Summary
9.5 Score

Label: 4AD
Watchful shot: “I Wanna Prove to You”, “How Lucky Am I?”, “Baby, Baby”
Year: 2016
Bentangan pedestrian di belahan Long Island masih sama seperti dulu. Lebar jalan yang cukup kentara dengan tong sampah berjejeran rapi diselingi tempelan poster stensil, karikatur politis, atau selebaran propaganda zionis mewarnai suasana sehari-hari. Tetapi tak dapat dipungkiri banyak bangunan yang mengalami perubahan fungsi seiring bergulirnya zaman. Kebisingan kian berkumpul dan keramaian memadati tiap pertokoan. Kedai kopi, butik terkini, sampai pusat penanda global tumbuh menjamur di tengah populasi yang berbuah tak terkendali. Sedangkan di sudut yang terhimpit blok ketiga dan keempat, record store itu masih saja menyediakan keaslian; menolak asumsi ditelan hitungan masa.
Di hari Minggu yang cerah, seorang ayah mengajak kedua anaknya menyusuri hangatnya akhir pekan. Kawasan Hamptons masih lenggang akibat derasnya hujan yang turun di malam sebelumnya. Mengenakan jaket casual dan syal bermotif Yankee, mereka melangkahkan kaki sembari melontarkan kisah mengenai mitos New York, Lou Reed, dan keagungan CBGB. Sampai pada akhirnya tempat pemberhentian yang dituju telah berdiri di ambang muka.
Sang kakak dengan mimik muka yang serius mencari tumpukan di kategori jazz; berharap menemukan bongkahan Lee Ritenour maupun Miles Davis. Syukur jika Straight, No Chaser milik Thelonious Monk juga berhasil diperoleh di tangan. Sang adik, naga-naganya menyukai tipe yang ikonik; berupaya memperoleh sampul The Yardbirds atau kalau yang digali nihil hasil, John Mayall and The Bluesbreakers pun tak jadi persoalan. Di saat bersamaan, sang ayah hanya menyimpulkan senyum tanda kepuasan menyaksikan keturunannya memilah tiap produk budaya dengan intim yang kelak menjadi cikal bakal pilihan hidup keduanya; bermusik.
Satu dekade setelahnya, sepasang saudara tersebut mewujudkan impian masa kecilnya dengan membentuk grup bernama The Lemon Twigs. Adalah Brian dan Michael D’Addario yang berada di belakang kemudi layar kolektif pengusung art, baroque, atau psychedelic rock asal New York ini. Tampilannya mudah dikenali; berambut panjang nan lurus serta mencintai setelan jas bercorak merah, juga berlagak laiknya Sid Vicious dengan potongan eksentrik yang menyala. Kendati demikian, dengan bantuan Danny Ayala (keyboard) dan Megan Zeankowski (bass), album perdana The Lemon Twigs meninggalkan kesan sulit dilupakan karena kualitas wahid yang berbicara seutuhnya.
Bergabung bersama label legendaris 4AD di tahun 2015 menandai kiprah mereka sebagai potensi panas kancah independen. Duabelas bulan kemudian, debut album yang bertajuk Do Hollywood lepas ke pasaran. Berisikan sepuluh komposisi yang memuat tafsir banyak hal; prosesi jatuh cinta, kesenangan, dan pembuktian yang mungkin tak bakal mendapati ujung perjumpaan. Lewat Do Hollywood, baik Brian maupun Michael menganggap hari esok hanyalah fantasi yang seyogyanya dipupus dengan ritual menikmati seakan tak muncul kesempatan lagi.
Rasa menyesal menghinggapi sanubari ketika tak memasukan hasil kreasi The Lemon Twigs ke dalam pilihan album terbaik 2016. Do Hollywood memiliki pelbagai kriteria untuk disebutkan setidaknya pada posisi lima teratas; aransemen tanpa cela, gradasi genre yang beragam, sampai fondasi yang menjanjikan iman. Misalnya di nomor “I Wanna Prove to You” yang dibuai alunan bohemian dengan metafora choir membahana, seketika merekam karisma Freddie Mercury tatkala menari di mimbar opera.
Lalu “Those Days Is Comin’ Soon” berputar memeriahkan karnaval era Sgt. Pepper Lonely Club Hearts Band yang monumental lengkap dengan ketukan Brian yang repetitif, melambat, serta menyeruak percumbuan instrumental psychedelic yang tercampur gemerlap pesta rock and roll. Sajian moodboster yang wajib Anda pasang di playlist buatan sendiri. Sedangkan di “Haroomata”, vokal Brian sepintas mirip Todd Rundgren yang tak tertebak. Jangan lupakan “Baby, Baby”; menuntut transformasi “Femme Fetale” gubahan Big Star yang perlahan termakan usia.
Suatu kesalahan apabila mengacuhkan “These Words” yang mengingatkan nostalgia Colin Blunstone bersama Keith Arey di tiang penyangga Woodstock sebelum Rod Argent menimpalinya dengan solo xylophone yang mengacak atensi. Kehampaan Brian termaktub pada “How Lucky Am I?” terlebih ketika ia berujar “When I post my 95 it comes out of me//Like rags on a scholar//For I make no sense”. Menyambut di sampingnya “Hi+Lo” yang beraroma lo-fi cum futuristik. Dikekap bermalasan dan meletupkan disko yang teraduk antusiasme gigs di lapangan Hicksville.
Do Hollywood diracik dalam balut kecerdasan yang eksepsional. The Lemon Twigs seolah sedang menyiapkan pementasan krusial di altar Broadway yang diidam-idamkan sedari lama. Disusun atas percakapan kontekstual, kolosal, satir, ataupun epos dramaturgi yang melelahkan. Konvergensi hiperbolis terkadang merasuk di notasi yang mereka catat walaupun tak merusak tatanan yang dipatenkan. Dengan keberadaan Do Hollywood, The Lemon Twigs telah membangun taman bermain di koridor komersialisasi David Bowie hingga konsepsi Brian May di Columbia.
Mereka mekar di jam yang tepat. Mendobrak kaidah baku dengan kredo lama atau justru menyentil diktum baru melintas tanpa tedeng aling-aling di selaput kepala. Do Hollywood memancarkan rupa yang berkarakter. Mengayuh kencang pedal baroque dan tak jarang mendayu lembut balada perpisahan. Menyadur orkestrasi teater dengan paduan kata setebal ratusan halaman, tak menghalangi mereka dalam mendongengkan kompleksitas yang mempertemukan tragedi dan imajinasi. [WARN!NG/Muhammad Faisal]