2018 adalah tahun dengan film-film yang luar biasa. Deretan sutradara, aktor ataupun aktris, eksplorasi bentuk penceritaan, hingga segala talenta baru yang ada seakan semua tumpah di tahun ini. Adalah sebuah kemustahilan untuk merangkum dan menuangkannya hanya jadi satu tulisan. Belum selesai warga maya membicarakan dobrakan Netflix melalui Black Mirror: Bandersnatch –sebuah film interaktif AR (Augmented Reality)– dengan beragam pilihan akhir cerita. Kami sudah dipayahkan dengan deretan dokumenter yang kabarnya sedang bagus-bagusnya dan juga deretan film terburuk versi media-media sebelah untuk sekadar ditonton di waktu luang untuk ditertawakan.
Film-film rilisan tahun lalu tidak meninggalkan impresi khusus atas isu sentral atau satu dua judul yang diagung-agungkan. Jika ada satu-satunya hal yang ditinggalkan oleh 2018, ia adalah deretan film yang perlu ditonton hingga mungkin baru usai saat 2019 tutup buku. Ironis, namun itulah kenyataan yang ada. Dengan waktu yang tidak banyak, tulisan ini sedikit banyak berusaha melihat film-film penting sekaligus segar seraya berupaya untuk tidak terjebak dalam dominasi konsumsi-resepsi film-film produksi Amerika yang selalu penuh sesak di tahun-tahun sebelumnya.
10. Eight Grade (United States)

Sutradara: Bo Burnham
Selain superhero dan kulit hitam, belakangan muncul juga gelombang film coming age yang digarap serius. Eight Grade mungkin bisa jadi “Lady Bird tahun ini”. Film arahan Bo Burnham ini terasa sangat singkat karena saya dibuat begitu peduli dengan tokoh utamanya, Kayla Day (Elsie Fisher), seorang remaja kuper di eight grade–setara tiga SMP di Indonesia, biasanya berusia 13-14 tahun. Kita sedang bicara tentang anak generasi Z yang sehari-harinya berjalan gontai di sekolah sendirian, terbata-bata jika bicara dengan teman-teman populer di kelasnya, dan terpaksa menyalurkan semua uneg-uneg dalam vlog-nya di Youtube dengan angka view menyedihkan. Terdengar klise, namun tokoh ini dihayati dengan pendekatan yang sangat tajam, sehingga untuk pertama kalinya saya yang songong ini teringat juga bahwa dulu pernah punya momen-momen sepertinya, dan mungkin kita semua. Adegan ancaman seksualitas yang diturutkan pun relevan, karena faktanya memang sangat rawan bagi karakter remaja terasing seperti Kayla ini, bukannya melulu ke ABG-ABG gaul yang sering ditakutkan para orangtua. Dan yang paling menarik bagi saya sebenarnya adalah karakter ayah Kayla (Josh Hamilton). Tokoh orangtua di sini tak digambarkan mudah dan banal, misalnya galak atau kolot. Bahkan saya sendiri merasa kelak tidak mampu menjadi sesabar dan sebijak sang ayah, tapi ternyata itupun tidak cukup. Sementara di sisi lain, watak Kayla yang terkadang menyebalkan itu sangat bisa kita pahami pula. Saya selalu mendukung film-film yang bisa menyampaikan pesan bahwa menjadi orangtua itu tidak pernah mudah, dibanding sebaliknya.
9. Blindpsotting (United States)

Sutradara: Carlos López Estrada
Lagi-lagi, setelah beberapa tahun jagat Hollywood diramaikan oleh film-film yang menunjukan emansipasinya terhadap kulit hitam. Dan untunglah wacana yang dibawa belum buntu. Blindspotting tidak menggandeng isu sebesar BlacKkKlansman, namun film ini lebih kasual dalam mengarahkan fokusnya pada isu kekerasan aparat. Collin (Daveed Diggs) merupakan narapidana yang sedang berjuang menuntaskan 3 kali 24 jam sisa masa percobaannya. Asal tidak aneh-aneh selama tiga hari itu, ia siap menghirup udara bebas. Masalahnya, Collin punya sahabat dekat seperti Miles (Rafael Casal) yang banyak tingkah dan suka menyeretnya ke tindak-tindak melanggar hukum. Interaksi kedua tokoh ini adalah pusat dari Blindspotting. Diggs dan Casal adalah penulis naskah film ini, dan mereka benar-benar berteman sejak kecil. Alhasil, pengembangan dan dialog kedua karakter ini amatlah beres. Keduanya tampak benar-benar akrab. Simak adegan-adegan ketika mereka sedang dongkol satu sama lain, sungguh lumrah, mengalir, dan tidak dibuat-buat. Lewat naskah Blindspotting, keduanya memang ingin membenahi potret lingkungan San Fransico Bay Area di sinema yang selama ini masih menyimpang, terutama gambaran ketegangan kelasnya. Persoalan rasisme juga digarap lebih kompleks lewat penulisan sosok Miles, seorang kulit putih yang memilih berkawan dengan kulit hitam karena juga tumbuh dengan risakan. Sebagaimana pandangan Amartya Sen yang menantang pandangan komunitarian, setiap orang tidaklah beridentitas tunggal dalam masyarakat.
8. Searching (United States)

Sutradara: Aneesh Chaganty
Sebuah film yang tampak revolusioner sekaligus terlambat. Karena dengan fakta bahwa Facebook sudah merajalela di akhir dekade 2000-an dan industri 4.0 telah diseriusi pada tahun 2011, baru di tahun 2018 ini ada film yang menggunakan kehidupan digital sebagai medium berkisah yang utuh. Film Unfriended (2014) pernah melakukan rintisan yang lumayan diperhatikan, namun metode mempertontonkan desktop layar komputer dan ponsel pintar sampai akhir ini rasanya baru digarap maksimal di Searching. Praktis, metode ini menuntun gaya bercerita sekaligus gaya menerima informasi yang berbeda. Misalnya, kita bisa mengerti kondisi psikologi tokohnya (apakah ia sedang panik? Ragu-ragu? Syok?) hanya dengan melihat pergerakan kursor di layar. Cara log ika kita bekerja menyerap cerita juga berubah, karena kita mesti terus terhubung dengan sosok karakter yang tidak terlihat, hanya diwakili oleh penggunaan FaceTime, WebCam, Google Maps, Tumblr, dan sebagainya. Namun, pengalaman sehari-hari dengan media sosial membuat kita sendiri—sebagai penonton– punya referensi untuk mengikuti dan menemukan petunjuk-petunjuk dari apa-apa yang disampaikan di film ini. Searching juga menggabungkan digital sebagai medium berkisah dengan wacana perkembangan internet dalam konteks sosialnya. Seorang ayah (John Co) mencoba melacak putri remajanya (Michelle La) yang hilang dengan cara kepo perangkat digitalnya. Seiring itu, ayahnya sekaligus mempelajari selapis demi selapis dinamika pergaulan putrinya. Kadang ia merasa makin dekat, namun sesekali ia merasa makin tidak mengenali putrinya. Infrastruktur digital memang mampu menampung hampir seluruh interaksi yang kita butuhkan, namun kadang itu justru kita manfaatkan untuk menjadi seseorang yang tak bisa kita wujudkan di kehidupan nyata. Jika saja ending-nya lebih berani, film ini pantas lebih diapresiasi.
7. Cold War (Poland, France)

Sutradara: Paweł Pawlikowski
Perang dingin meninggalkan banyak hal dalam sejarah termasuk Iron Curtain. Sebuah batas fisik yang membagi Eropa menjadi dua wilayah terpisah. Antara Uni Soviet dengan negara-negara satelitnya dan negara Barat dengan negara-negara sekutunya. Cold War adalah perjalanan bertahun-tahun melintasi Iron Curtain dengan musik sebagai penanda jarak tempuhnya. Berpusat pada kisah cinta antara seorang komposer dan penyanyi di Eropa Timur pasca Perang Dunia II. Film menyajikan drama ringan kisah cinta yang terkendala waktu, ruang, dan politik. Klasik memang, tidak banyak narasi padat tentang ketegangan perang dingin yang disampaikan di sini. Cukup ambisius bagi seorang Pawlikowski untuk memberi tajuk film ini Cold War di awal, karena selain implementasi dari perang dingin sendiri hanya berakhir jadi latar tak bernyawa. Ia kurang khidmat dalam memaksimalkan potensi warna hitam-putih dalam menciptakan nuansa lawas di mana ia identik dengan masa yang ia bangun sendiri. Jika ada yang baik dari Cold War, ia adalah preambul yang indah dalam menanamkan gagasan bahwa tidak ada pembenaran untuk perang apapun dan satu-satunya tembok yang baik adalah tembok yang runtuh.
6. One Cut of The Dead (Japan)

Sutradara: Shin’ichirô Ueda
Sebuah film tentang proses pembuatan film di dalam proses pembuatan film zombie pendek dengan teknik satu cut tanpa putus. Anda membaca kalimat pertama dengan benar, tidak ada kesalahan penulisan di sana. Ada beberapa lapisan yang dihadirkan dalam film memang. Sepertiga kebosanan awal yang membuat Anda ingin segera mengecek hp untuk sekadar tidak menemukan apa-apa di sana, sepertiga kedua paparan mengapa bisa muncul film seburuk itu di awal, dan sepertiga terakhir humor maha-dahsyat yang mampu membuat Anda tertawa bahkan sampai meneteskan air mata. Menonton One Cut of The Dead adalah seperti dua sampai lima detik keheningan lepas seorang kawan baik melemparkan sebuah lelucon sebelum tawa paham Anda meledak karenanya. Revolusioner, jika tidak berlebihan, untuk menyebutkan bahwa film ini telah berhasil bermain-main dengan konvensi naratif film komedi pada umumnya. Sebuah bentuk paling renyah dari film komedi yang ada di wilayah meta-cinema. Brilian.
5. Roma (Mexico)

Sutradara: Alfonso Cuarón
Semi-autobiografi kuat dan penuh nuansa. Roma adalah cerita tentang kronik satu tahun dalam kehidupan keluarga kelas menengah di Mexico City tahun 1970-an. Keputusan untuk mewarnai film hanya dengan hitam-putih bukan jadi soal. Lanskap-lanskap indah menyublim bersama soundscape kuat dalam menggarisbawahi gejolak-gejolak karakter yang ada. Ambil salah satu adegan yang paling berkesan bagi saya: saat Cleo ditinggal kekasihnya di bioskop. Lalu lalang langkah kaki orang-orang, gemericing mainan anak-anak yang dijual di kaki-lima, hingga teriakan-teriakan para pedagang pinggiran seakan bertubrukan jadi satu mewujud kegelisahan, rasa sepi, hingga kepanikan Cleo setelah kekasihnya pergi entah ke mana meninggalkan ia dan bayi yang dikandungnya. Pengambilan gambar long-shot Cuarón mampu menyulap dunia yang menyebar ke segala arah. Dan ini memungkinkan plot paling sederhana –kehamilan yang tidak diinginkan, pernikahan yang kandas– mampu memposisikan dirinya dengan konteks sosial dan pribadi lewat potongan-potongan kehidupan yang saling bersilangan di dalam bingkai yang sama.
4. Happy as Lazzaro (Italy, Switzerland)

Sutradara: Alice Rohrwacher
Lazzaro, seorang petani yang begitu baik hati sering disalah-pahami sekitarnya sebagai pria yang naif. Ia bertemu dengan Tancredi, anak keturunan ningrat yang tenggelam dalam imajinasinya sendiri. Mereka menemukan setitik sukacita sampai akhirnya kebohongan-kebohongan yang diciptakan tuan tanah sekaligus ayah dan ibu Tancredi di kehidupan desanya terbongkar. Lazzaro dan Tancredi pada akhirnya terpisah karena keadaan, sampai sedikit sentuhan sureal membawa Lazzaro pergi mengarungi waktu tanpa menua sedikitpun ke sebuah kota di mana nasib para penduduk desa masih saja suram seperti sediakala. Meditatif, puitis, dan kontemplatif, tiga kata yang tepat menggambarkan Happy as Lazzaro. Sebuah metafora besar atas Italia kontemporer di mana hasutan kelembagaan digunakan untuk mengeksploitasi kelas pekerja. Rohrwacher telah menciptakan dongeng indah yang mampu membawa penonton kembali ke masa kejayaan Neorealisme Italia dan berfungsi sempurna sebagai alternatif dari film-film dengan perspektif kelas borjuis yang sudah terlalu banyak mendominasi sinema kontemporer.
3. Burning (South Korea)

Sutradara: Lee Chang-dong
Lee Chang-dong disebut sebagai ahli melodrama realistis dari mereka yang termarginalkan. Filmografi sepanjang kariernya membuktikan hal itu. Akumulasi dari serangkaian ambiguitas, pertanyaan-pertanyaan yang dibiarkan menguap begitu saja, sampai motivasi tak terucap yang mampu memunculkan suasana penuh ketidakpastian berkelindan di antara karakter-karakter yang dipinggirkan keadaan. Sebut saja penyandang disabilitas dalam Oasis (2002), mantan prajurit perang yang sudah tidak lagi dibutuhkan negara dalam Green Fish (1997) dan Peppermint Candy (1999), hingga lansia yang sudah tak lagi mengenal dunia sekitarnya dalam Poetry (2010). Dalam karya terbarunya yang disadur dari cerpen Barn Burning karya Haruki Murakami. Chang-dong mengkristalkan rasa frustasi kelas pekerja melalui Jong-su, seorang pria kelas menengah pekerjaan serabutan dengan cara puitis, menggusarkan, sekaligus muram. Film mampu menggemakan lebih dari pada kompleksitas misteri yang dihadirkannya. Ia bukan hanya tentang hasrat tak terlampiaskan, kesepian yang membutakan, kecemburuan seksual yang mendorong penuh alur dalam cerita, atau sekadar gambaran agresi yang memicu kebutuhan moral untuk membayar dendam dengan tindakan yang dibenarkan. Lebih dari itu semua, Burning bisa jadi adalah karya Chang-dong paling sisyphean. Ketika hampir seluruh karakter utama dalam film-filmnya memiliki kemiripan sama dalam mengejar kemungkinan yang sulit dipahami penonton bahkan nampaknya sulit pula bagi karakter dalam film itu sendiri. Kontinuitas dalam filmografi Chang-dong muncul dalam rupa sangkalan-sangkalan enigmatis dari krisis modernitas yang tak terhindarkan di era kontemporer Korea Selatan.
2. First Reformed (United States)

Sutradara: Paul Schrader
Tak sedikit yang mengatakan bahwa film ini mirip dengan Taxi Driver (1976). Pertama, Paul Schrader selaku sutradara memang adalah penulis naskah film legendaris kolaborasi Martin Scorsese dan Robert De Niro itu. Selain itu, First Reformed juga mengisahkan sosok yang menemukan ketiadaan gairah dan makna dari profesi yang ditekuninya, lalu mendapati sebuah alasan untuk melakukan sesuatu yang lebih besar sampai kemudian membuat tindakan yang cukup radikal untuk mencapainya. Reverend Toller (Ethan Hawke) adalah seorang pastur yang harus “mengasuh” sebuah gereja bersejarah namun sepi animo. Suatu hari, seorang perempuan hamil bernama Mary (Amanda Seyfried) meminta tolong kepada Toller untuk bicara dengan suaminya, Michael (Cedric Kyles), seorang aktivis lingkungan garis keras yang menolak punya anak karena sejumlah pertimbangan politis. Perbincangan keduanya adalah adegan terbaik di film ini. Sang pastur sempat memenangkan adu gagasan itu, tapi ternyata argumen-argumen dari Michael sebenarnya terus menghantui kepala Toller, memengaruhi perspektifnya melihat banyak hal kemudian. Dari sini kita akan melihat ketegangan antara keputusasaan dan harapan, serta perselisihan antara agama dan kapasitasnya menyelesaikan permasalahan manusia. First Reformed adalah film yang akan mengingatkan kita pada ide-ide filsuf Soren Kierkegaard, bukan hanya pada konteks Nasrani, melainkan eksistensi seluruh kepercayaan atas nama Tuhan.
1. Shoplifters (Japan)

Sutradara: Hirokazu Kore-eda
Shoplifters membuka cerita dengan sesi rutin shoplifting Osamu dan putranya di sebuah toko serba-ada. Selepas ritual ini, mereka bertemu dengan seorang gadis kecil yang kedinginan. Istri Osamu setuju untuk merawatnya setelah mengetahui masalah domestik yang dihadapi sang anak di rumah sebelumnya. Meski garis kemiskinan begitu nyata di hadapan keluarga baru ini, mereka menjalani hidup yang sangat bahagia sampai sebuah insiden tak terduga mengungkapkan rahasia-rahasia yang selama ini sengaja ditutup rapat-rapat. Tanpa memanipulasi audiens secara berlebihan, Kore-eda lagi-lagi berhasil dalam mengeksplorasi begitu banyak emosi yang dibangun dari kisah sederhana relasi manusia dan kesehariannya. Dalam film-filmnya, narasi sudah tidak lagi antara hitam dan putih. Konflik dihadirkan tanpa ada tendensi untuk menghakimi satu sama lain. Ia hadir dalam upaya untuk memahami; menjelma retrospeksi dari satu kedirian manusia ke kedirian manusia lain yang saling berhubungan di sekitarnya. Satu gagasan besar selalu hadir dalam setiap filmnya; selama tidak ada yang pernah tahu tujuan dan arti dari konsep hidup dan atau berkehidupan, maka selama itulah tidak ada yang berhak untuk menjatuhkan penilaian atas hidup seseorang. Apa yang membuat film-filmnya begitu humanis adalah ketika manusia diproyeksikan sebagaimana mestinya melalui basis memori personal yang melatar-belakangi aksinya. Ia dibangun dengan cermat dalam permainan setiap sikap dan tindakan tiap-tiap karakternya. Konsisten dengan ini, Shoplifters adalah karya terbaiknya sementara ketika Anda ingin menyelam lebih dalam pada kekaryaan Kore-eda sebelum-sebelumnya. Selain karena formula baru courtroom drama pasca The Third Murder (2017) juga sedikit diterapkan di sini. Kesederhanaan yang kompleks dan kesunyian yang penuh kehidupan –dua sentuhan istimewa Kore-eda– nampaknya juga masih tak ada celah.
DAFTAR LENGKAP ALBUM, LAGU & FILM TERBAIK 2018 BISA DIBACA DI TERBAIK-TERBAIK 2018