
“Ada yang tau mafia peradilan
Tangan kanan hukum di kiri pidana
Dikasih uang habis perkara”
“Mau tau gak mafia di senayan
Kerjanya tukang buat peraturan
Bikin UUD ujung-ujungnya duit”
Bila sebuah lagu memang hanya merupakan suatu karya seni yang terbentuk dari gumulan potensi estetika, maka seharusnya lima tahun silam tak perlu terjadi konflik tuntutan dari DPR terhadap potongan lirik lagu berjudul “Gosip Jalanan” besutan Slank di atas. Terlepas dari benar salahnya substansi lirik lagu tersebut, begitu mudah untuk mencerna ketakutan dari para “mafia senayan” apabila pesan dalam “Gosip Jalanan” dengan leluasa dikomunikasikan pada ratusan ribu Slankers di tanah air. Begitulah bagaimana para rockstar-rockstar dalam industri mengasah musiknya tak hanya sebagai komoditas dan wadah penghayatan estetis, namun juga sebagai sarana pengendalian opini publik.
Propaganda adalah konsep mudah menikmati lirik dalam sebuah lagu sebagai suatu pesan. Lagu-lagu propaganda kerap ditulis sebagai bentuk protes, ketidakpuasan publik, kemarahan atau rasa malu pada pemerintah. Membongkar stok-stok lagumemorable, akan ada “Imagine” John lennon yang menyebarkan muatan kedamaian berbalut ideologi sosialis kiri. Selain itu ada “What’s Going On” dari Marvin Gaye yang mencoba melawan perang Vietnam, “Declare Independent” dari Bjork sebagai dukungan politik di kepulauan Faroe, atau juga yang begitu sering diangkat berkaitan dengan isu apartheid seperti “Fight Power” dari Public Enemy, “A Change Is Gonna Come” karya Sam Cooke, serta dominasi lirik-lirik Bob Dylan yang berpartisipasi dalam gerakan hak-hak sipil di dunia dengan menekankan diskriminasi ras. Geliat musik ini memainkan emosi para pendengar dengan mengilhami mereka agar percaya bahwa mereka memiliki kekuatan untuk membuat perbedaan jika mereka terlibat dan mengambil tindakan dalam menanggapi nilai-nilai dan prinsip-prinsip baru yang disajikan dalam lagu.
Salah satu karya agung dari lingkup musik propaganda adalah tembang berjudul “Free Nelson Mandela” yang ditulis oleh Jerry Dammers dan dirilis oleh grup bandnya, yaitu The Specials pada 1984. Ditulisnya lagu itu merupakan respon dari dipenjarakannya Nelson Mandela sebagai bagian era apartheid di Afrika Selatan. Nelson Mandela dikurung dalam penjara selama 27 tahun karena menyuarakan hak-hak bangsa kulit hitam di seluruh dunia. “Free Nelson Mandela” yang ditujukan untuk para petinggi di Afrika Selatan pada jaman itu memang cukup frontal melemparkan substansinya. Lirik pembuka dalam verse pertamanya mengumbar tangisan ras kulit hitam sembari The Specials menyerukan “free nelson mandela”. Selanjutnya “his body abused but his mind is still free, are you so blind that you cannot see’ mengacu pada Mandela yang tetap percaya dengan hak kulit hitam meski terkukung dalam penjara, serta mengenai kulit putih dan tentara yang mana buta karena tak mampu menyaksikan realitas dari kehidupan ras kulit hitam.
Sebelum Jerry Dammers mulai menjadi anti apartheid pada 1983, dia jarang sekali mendengar nama Nelson Mandela. Sebelum akhirnya Jerry merilis lagu inipun penderitaan Mandela hanyalah serpihan kecil isu politik di Inggris sebelumnya. Tapi “Free Nelson Mandela” kemudian membawa Mandela pada garis depan perhatian nasional. Meski sudah diprediksikan bahwa lagu ini tak bebas diputar di Afrika selatan, namun tetap saja “Free Nelson Mandela” terlanjur memantik optimisme semangat kaum hitam disana. Selain ditahbiskan menjadi lagu anthem dari ANC (African National Congress), kesuksesannya di daratan britania juga meningkatkan suara kampanye pembebasan Mandela. Hasilnya tekanan politik yang keras mendorong perdana menteri Margaret Thatcher melakukan putar balik penolakannya untuk menjatuhkan sanksi ekonomi pada pemerintah Afrika Selatan. Satu bulan berlalu, pertemuan perdana antara Mandela dan pemerintah Afrika selatan digelar untuk memulai proses panjang demi kebebasannya.
Tak selalu positif, feedback yang menerpa pesan dari sebuah lagu kadangkala berupa kritik, atensi negatif, kecaman, hingga berbuntut pencekalan, sama halnya dengan konten komunikasi pada media lain. Selain “Gosip Jalanan” di atas, ada begitu banyak konflik pergesekan makna sebuah lagu mulai dari kajian moral, ideologi, atau seperti yang sedang santer terdengar belakangan adalah fenomena lagu-lagu satanis. Namun terkait pola interaksi pesan dalam tataran musik, adalah sebuah contoh kasus menarik pada lagu “Puritan” dari unit hiphop legendaris Indonesia, Homicide.“Puritan” bak genderang perang terhadap ideologi fasis dan fanatisme keyakinan dengan sabda bait pertama yaitu:
“Adalah bagaimana manusia menyebut nama tuhannya
tebas lehernya dahulu baru beri dia kesempatan untuk bertanya
pastikan setiap tema legitimasi agama seperti hak cipta
supaya dapat kucuci seluruh kesucianmu dengan sperma
persetan dengan Surga sejak parameter pahala diukur dengan seberapa banyak kepala yang kau pisahkan dengan nyawa”
Selang beberapa lama sejak klimaks kepopuleran “Puritan” di kancah underground, tiba-tiba tersebar pula sebuah lagu dari Thufail Al Ghofari, seorang rapper islam garis keras dengan judul yang oposisif, yaitu “Puritan (Homicide is dead)”. Lagu tersebut pun tampak seperti jawaban lantang atas pemikiran, argumen, dan ideologi yang disampaikan oleh “Puritan” milik Homicide. Ide dan makna dari kata demi kata yang terangkai dalam itu mewujudkan interaksi perdebatan ideologi kiri-kanan berlapis “surga” dan “logika” yang menarik. Berikut bunyi lirik bait pertama dari “Puritan (Homicide is dead)”:
“Adalah bagaimana para atheis menyangkal nama Tuhannya
Fitnah terlebih dahulu tanpa beri kesempatan untuk bertanya
Tentukan setiap tema legitimasi logika seperti hak cipta
Supaya bisa kucuci seluruh ketololanmu dengan aqidah
Persetan dengan logika sejak parameter hak asasi kuffur dengan seberapa banyak maksiat yang kau benarkan tuk tetap ada”
Meski dampak yang diraih umumnya tak sejitu dan setajam realitas proyeksi televisi, atau surat kabar, namun musik tetap mampu berperan sebagai pendukung suatu perubahan dengan menyajikan elemen-elemen yang tidak dimiliki media lain. Sifat universal misalnya, dimana kita tak wajib mengerti bahasa suatu bangsa untuk dapat menikmati musik dari bangsa tersebut. Sementara melodi, ketukan, irama, dan dinamika yang ada disesuaikan untuk mencerminkan pesan dan meningkatkan sengatnya pada pendengar. Mengesampingkan bahasa, aspek teknis musik hadir dengan beragam tingkatan instrumen dan do re mi fa so la si do nya. Apakah intronya memakai drum? Apakah efek flanger pada gitar mengisi keseluruhan lagu? Apakah refrain terakhirnya diulang hingga 3 kali? Masing-masing mengenggam makna yang berbeda dan lebih signifikan. Musik meresapi semangat dalam cara pandang bahwa sekedar kata-kata tanpa irama tidak akan mampu banyak berbicara. [Warning/Soni Triantoro]