Sinestesia (2016) adalah album yang bertabur pujian, selagi menanam ekspektasi untuk album Efek Rumah Kaca selanjutnya. Rimpang lahir dengan beban tersebut. Beruntung, Efek Rumah Kaca sempat memberikan kisi-kisi melalui EP Jalan Enam Tiga (2020) yang dirilis tiga tahun sebelumnya. Sebab secara estetis, Rimpang memiliki kemiripan dengan Jalan Enam Tiga. Bedanya, Rimpang bermain dengan bunyi-bunyian yang baru seperti noise, kibor, dan synth yang mengisi ruang-ruang di album ini secara tak berlebih.
Rimpang sendiri menandai selesainya Efek Rumah Kaca sebagai trio-pop, dengan hadirnya Poppy Airil dan Reza Ryan, serta tanpa Adrian Yunan Faisal. Reza Ryan sendiri merupakan sosok dibalik kebaruan audio dalam Rimpang. Di salah satu wawancara, pemain gitar ini bahkan mengaku jika di album ini, porsi mengisi gitar yang dia lakukan lebih sedikit daripada kibor/synthesizer.
Sebagai representasi dari konteks budaya dan sejarah di mana ia diproduksi, Rimpang dapat didengar sebagai manifesto kekecewaan. Kekecewaan atas keadaan: kekalahan, dan kepasrahan. Serupa maknanya, Rimpang berisi ide-ide yang menyabang-menjalar menemui pendengarnya, menjadi satu ekosistem dari bawah tanah. Tak beda dengan nilai-nilai yang selama ini dibawa oleh Efek Rumah Kaca. Sebut saja kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, Munir, Aksi Kamisan, hingga yang terbaru pelemahan KPK. Bertahun-tahun perjuangan akar rumput yang saling bertemu dalam satu akar masalah: penegakkan hukum.
Ini Efek Rumah Kaca, lirik adalah salah satu kekuatan terbesar mereka. Mereka masih konsisten menggunakan lirik yang tajam lagi tepat guna. Yang disekaligusnya memberi magis imajinasi dari rantai semiotiknya. Pun masih dengan mengangkat tema sosio-politik yang kental untuk kita resapi bait demi bait. Hal ini pula yang membuat Efek Rumah Kaca rasanya pantas dinobatkan sebagai band yang konsisten bicara politik dengan reputasi paling sehat.
Rimpang dibuka oleh tabuhan drum Akbar Bagus dalam trek featuring bersama Suraa, “Fun Kaya Fun”. Dilanjutkan oleh raungan synth yang selaras dengan bait pertamanya, “Akhirnya bunyi-bunyi / termesinkan kini”. Trek ini bicara tentang musik itu sendiri. Panggung-panggung yang bak altar penyembahan dalam ibadah musik. Sementara penampilnya terkomputasi dan minim skill.
“Bergeming” melanjutkan estafet. Dengan tempo yang lambat, trek ini menggunakan pilihan kata yang muram. Sementara penggunaan “kereta” sebagai prononima dalam chorus malah mengendurkan kekuatan trek ini. Syukurlah, bagian terbaiknya justru hadir di outro.
Diliris sebagai single, “Heroik” mendapat sambutan yang baik. Tema yang sepertinya tidak terdengar klise dan naif hanya jika dinyanyikan oleh Efek Rumah Kaca. Lagu ini jadi salah satu lagu dengan lirik paling jelas dan lugas dalam Rimpang. Kepiawaian Cholil dalam bermain dengan lirik lagi-lagi membuat saya sering tersenyum. Ia berhasil meramu kata “bergidik” dan “jijik” tanpa terdengar aneh. Juga secara cerdas membuat saya memaki ketika di akhir lagu Cholil memakai kata “tubir” yang maknanya jauh berbeda dengan yang sering kita jumpai di jagat twitter meski dalam lagu ini dapat dimaknai serupa.
Rimpang berisi lagu-lagu dengan konsep yang matang. Sebut saja “Tetaplah Terlelap” yang dinyanyikan pelan seperti lagu pengantar tidur. “Sondang” yang cocok sebagai soundtrack penutup sebuah film noir perang. Sebagai koor penutup ketika pemeran utama tergeletak penuh luka di ladang ranjau, mendengar bisikan-bisikan, siap menemui ajal.
Secara aransemen, “Kita yang Purba” adalah yang paling mudah dinikmati. Meski demikian, kritik keras dipekikkan Efek Rumah Kaca dalam lagu ini. Dinyanyikan dalam reff, “Dunia ketiga pra sejarah” kurang marah apa lagi? Kemudian fade out panjang sebagai outro juga ikut bernyanyi dalam lagu ini. Gemilang.
Dulu saya sempat bingung ketika mendengarkan lagu “Efek Rumah Kaca”. Bagaimana tidak, Lagu tersebut dibawakan oleh Efek Rumah Kaca dan terdapat di album Efek Rumah Kaca, Triple Kill. Dalam Kamar Gelap dan Sinestesia, Efek Rumah Kaca tidak lagi menamai album dengan salah satu judul lagu di dalamnya, vice versa. “Rimpang” mengakhiri puasa itu. Trek temaram ini merupakan lantunan harapan yang dirangkai dengan soundscape yang penuh. Dan kemudian dengan vokal yang terbenam di bagian akhir lagu, seakan sedang memberikan sebuah pesan rahasia, “menutup jejak / dalam sudut kamar / ‘kan menjadi rimpang / dan terus terbakar / dalam sudut kamar / ‘kan menjadi rimpang / ‘kan terus percaya”
Efek Rumah Kaca memang suara sebuah generasi. Paling tidak bagi generasi mereka sendiri: generasi yang pernah melawan. Suara itu terdengar jelas dalam “Bersemi Sekebun”. Mendengar trek ini tentu tak bisa tak mengingat puisi “Bunga dan Tembok” karya Widji Thukul–Cholil juga mengisi trek vokal pada lagu berjudul sama karya Fajar Merah–, terlebih pada bagian akhir puisi, “Jika kami bunga / Engkau adalah tembok itu / Tapi di tubuh tembok itu / Telah kami sebar biji-biji / Suatu saat kami akan tumbuh bersama / Dengan keyakinan: engkau harus hancur!”. Trek ini seperti lanjutan dari “Putih” dalam Sinestesia, “Seperti kata Widji / Disebar biji-biji / Disemai menjadi api”. Di sini bisa disimpulkan betapa besar kekaguman Efek Rumah Kaca pada penyair asal solo tersebut.
Dalam “Bersemi Sekebun”, Cholil berbagi panggung dengan Morgue Vanguard alias Ucok. Sebuah featuring yang solid dalam mengisahkan pergerakan. Alih-alih ajakan untuk tetap berjuang, lagu ini terdengar sebagai romantisasi perjuangan mereka dahulu, “Adalah bentuk keluhuran / Merongrong kuasa yang tiran / Di jalan bersama kalian / … / Satu gugur / Bersemi sekebun”. Namun bagi yang memiliki jarak dengan generasi mereka, ingatan dan sisa-sisa nyala perjuangan yang mereka lantunkan malah terdengar seperti kibaran bendera putih alih-alih pupuk semangat. Dengarkan saja, “Kawan yang perlahan padam / … / Bertahanlah sedikit lebih lama”. Karena, jika suara nyaring yang konsisten selalu saya dengarkan itu menyerah, lalu apalagi?
Rimpang adalah album yang begitu utuh dan matang. “Manifesto” menutupnya dengan tepat. Sembari menekankan bahwa Efek Rumah Kaca akan tetap bernyanyi bersama dan berdiri di samping mereka: yang papa, lemah dan paria.
Rimpang adalah bentuk benih kenyataan yang ditanamkan oleh Efek Rumah Kaca. Entah itu tumbuh seperti apa di benak pendengarnya. Bisa berupa bunga harapan, yang akarnya saling terkait menguatkan. Bisa pula tumbuh liar serupa gulma. (WARN!NG/Hariz)