Summary
7.8 Score
Label: IDIIW Records
Watchful Shots: –
Rating: 7,75/10
Efek Rumah Kaca (ERK) adalah suara bagi generasi. Nama “Efek Rumah Kaca” yang dulu lebih dikenal sebagai istilah di buku teks bimbel UN, sekarang namanya sinonim dengan musik berkualitas dengan nafas dan denyut aktivisme.
Video musiknya pernah rajin diputar sore-sore di MTV Indonesia sebelum para ABG latah dengan senja-senjaan seperti sekarang. Di awal kemunculannya, tembang “Cinta Melulu” diputar pada frekuensi publik sewaktu anak-anak sekolahan seperti saya pulang ke rumah sehabis main bola. Sebuah lagu yang bagi saya waktu itu sangat menggairahkan, karena mengangkat jari tengah pada dikte pasar yang dibanjiri tren lagu-lagu metal alias melayu total yang “suka mendayu-dayu.”
Pada tempo yang tidak lama, saya juga menonton “Di Udara” dimainkan secara langsung di Metro TV yang rating program tertingginya mungkin masih acara Kick Andy atau Mario Teguh. Sejak masa-masa itu, tembang itu terus mengudara selama belasan tahun sampai ke jalanan aksi #ReformasiDiKorupsi tahun lalu. Siapa sangka?
Pantas saja ERK dianugrahi MTV Indonesia dengan predikat “The Best Cutting Edge” pada 2008 atau setahun pascaperilisan debut self titled mereka. Namun, apakah predikat “cutting edge” ini bisa dilekatkan pada ERK setelah lebih dari satu dekade dan tentu saja dalam konteks mini album Jalan Enam Tiga yang baru-baru ini mereka lepas ke pasar?
Jalan Enam Tiga adalah penawaran yang berbeda, tetapi terasa familier. Cara terbaik untuk mendefinisikan diskografi ERK secara ringkas adalah “idealisme yang membumi”. Semua campur aduk gagasan yang sebetulnya acak dan mengawang-awang seperti HAM, kritik ekonomi (audio-)kapitalisme, utopia/distopia, seksualitas, sampai kehidupan pascakematian berhasil diberikan telapak kaki untuk menapak bersama orang-orang sehari-hari.
ERK konsisten menggunakan rute ini dalam Jalan Enam Tiga. ERK tidak menjelma jadi “polisi bahasa” atau “otoritas makna” yang mencekoki pendengarnya dengan lirik-lirik pseudo-intelektual-aktivisme yang terobsesi dengan “kebenaran”.
Pendekatan khusus dalam penulisan lirik ini bisa kita simak di dua tembang pertama mini album ini. “Tiba-tiba Batu” mempermasalahkan “Orang-orang di sekitarku” yang “Tiba-tiba menjadi batu”. Namun, siapa orang-orang yang dimaksud di sana tidak tedas. Informasi yang jelas di lagu ini hanya penekanan pada kehadiran manusia “Tapi kepongahannya tingkatan dewa” di bagian chorus. Di “Normal yang Baru”, hal yang menjadi sasaran lirik adalah “Kebohongan yang kita diamkan”. Namun, apa kebohongan yang dimaksud di sana juga tidak tegas. Yang kita dengar adalah peringatan bahwa jika hal itu dibiarkan maka akan “Menjadi normal yang baru”.
Dampak logis yang dihasilkan dari pendekatan ini adalah luwesnya musik ERK memasuki kamar-kamar tafsir yang jamak. Lagu ERK bisa bermakna apa pun bagi siapa pun. Namun anehnya, sejauh ini tidak ada anarki tafsir yang berlebihan mencuat. Tepat pada titk ini, ucapan Cholil di Vice satu waktu jadi penting. Bagi Cholil, separuh dari kekuatan lirik adalah konteks. Siapa yang menciptakan konteks tersebut? Tidak lain dan tidak bukan adalah pendengar ERK atau nama kerennya sekarang “Penerka”.
Mari kita ambil contoh dari dua lagu itu lagi. Keduanya tidak akan berbunyi dalam kamar kosong tanpa konteks. Para pendengar ERK yang notabene kebanyakan berasal dari generasi kelas menengah berpendidikan tinggi yang dulu sering nonton MTV sekaligus Metro TV bisa memberikan konteks ini. Kedekatan mereka terhadap isu-isu sosial-politik-ekonomi dengan mudah akan menggiring pemaknaan pada kritik terhadap para politisi yang tak ubahnya “manusia setengah dewa” dengan kegentingan aktual seperti “RUU Cilaka” dan “RUU Ketahanan Keluarga”.
Sependek pemaknaan itu, jika kecenderungan politik yang meminggirkan kepentingan masyarakatnya melalui perangkat-perangkat hukum tersebut dibiarkan, maka hal itu akan jadi preseden yang buruk; sesuatu yang dianggap biasa, normal, dan benar di waktu-waktu mendatang. Pemaknaan ini juga dimudahkan dengan aktivitas para punggawa ERK yang juga berpartisipasi dalam berbagai aksi massa dan diseminasi gagasan kritis melalui rumah matra Kios Ojo Keos yang mereka jalankan.
Label “cutting edge” pada titik ini memang pas diberikan kepada ERK, karena musik ERK berhasil membuktikkan kemampuannya dalam meretas batas sejauh ini. Utamanya batas antara musisi dan pendengar dengan dialog setara dalam penciptaan ‘konteks’ bersama nan dinamis terhadap sebuah produk kebudayaan yang tidak selesai hanya sekadar menjadi artefak.
Jukstaposisi antara lagu “Jalan Enam Tiga” dan “Palung Mariana” di setengah akhir mini album setidaknya memberikan gambaran kepada pendengar ERK bahwa masih ada masa depan yang tidak menentu bagi kita semua. “Jalan Enam Tiga” yang jadi ikonografi proses kreatif ERK di New York bisa jadi lagu paling ceria dalam diskografi mereka. Tentu saja karena inspirasi langsungnya dari jalan fisik 63rd Street di Manhattan yang sejak 2019 lalu diganti menjadi Sesame Street untuk mengabadikan serial TV anak-anak yang legendaris itu. “Palung Mariana” di sisi lain merupakan lagu yang teramat kelam, karena membicarakan rasa sakit yang akan terus tertinggal dari kejatuhan seorang manusia di titik terendahnya.
Masa depan itu memang tak pasti. Kita bisa senang sesenang-senangnya, atau sedih sesedih-sedihnya. Lagu ERK bisa kembali minimalis atau megah di album berikutnya atau dalam rilisan mini yang mumpuni selanjutnya. Itu bisa terjadi setahun, dua tahun, atau satu lustrum lagi. Malahan, ERK bisa saja bubar lagi, karena anggotanya keluar seperti yang pernah Cholil lakukan sebelumnya atau bertahan untuk dekade berikutnya. RUU-RUU brengsek itu bisa disahkan di kemudian hari. Demokrasi bisa saja lenyap dari Nusantara. Malahan, kehidupan sosial jadi lebih baik karena masyarakat sudah tidak membutuhkan pemerintah. Hidup akan terus berlanjut dan musik ERK akan terus didengar untuk dimaknai lagi dan lagi. [WARN!NG/ Devananta Rafiq]