah satu dari segelintir band yang menjadi puitis dengan benar. Liriknya sekuat puisi, tidak asal padu-padan rima, atau membedaki kata. Keseriusan penggarapannya benar terdengar, membuat mereka lolos dari segala upaya puitis yang norak dan pretensius. Bahkan, kadarnya sampai pada fungsi emosional, terutama bahwa larik-larik terbaik album ini persembahan untuk romantisme keluarga, teruntuk “Ibu” seperti, “Sempat aku dengar / Ceritamu pada tetangga; / jalan yang ku tempuh sampai mana?”, atau perihal “Bapak” pada “Kau belum puas jadi bapak / Aku belum lunas jadi anak”. Menangis bukan kemewahan saat mendengar album ini.
2. Jason Ranti – Sekilas Info

Album ini memang tak lagi memberikan kejutan kultural seperti Akibat Pergaulan Blues (2017). Rilisan penuh kedua Jason Ranti ini menunjukan bahwasanya album perdana tadi bukan keajaiban shio, atau rezeki anak soleh. Permainan kata Jeje (panggilannya) tak tertandingi sampai saat ini, beberapa kreasinya bahkan menunjukkan tingkat intelektualitasnya. Doi semakin menjadi-jadi, lebih seenak jidat di sini. Sekilas Info dibuka dengan lagu berjudul a la koran Lampu Merah, “Seorang Ayah Rela Disodomi Waria Demi Membeli Susu Anak” dengan petikan gitar ultra-gelap, lalu toa meracau seperti aktivis gila yang mungkin kepalanya terlalu banyak dipukul pentungan aparat.
Mencermati materi Sekilas Info secara utuh, ada kesan serampangan dan menyepelekan di banyak aspek. Namun, Jason Ranti ya seanjing ini. Ia lebih serius dan cerdas dari kelihatannya. Di lagu-lagu ter-emboh-nya, “Sekilas Info” yang ‘pecah’, atau “Serpihan Lendir Kobra, Blues Kobra”—yang mari ramai-ramai kita paksa dia ngaku kalau liriknya—mengadaptasi teknik kolase kata lagu Sisir Tanah bertajuk “Konservasi Konflik”. Atas segala kehebatan Sekilas Info, dan penantian bumi porak poranda karena ditabrak meteor, apa yang masih berarti untuk dilakukan umat manusia sekarang adalah mengajari Jeje cara mendaftarkan album ini ke Spotify.
1. Isyana Sarasvati – LEXICON

Isyana Sarasvati ini menarik. Di satu sisi, ia dikenal sebagai musisi cerdas—adik mba-mba aktivis cutting edge—yang berpendidikan tinggi di Nanyang Academy of Fine Arts (Singapura), dan Royal College of Music (Inggris) untuk belajar musik klasik serta opera. Di sisi lain, ia adalah penyanyi pop yang berada di segmen yang sama dengan Raisa. Lagu-lagu sebelumnya memang tidak buruk, tapi juga tidak menggambarkan sisi high art yang digembar-gemborkan.
Baru pada LEXICON, Isyana mewujudkan potensi sejatinya. Harusnya kita tak pakai kaget, tapi kejutan sebenarnya memang bukan pada langkah yang diambil melainkan mutu hasilnya. LEXICON tak sekadar jadi ekspresi idealisme, melainkan tetap bisa dinikmati sebagai karya populer. Album dibuka dengan“Sikap Duniawi”, dibawakan dengan vokal sopran, “Dengarlah wahai kawan-kawanku / Kini warna yang kelam hangus / Aku tahu kamu ‘kan bertamu / Selamat datang padaku yang baru”, diiringi kosmos orkestra. Dengan dukungan Tohpati, Gerald Situmorang, dan Kenan Loui sebagai produser, bangunan musik neo klasikal dalam LEXICON bisa terdengar matang.