Saya bertemu novela Kitchen karangan Yoshimoto Banana di tengah suasana yang kelewat menjenuhkan. Kalau tidak salah ingat, waktu itu pertengahan 2021. Saya masih berjuang merampungkan tesis di Yogyakarta dan jarang sekali berhubungan dengan orang lain. Kawan-kawan baik saya, sebagian besar, pulang ke kampung halamannya masing-masing karena kampus memberlakukan kuliah daring sejak covid-19 mewabah di Indonesia. Sementara sisanya, yang juga menetap di Yogya seperti saya, kebanyakan tengah berjuang melawan kondisi ekonomi yang merosot, di samping berupaya menjaga kewarasan mental maupun jasmani, sehingga saya cukup tahu diri untuk tidak sering-sering mengajak mereka ketemu. Namun terus terang, kondisi ini bikin saya kerap mengalami frustasi yang tidak jelas juntrungannya. Apa lagi ketika suara-suara sirine ambulan makin sering menguar dari jalan-jalan sekitar Sleman, seolah berkata bahwa kematian itu kian dekat dan dekat.
Perihal Kitchen, sebenarnya saya sudah lama ingin membacanya karena ada seorang teman merekomendasikan buku itu kepada saya. “Mungkin cocok buatmu. Itu novel yang indah,” dia bilang. Tapi karena satu dan lain hal, saya baru membeli novel tersebut di tahun 2021, versi terjemahan Ribeka Ota yang diterbitkan oleh Penerbit Haru. Dan, alih-alih sekadar indah, perasaan saya malah teraduk-aduk sedemikian rupa sewaktu pertama kali membacanya: rasanya saya terkepung oleh sensasi getir dan gemas dan hampa dan sekaligus terharu di waktu yang nyaris bersamaan.
Kitchen sendiri merupakan novela dengan dua judul cerita di dalamnya. Kedua cerita tersebut memang tidak saling berhubungan, tapi keduanya berada dalam satu tema besar yang sama: tentang orang-orang yang mengalami kehilangan dan bagaimana mereka berupaya menghadapi kehilangan itu dalam berbagai manifestasi.
Cerita pertama, Kitchen, mengikuti kehidupan gadis bernama Sakurai Mikage yang amat menyukai dapur. Saking sukanya dengan dapur, ia bahkan berharap bisa menghadapi waktu-waktu terakhir dalam hidupnya di dapur, entah itu sendirian maupun bersama seseorang. Kehidupan Sakurai dan hal-hal yang ia lalui dikisahkan dalam dua bagian. Bagian pertama bermula pada hari ketika Mikage kehilangan satu-satunya kerabat yang ia miliki, yaitu sang nenek. Sejak kecil, Mikage dikisahkan yatim-piatu, sehingga ia pun dirawat oleh kakek-neneknya. Namun kakeknya meninggal saat gadis tersebut menginjak SMP, sehingga ia cukup lama hidup berdua dengan sang nenek dan ketika sang nenek pun meninggal, konsep keluarga dalam kepala Mikage lenyap sudah. Ia sebatang kara, terkungkung oleh kesunyian yang nyaris membuatnya putus asa, hingga ia kemudian memutuskan untuk pindah dari apartemen yang selama ini menaunginya bersama sang nenek.
Di tengah situasi menyedihkan itu, hadir seorang lelaki bernama Tanabe Yuichi yang telah sepakat dengan ibunya untuk mengajak Mikage supaya tinggal di tempat mereka sementara, sampai perempuan itu menemukan apartemen baru. Yuichi sendiri bekerja paruh waktu di toko bunga langganan nenek Mikage dan, baik pemuda itu maupun sang nenek, dikisahkan sudah akrab sejak lama. Sementara Ibu Yuichi, Eriko Tanabe, adalah seorang transgender. Eriko Tanabe sebenarnya adalah ayah Yuichi dan dulu ia bernama Yuji. Tetapi ia merubah dirinya menjadi perempuan setelah kematian istrinya, ibu kandung si Yuichi yang asli.
Bagian terakhir kisah Sakurai Mikage dibuka dengan kematian Eriko Tanabe gara-gara ditusuk lelaki yang sangat terobsesi dengan dirinya. Dalam cerita ini, kematian Eriko yang menyisakan duka mendalam bagi Sakurai Mikage dan Yuchi Tanabe, perlahan juga menyingkap suatu perasaan cinta di antara mereka.
Cerita kedua, Moonlight Shadow, bercerita mengenai gadis bernama Satsuki dan seorang lelaki bernama Hiiragi. Satsuki menjalin cinta dengan kakak Hiiragi yang bernama Hitoshi, sementara Hiiragi sendiri juga memiliki pacar bernama Yumiko, dan mereka berempat dikisahkan kerap menghabiskan waktu bersama dengan akrab. Suatu ketika, Hitoshi berencana keluar naik mobil dan ia sekalian mengantar Yumiko pulang sampai stasiun. Namun tragis, di tengah perjalanan kedua orang itu mengalami kecelakaan lalu lintas dan mereka pun meninggal. Senada dengan Kitchen, Moonlight Shadow juga menyoroti bagaimana perasaan kehilangan bisa begitu memengaruhi kehidupan tokoh-tokohnya. Seperti Satsuki yang jadi sering joging sejak kematian Hitoshi dan Hiiragi yang terus mengenakan seragam sekolah Yumiko.
Tentu saja kita bisa dengan mudah menemukan novel lain dengan premis yang sama tentang rasa kehilangan. Namun yang membuat saya jatuh hati pada karya Yoshimoto Banana ini adalah, sejauh pembacaan saya, ia tidak mengeksploitasi kesedihan tokoh-tokohnya dengan memberi mereka cobaan berat tiada berkesudahan sembari menyisipkan kalimat-kalimat motivasi yang bikin perut mules. Ketika saya membaca Kitchen, saya merasa Yoshimoto Banana bisa mendeskripsikan kondisi manusia melalui tokoh-tokohnya dengan begitu mengalir dan natural seakan-akan memang begitulah yang terjadi bila manusia kehilangan hal-hal tak tergantikan di hidupnya.
Latar waktu di cerita novela ini adalah tahun 80-an, tapi saya merasa terhubung dengan perasaan Sakurai Mikage atau tokoh-tokoh lainnya. Mereka, sebagaimana saya, juga anak muda urban yang pernah merasa terpuruk karena kesendirian dan kehilangan. Walau demikian, di tengah suasana yang luar biasa menekan, mereka tetap menjalani kehidupan usia 20-an dengan begitu menggemaskan: berusaha mengikuti alur waktu, menata mimpi, membangkitkan daya hidup, dan perlahan-lahan melangkah maju dengan cinta yang baru. Toh, bagaimanapun ironisnya, hidup tetap menyuguhkan hal-hal lucu yang patut dikenang dan disyukuri. Hidup juga menyimpan kebahagiaan-kebahagiaan sederhana yang akan memeluk kita dengan hangat, di waktu yang tepat. Yoshimoto Banana, lewat Kitchen-nya, bisa dibilang turut membantu saya kembali meyakini hal-hal itu di antara kesendirian dan situasi yang tak menentu.
Barangkali kesederhanaan Kitchen jugalah yang telah memperkuat kesan hadirnya dalam diri saya. Misalnya, meski novela ini menonjolkan unsur-unsur yang cukup menantang untuk dibahas dalam kajian gender, tapi Banana Yoshimoto terkesan hendak menunjukkan perspektif yang secara emosional lebih dekat dengan hati kita mengenai kesemuanya itu. Sebagai contoh, Sakurai Mikage menyukai dapur bukan semata-mata karena ia perempuan dan sejak kecil ditanamkan pemikiran bahwa tempatnya lebih cocok berada di antara wajan, piring, bumbu-bumbu, dan segala macam. Ia menyukai dapur ya karena suka saja; baginya dapur adalah ruang yang memberi ketenangan tersendiri. Dan melalui ‘dapur’ pula, Sakurai berusaha lagi menguatkan daya hidupnya setelah kepergian sang nenek. Lalu ada Eriko Tanabe, yang digambarkan tidak tanggung-tanggung sewaktu merubah dirinya jadi perempuan setelah sang istri meninggal. Yoshimoto Banana menarasikan perubahan Eriko seolah-olah itu hal yang wajar saja. Ia lantas lebih menonjolkan sifat-sifat Eriko yang keibuan, penuh kasih sayang, dan totalitas menjadi sosok feminin, tanpa berusaha mengulik susah-senang berkaitan dengan perubahannya itu. Tentu saya juga tidak melupakan tokoh Hiiragi yang mengenakan pakaian kekasihnya dan membuat ia terkesan konyol. Pendeknya, Yoshimoto Banana seperti ingin menggambarkan bahwa tokoh-tokoh tersebut mampu memilih posisi atau ruang mereka untuk menghadapi kesedihannya, secara sadar, dan hal itu berada di luar konstruksi sosial yang ada.
Begitulah, saya sangat menyukai keunikan tokoh-tokoh di novela ini dan juga hal-hal ganjil di tengah perjalanan mereka. Dalam Moonlight Shadow, Satsuki bertemu perempuan aneh bernama Urara yang memberitahunya tentang suatu keajaiban yang disebutnya Gejala Tanabata: bahwa dalam rentang seratus tahun, akan ada satu hari tertentu ketika kita bisa mengalami fatamorgana, melihat almarhum orang yang kita cintai di tepi sungai besar dan kita bisa mengucapkan apa-apa yang belum sempat tersampaikan saat ia masih hidup.
Pada akhirnya, keajaiban itu memang terjadi dalam dunia Satsuki, tapi tetap saja kehilangan adalah kehilangan. Mereka yang sudah pergi sampai kapan pun akan tetap menyisakan lubang-lubang dalam diri kita dan apalah artinya perjumpaan sesaat yang hanya berlalu seperti kepalsuan? Beruntung Satsuki maupun Hiiragi tidak terjebak dalam pertanyaan frustasi begitu. Paling tidak, mereka tampaknya sadar untuk tetap melanjutkan hidup. Hal ini disimbolkan lewat Hitoshi yang melambaikan tangan sebagai bentuk perpisahan kepada Satsuki dalam peristiwa Gejala Tanabata dan, di saat yang sama, Yumiko datang untuk mengambil seragamnya yang kerap dipakai Hiiragi.
“Sebuah perjalanan karavan berakhir, lalu perjalanan berikutnya akan dimulai. Ada orang yang bisa kujumpai. Ada orang yang takkan bisa kutemui lagi. Orang yang pergi entah kapan, ada juga orang yang hanya berpapasan. Rasanya, sambil saling menyapa, aku akan semakin merasa ringan. Sambil menatap sungai yang mengalir, aku harus hidup (kutipan dari Moonlight Shadow halaman 219).
Kitchen terbit kali pertama pada 1988 di Jepang dan novela ini turut mengantarkan Yoshimoto Banana menjadi pengarang yang banyak memperoleh pujian bahkan hingga level internasional. Menurut saya pribadi, tanpa berusaha melebih-lebihkan, ada beberapa nilai dalam Kitchen yang membuat ia memang cocok menjadi ‘teman merenung’ bagi orang-orang kesepian dan juga mereka yang baru saja kehilangan apa-apa yang tak tergantikan dalam hidupnya.
Batang, 2022
Artikel ini ditulis oleh K.A. Sulkhan: pemuda yang hobi nonton anime dan baca novel-novel suram. Agak melankolis, tapi lumayan humoris juga.