Penulis: Abdullah Sumrahadi
Penerbit: LP3ES
Kala masih berseragam putih biru – putih abu, saya sangat menggemari resensi musik, entah itu resensi album atau lagu. Tiap membedah sampul plastik majalah Rolling Stone Indonesia, Hai, atau Trax Magazine, saya selalu berdebar-debar untuk gegas membuka halaman tengah ke rubrik Review. Album apa yang diulas? Berapa bintang? Layak beli atau cukup dinanti di stafaband saja?
Saya belum tahu sisi gelap resensi kala itu. Saya paham resensi senantiasa subjektif, namun saya telat sadar betapa mudah untuk orang lain dan kita sendiri punya pendapat berbeda dengan resensi-resensi yang ditulis di majalah. Bukan cuma perkara suka-tidak suka, bagus-jelek, tapi juga penafsiran akan pesan yang terkandung. Akhirnya, entah berapa waktu saya yang terbuang di masa lalu untuk membaca karya jurnalis malas yang hanya menghakimi sebuah karya lewat satu-dua paragraf gara-gara sekali-dua kali dengar demi kejar deadline.
Syahdan, antusiasme saya mulai mengerut hari ini. Pasalnya resensi musik makin mudah kita temukan. Model analisis karya musik yang paling umum ini tersebar luas di internet. Mulai dari yang lebih menyerupai pers rilis dibanding evaluasi karya, kebanyakan pamer referensi nama-nama aliran musik, asal bilang jelek biar kontroversial, sampai yang panjang dan penuh kutipan tokoh-tokoh cultural studies.
Tetap seru sih membacanya, apapun. Tapi ketika saya membeli sebuah buku, harapannya tentu lebih dari itu. Inilah yang membuat saya kecewa dengan buku Ekonomi Politik Musik Rock: Refleksi Kritis Gaya Hidup. Isinya serasa membaca kumpulan resensi beberapa lagu rock 90-an Indonesia.
Kan tidak harus repot dibukukan, bisa dikirim saja di sini: warningmagz@gmail.com. Pembacanya ribuan juga kok 🙂
Ekonomi Politik Musik Rock: Refleksi Kritis Gaya Hidup sebenarnya adalah hasil disertasi dari Abdullah Sumrahadi. Beliau, selaku doktor dan dosen sosiologi, meneliti musik rock lokal dengan metode hermeunetika. Dari sekian banyak pemikir hermeunetika, ia memilih mengandalkan haluan pikir Paul Ricoeur bahwa hermeunetika merupakan teori yang mengoperasikan pemahaman dalam kaitannya dengan interpretasi teks.
Sebuah naskah atau teks tak dapat ditafsirkan dengan cara persis selaiknya wacana yang disampaikan secara verbal. Naskah dan teks yang terdokumentasikan punya bentuk yang tetap, tak bisa lagi disunting. Ada makna yang bisa berbeda dari maksud produsennya. Makanya, ketika teks terekam, maka harus dipisahkan dari produsennya. Yup, kurang lebih hermeunetika berarti pembacaan peneliti terhadap teks tertentu, terlepas dari produsen dan audiensnya. Karena itulah hermeunetika kadang disebut sebagai versi barat dari ilmu tafsir yang berkembang di Timur Tengah di era yang kurang lebih sama.
Sebagaimana menulis resensi, kalau cuma dialog antara peneliti dan teks, apakah bisa objektif? Entah, yang jelas ada metodologi yang dimiliki hermeneutika untuk mendapatkan interpretasi yang seakurat mungkin dan mampu dipertanggungjawabkan. Di antaranya adalah penggunaan skema tiga langkah pengoperasian hermeneutika, yaitu :
- Memahami sudut pandang atau gagasan pelaku sosial
- Memahami makna kegiatan-kegiatan sosial pada hal-hal yang bertalian dengan peristiwa sejarah.
- Menilai peristiwa sosial berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat peneliti masih hidup.
Ketiga syarat pemahaman ini akhirnya menuntut peneliti punya kemampuan empati. Sesuai opini Schleiermacher, peneliti harus mampu mengidentifikasi dirinya secara psikologis searah dengan teks dan pengarangnya. Selain itu, pemahaman akan sumber-sumber lain, terutama penguasaan konteks budaya kelahiran teks itu menjadi modal penting. Dalam kasus Ekonomi Politik Musik Rock: Refleksi Kritis Gaya Hidup, sang penulis mau tak mau harus kenal baik dengan medan musik rock.
Ini menjadi polemik. Saya tidak berani meragukan kapasitas (Pak) Abdullah dalam mengeksekusi kerja hermeunetikanya, namun saya menduga ia anak disko. Kenapa? Soalnya ia tampak kurang akut mengenal musik rock. Hebat sekali kesimpulan saya.
Dari sekian banyak buku bagus di Daftar Pustakanya—yang ingin saya pinjam–ia malah mengutip Hai Klip hanya untuk menelurkan pernyataan bahwa “musik rock baru berusia seperempat abad pada 2002, dan masih di bawah 41 tahun pada 2016.” Tapi problem sebenarnya adalah kelihatan bagaimana buku Ekonomi Politik Musik Rock: Refleksi Kritis Gaya Hidup kurang memahami keresahan-keresahan yang sebenar-benarnya dimiliki musisi, pendengar, atau industri rock lokal. Perkara yang diajukan buku ini berjarak dengan rasa penasaran yang banyak menjadi pertanyaan pegiat dan penggiatnya.
Urgensi mengambil musik rock di rentang periode 1990-2010 sebagai fokus kurang terbeberkan. Apalagi tak ada paparan memuaskan kenapa “Sistem Kepemilikan” milik Koil, “Bergerak!!! (Gugat Prahara)” dari Boomerang, “Alam Manusia” punya Edane dan sederet lagu lainnya yang terpilih untuk dibedah. Ini masih terkatung-katung hingga hasil analisisnya keluar. Apa benang merah spesifik antara interpretasi satu lagu dengan yang lain, misalnya dari kritik terhadap subjek penegakan hukum pada “Gosip Jalanan” dari Slank ke potret homoseksual di “Gaya” milik Jamrud.
Pemilihan sampelnya terlalu cair, tapi di saat yang sama juga tidak mampu melingkupi konteks secara berimbang, utamanya jika ingin mengatasnamakan musik rock Indonesia. Contohnya, kendati sebagian lagu memang rilis di dekade 2000-an, namun seluruh musisinya adalah produk 90-an (Edane, Slank, Boomerang, Jamrud, Koil, PAS Band). Latar belakang mereka yang meniti karier di situasi Orba tentu punya konstruksi khusus terhadap karya-karya yang tercipta. Lain dengan The S.I.G.I.T, Deadsquad, The Brandals, atau Endank Soekamti misalnya yang lebih menikmati keleluasaan industri.
Sisi arbitrer pemilihan objek analisis tanpa pola terjelaskan ini juga termasuk bahwa tidak semua lagu yang dipilih adalah nomor hit atau mahakarya dari bandnya. Padahal jika terdapat temuan bahwa banyak lagu-lagu rock “perlawanan” adalah lagu yang laku secara komersial, ada asumsi generalisasi yang bisa dibantah, yakni bahwa makin eksplisit sebuah gagasan politik sebuah lagu, makin bawah posisinya di tangga lagu. Ini adalah asumsi yang banyak dipercaya, bahkan musik punk di era keemasannya saja sebenarnya tak benar-benar seradikal itu. Musisi legendaris yang punya reputasi politis yang angker pun jarang punya karya pencetak tangga lagu yang kental sisi politisnya, termasuk The Clash atau Bob Marley.
Jika penelitian ini bermaksud mengabaikan tafsiran pendengar atau skalanya didengar oleh massa, sejatinya justru jadi kelonggaran bagi Abdullah untuk melipir sedikit mampir ke lagu-lagu rock yang lebih berorientasi bawah tanah, seperti Seek Six Sick atau Marjinal. Band-band dalam lingkup kancah produksi-konsumsi seperti ini pasti punya dinamika ekonomi politik yang berbeda dan perlu dibandingkan jika memang ingin menjawab konsep “ekonomi-politik” di judul. Begitu juga wacana “gaya hidup” yang tidak cukup saya dapatkan dari teks-teks yang digali di buku ini.
Abdullah akhirnya terlihat asyik sendiri menginterpretasikan lirik-lirik lagu tersebut. Ada juga keluguan terkait perspektifnya menilik potensi musik rock sebagai katalis sosial-politik. Terlalu instan rasanya untuk melaungkan bagaimana musik rock bisa mewakili dan menggerakkan anak muda untuk menjadi agen perubahan. Ia tak segan mengatakan musik punya kans mewujudkan perubahan sosial tanpa memberikan contoh bagaimana musik rock lokal benar-benar pernah menyuguhkan sesuatu.
Ekonomi Politik Musik Rock: Refleksi Kritis Gaya Hidup sedari awal memulai dengan ajuan perdebatan apakah lagu-lagu rock punya potensi menjadi kritis, lalu berujung pada pertanyaan besar “Apakah kritik tersebut memungkinkan tumbuhnya kesadaran untuk melakukan perubahan sosial?” Ini pertanyaan terhormat yang sudah menghantui saya selama bertahun-tahun, dan sampai halaman terakhir buku ini pun tidak ketemu jawabannya.
Boleh jadi penelitian ini cukup menambah variasi khazanah pengembangan metode sosiologi seni, namun secara umum tak ada terobosan atau sumbangsih kebaruan terhadap wacana relasi musik dan masyarakat. Gagasan bahwa ekosistem musik di tahun-tahun akhir Orde Baru ditunjang sikap politis anak muda sudah banyak dan lebih jauh dieksplorasi oleh kajian-kajian lain. Bahkan, bukan sebatas penafsiran teks, melainkan juga wilayah sosiologis lainnya, termasuk amatan ruang-ruang komunitas dan etnografi. Mengingat disertasi ini rilis pada tahun 2010, semestinya bisa lebih dari ini.
Saya kesulitan menangkap konklusi utama dari buku ini. Misalnya, apa bedanya jika yang dibahas adalah musik jazz, blues, ska, atau bahkan pop. Musik-musik ini juga bisa kritis pun juga rentan digelandang oleh globalisasi. Apalagi di Indonesia, seperti yang dibahas oleh Jeremy Wallach (2008), tiap-tiap aliran musik di Nusantara terjalin dalam hubungan global yang rumit.
Kesimpulan penelitian ini kurang lebih hanya bahwa mempelajari musik rock di Indonesia harus juga mempertimbangkan historisitas serta memahami konteks sosial dan budaya tempat musik ini berkembang dan dimaknai publik. Selain itu perkembangan musik rock berkaitan dengan dimensi atau konteks ekonomi-politik. Hmm, sepertinya lebih lumrah tercantum di bagian latar belakang penelitian dibanding hasil analisa.
Terkait kapasitas musisi rock menjadi intelektual organik—atau pihak yang merespons gejala sosial di luar akademisi—Pak Abdullah sendiri menegaskan, “sama seperti seniman lain”. Tak ada yang istimewa. Baik.
Padahal, sejatinya ada banyak gagasan penulis musik dan politik yang bisa dijadikan perangkat analisis atau bahkan ditantang kebenarannya. Dave Laing (2003) misalnya membedakan antara musik protes dan musik resistensi. Yang pertama dideskripsikan sebagai “pernyataan eksplisit dari oposisi yang mengidentifikasikan isu atau musuh tertentu”. Sementara yang kedua lebih buram dan tersirat. Keduanya lahir dari intensi yang disengaja oleh produsennya, namun masing-masing punya situasi politis yang berbeda Ekonomi Politik Musik Rock: Refleksi Kritis Gaya Hidup bahkan tidak berupaya membaca apakah ada kecenderungan isu atau sasaran yang sama dilancarkan dalam teks-teks musik rock Indonesia.
Agak nekat saya berpikir bahwa akhirnya hermeunetika bukanlah metode yang tepat untuk mencermati bagaimana musik memanifestasikan perannya dalam gejolak sosial di masyarakat. Toh Orde Baru dan (apalagi) Reformasi adalah konteks masa yang masih kita kenal baik. Beda cerita mungkin jika yang diteliti adalah musik rock Indonesia di dekade 60-an atau era Majapahit.
Subjektivitas musisi seringkali tak sejalan dengan peran yang akhirnya diambil oleh lagu-lagunya sendiri. Selain bagaimana negara sering memberikan signifikansi politik pada musik meski tidak diorientasikan oleh pemainnya, saya sangat percaya bahwa yang paling signifikan adalah bagaimana pendengar atau fans mengekspresikan gagasan politik dalam musik itu. Seringkali ini tak dibayangkan musisinya sendiri. Contohnya apa yang dilakukan anak-anak di Soweto yang memprotes Apartheid di sekolah-sekolahnya sejak mendengar lagu Pink Floyd, “Another Brick inthe Wall (Part 2)”. Ada juga lagu-lagu T-Rex yang berkarakter glam rock hedonis itu yang ternyata malah menjadi simbol ketidakpuasan anak muda Rusia terhadap pemerintahannya.
Makna musik dikontestasikan. Meski komposer punya maksud yang jelas dalam musiknya, namun jika musiknya didengar dalam konteks tertentu, maknanya bisa dibajak. Semua tergantung interpretasi dan perspektif penggemar. Musik menjadi politis melalui interpretasi yang diberikan kepadanya, kadang berlawanan dengan maksud komposer atau konten yang tampak pada musiknya sendiri. Signifikansi musik adalah produk interpretasi pendengar, bukan pemainnya, bukan pula interpretasi seorang peneliti.
Saya bisa bilang level otonomi teks yang dipilih sebagai kajian penelitian ini membuatnya cukup tertinggal dan akhirnya tidak mengisi lubang pengetahuan di wilayah musik populer. Perannya sudah giat dikerjakan oleh buruh-buruh penulisan kreatif dan jurnalisme musik. Atau jangan-jangan memang jurnalis musik kita sudah sedemikian tidak becus? Sehingga harus dibantu sebuah disertasi? Gawat, dibubarin aja apa ya media ini? [WARN!NG / Soni Triantoro]
1 Comment