close

Garin Nugroho: Film Itu Ruang Bebas Ekspresi dan Demokrasi

feature garin x

Cerita-cerita menyoal pelarangan tayang suatu film bukan hal baru. Film-film yang dianggap kontroversial, meresahkan masyarakat, tidak sesuai norma agama, mengandung nilai-nilai yang tidak sejalan dengan pemerintah biasanya ditakuti dapat mempengaruhi pandangan masyarakat akan suatu hal. Alhasil, penayangannya pun kian dipersulit.

Film Kucumbu Tubuh Indahku (2018) yang mengisahkan mengenai perjalanan penari Lengger Lanang bernama Juno ini mengalami polemik serupa. Keberhasilan film di mancanegara dengan sederet prestasi bergengsi, sebut saja Asia Pacific Screen Award 2018, film terbaik Festival Des 3 Continents Nantes 2018, dan mengikuti seleksi Festival Film International di Venesia rupanya tidak berhasil membuatnya selamat dari usaha-usaha pemboikotan dan pelarangan tayang di berbagai wilayah di Indonesia. Pemboikotan ditemukan dengan berbagai bentuk; penggerebekan oleh ormas, larangan pejabat daerah, hingga petisi online yang berseliweran di media sosial.

Wali Kota Depok, contohnya, melalui surat edaran bernomor 460/185-Huk/DPAPMK menyatakan pelarangan penayangan film tersebut di wilayahnya. Film ini juga tidak diperbolehkan tayang oleh Bupati Kubu Raya, Bupati Garut hingga Pemkot Palembang. Di Bandar Lampung, sekelompok ormas keagamaan berhasil membubarkan pemutaran film ini. Hal-hal serupa juga ditemui di provinsi lain mulai dari Pontianak hingga Padang. Tidak hanya pelarangan resmi, petisi bertajuk “Gawat! Indonesia Sudah Mulai Memproduksi Film LGBT dengan Judul “Kucumbu Tubuh Indahku”” dalam rangka memboikot penayangan Kucumbu Tubuh Indahku juga sempat marak di media sosial.

Alasannya seragam. Semua mengklaim bahwa film ini dapat meresahkan masyarakat dan bertentangan dengan nilai agama. Konten film ditakuti mempengaruhi cara pandang dan perilaku masyarakat terhadap kelompok LGBT, isu yang kental ditemui dalam Kucumbu Tubuh Indahku.

Film Kucumbu Tubuh Indahku memang seringkali dikaitkan dengan isu LGBT. Katanya, film ini dapat merusak moral bangsa. Sebuah argumen menarik menyoal moral bangsa yang membuat saya memikirkan moral bangsa seperti apa yang sebenarnya bisa dianggap benar?

Garin Nugroho, selaku sutradara, mengatakan di akun media sosialnya bahwa ini adalah bentuk penghakiman yang telah melahirkan anarkisme massal. “Bagi saya, anarkisme massa tanpa proses dialog ini akan mematikan daya pikir terbuka serta kualitas warga bangsa, memerosotkan daya kerja serta cipta yang penuh penemuan warga bangsa, serta mengancam kehendak atas hidup bersama manusia untuk bebas dari berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan sebagai tiang utama demokrasi,” tulis Garin melalui akun @garin_film.

Bagi Garin sendiri film Kucumbu Tubuh Indahku adalah ruang diskusi mengenai trauma tubuh. Pandangan soal kelompok LGBT yang muncul sebagai bentuk propaganda ditepis Garin dan mengatakan itu hanya prasangka. “Film bukan sebagai panduan moral. Justru dalam film lah diskusi nilai-nilai moral yang sedang tumbuh atau digugat dilakukan.”

Berbagai usaha pemboikotan dan pelarangan ini dibalas cukup keras dengan dinominasikannya Kucumbu Tubuh Indahku dalam 12 kategori Festival Film Indonesia (FFI). Kucumbu Tubuh Indahku berhasil merebut posisi Film Terbaik 2019 dan menjuarai 7 piala Citra di kategori lainnya. Sebagai tambahan, film ini juga menjadi representasi Indonesia dalam perhelatan bergengsi Oscar 2020.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama film Garin Nugroho berhadapan dengan pelarangan dan pembubaran penayangan. Filmnya yang berjudul Surat untuk Bidadari (1994) pernah mengalami pelarangan penayangan di era Orde Baru. Padahal, film ini juga berhasil menorehkan prestasi di berbagai festival film mancanegara. Jika dibandingkan dengan era Orde Baru, Garin menuturkan, saat itu larangan atau sensor yang dihadapi lebih jelas, yakni militer. Tetapi saat ini, menurutnya tidak ada kejelasan akan hal tersebut. “Tidak jelas juga institusi mana yang bisa menolong film saya. Enggak ada. Apakah presiden yang pluralis mau menolong saya? Ini adalah zaman rating dan follower amat penting. Film seni massanya sedikit, Tidak punya pengaruh, apalagi bagi politikus bodoh-bodoh itu,” tuturnya pada wawancara dengan lokadata.

Film Opera Jawa (2006) juga sempat ditentang penayangannya oleh World Hindu Youth Organization melalui surat pernyataan sikap dengan nomor 83/WHYO/XII/2015. Hal ini dikarenakan cerita Opera Jawa dianggap tidak sesuai dengan teks asli Ramayana dan mengaburkan ajaran agama Hindu. Garin kemudian memberi tanggapan dengan merilis pernyataan sikap yang menekankan tentang semangat toleransi, dialog antar agama, dan kebebasan berekspresi.

Perihal isu film sendiri, Garin memang terkenal dengan isu yang menyentil serta sarat pro dan kontra di masyarakat. Film Garin berjudul Soegija (2012) yang mengisahkan tentang Uskup Albertus Soegijapranata menuai kontroversi. Soegija membuat Garin sempat mendapat ancaman pembunuhan yang diakuinya di wawancara di media lain. Film ini digadang-gadang mengandung proses kristenisasi oleh sebagian masyarakat sehingga berbagai anjuran untuk tidak menonton film ini bermunculan. Padahal, Soegija justru berusaha memberi perspektif sikap nasionalisme dari seorang tokoh agama minoritas di Indonesia. Dengan berbagai kontroversi dan ide-ide “nakal”nya, sepertinya aman untuk mengatakan bukan Garin Nugroho jika karyanya tidak memantik perdebatan.

Seperti ungkapan Garin, “film seni massanya sedikit”, maka tidak heran jika film-film Garin pun tidak bertengger di urutan teratas film dengan jumlah penonton terbanyak Indonesia meski kebanyakan sudah diapresiasi dunia internasional. Penikmat film seni memang cenderung tersegmentasi. Beberapa berkata ceritanya sulit dimengerti, ada pula alasan terkait teknis seperti film seni kebanyakan dikhususkan untuk festival-festival film sehingga penayangannya terbatas.

Wawancara WARN!NG kali ini cukup singkat, mengingat kesibukan Garin Nugroho yang tanpa ampun jadi sulit sekali untuk membuat janji temu. Mungkin tidak bisa menjawab semua polemik terkait kontroversi yang lekat dengan nama Garin Nugroho, tetapi semoga saja cukup untuk mengulik cerita dan sudut pandang Garin Nugroho. Semoga, ya.

Wawancara Oleh: Hasya Nindita

Bisa ceritakan hubungan Anda dengan Rianto, hingga Anda memutuskan membuat film tentang dirinya?

Saya sudah 3 tahun kerja produktif dengan Rianto. Pertama, sebagai dramaturg karya koreografi Rianto bertajuk “Medium” yang sudah keliling ke lebih dari 20 negara. Kedua, membuat film pendek berjudul Dance dengan Hawai University, Rianto sebagai peran utama dan penata gerak. Ketiga sekarang proses riset karya baru “Hijrah”, dia koreografer dan saya dramaturg. Bagi saya yang menarik itu tubuh Rianto adalah perjalanan tubuh maskulin dan feminin sejak kecil ketika masih tinggal di Banyumas, di desa asal Lengger yang menjadi pusat muara maskulin dan feminism. Kemudian, Rianto bertumbuh di ISI Solo dalam ruang akademik dan melalui berbagai perjalanan internasional. Gabungan ini menjadi menarik dan kaya.

Apa yang berusaha ditampilkan dari isu “trauma” dalam Film Kucumbu Tubuh Indahku?

Film Kucumbu Tubuh Indahku adalah perihal trauma, baik dalam lingkup trauma budaya hingga tubuh. Baik tubuh personal, sosial, hingga politik. Maka, film kucumbu memperlihatkan perjalanan tubuh personal hingga sosial dan politik. Setiap tubuh hingga bangsa punya trauma, mereka yang bisa mengelola traumanya akan tumbuh produktif menjadi kekuatan dan energi.

Baik Kucumbu Tubuh Indahku maupun film-film Anda sebelumnya seperti Surat untuk Bidadari, Bulan tertusuk Ilalang, dan Daun di Atas Bantal, kerap menampilkan anak-anak yang tidak merasakan kasih sayang seorang ibu. Apa alasannya?

Anak-anak selalu menarik, karena ia ruang tumbuh utama karakter dan ruang bebas serta luas menjelajah. Dunia ibu begitu melekat pada diri seseorang, saya memotret ibu pada relasi dunia anak, ini adalah dunia menumbuhkan dan merawat. Perlu dicatat, saya memotret ibu tidak dalam bentuk propaganda, tetapi, saya memotret sosok ibu dengan beragam fakta kehidupan untuk kita bisa membaca kenyataan – kenyataan yang ada di sekeliling kita. Film bukan kitab contoh moralis ataupun pesan humaniora atau ideologi. Film bisa membuka kenyataan, menggugat, melawan tapi juga menghibur sekaligus menjadi visi serta dunia misteri bagi sutradara. Saya sering melempar kenyataan-kenyataan tentang tokoh perempuan dengan segala kekalahan, namun juga perlawanan dengan caranya sendiri. Seperti dalam film Surat Untuk Bidadari dan Daun di Atas Bantal, tidak ada sosok kepahlawanan hitam putih perempuan.

 

Dok. pribadi

Seberapa peduli Anda dengan jumlah penonton?

Saya tidak terlalu memikirkan jumlah penonton sedikit. Peradaban hanya bisa dibangun dalam tiga kebudayaan: kebudayaan merawat heritage dan menumbuhkannya, kebudayaan populer dan massa serta uang besar, dan ada kebudayaan mengelola jalan alternatif. Ketiga aspek ini adalah dasar peradaban. Pada aspek kebudayaan alternatif memang penonton akan sedikit dan perlu etos kerja mengembangkan penonton dan sistem funding.

Apa pendapat Anda mengenai kultur pelarangan film di Indonesia?

Ada dua hal; pembiaran dan sifat. Kompromi dengan tidak menindak tegas ormas yang berlaku sebagai lembaga polisi dan pengadilan jalanan adalah jelas menghina dasar dan proses penegakan hukum sebagai sebuah bangsa. Melahirkan penghakiman jalanan yang banal serta radikal. Inilah kebun besar radikalisme. Maka jelas saya menentangnya. Harus ada tindakan tegas di lapangan. Sungguh tak ada guna jika pluralisme hanya jadi ucapan politik dan pelarangan ormas sebatas ijin dan seruan politik, tapi di lapangan malah dibiarkan bebas melakukan pelarangan.

Lalu kenapa ada segolongan masyarakat yang tidak siap disodorkan film seperti film Kucumbu Tubuh Indahku?

Ini perihal tafsir Kucumbu Tubuh Indahku. Film saya selalu mengangkat tema sensitif, ini dimaksudkan agar timbul dialog dan tumbuh kedewasaan dalam apresiasi serta mendialogkan sebagai cara tumbuh demokrasi. Maka saya selalu sadar akan berbagai konsekuensi terhadap karya-karya saya di masyarakat, namun, harus ada keberanian untuk terus mengelola itu dan menumbuhkan ruang bebas ekspresi serta demokrasi.

Anda sempat mengeluarkan pernyataan, “film Kucumbu Tubuh Indahku tidak cocok di Oscar dan lebih cocok di festival film eropa”, bisa dijelaskan? 

Oscar lahir dari masyarakat dengan kondisi sosial, politik, dan budaya berbeda dengan ekosistem film eropa. Begitupun cara penjurian dan data hidupnya. Seorang sutradara harus tahu tempat hidupnya, seperti tanaman harus tahu tempat tanah yang sesuai dengan karakter tanamannya. Sudah dua kali film saya; Daun di Atas Bantal dan Kucumbu Tumbuh Indahku menjadi representasi ke Oscar, itu adalah penghormatan karena Oscar adalah arsitektur terbesar film. Tetapi, festival di eropa dan asia lebih sesuai dengan karakter film saya, beruntung saya sudah masuk dalam sirkuit festival film terbesar Eropa dan Asia.

Menurut Anda, seberapa besar pengaruh sebuah film dalam membentuk opini penontonnya?

Pengaruh film bisa langsung atau tidak langsung dan berjalan kompleks. Film adalah dunia simbol dan tanda. Kedua hal ini membawa penonton dengan beragam karakter dan peristiwa hidup serta beragam cara pandang. Maka peran dan dampak film juga kompleks, kadang terukur dan kadang tidak. Namun bagi saya, lahir di dunia adalah hidup dalam kodrat diciptakan dan menciptakan. Dunia adalah ekosistem melihat penciptaan dan menciptakan, sebuah ekosistem layaknya taman bunga, setiap tanaman yang begitu beragam punya peran dalam ekosistem dan saling menghidupi dengan caranya sendiri, semakin berkualitas dalam tumbuhnya maka semakin menghidupi ekosistem. Jadi, mencipta bagi saya adalah bertumbuh dalam ekosistem, pasti dapat memberi guna jika bertumbuh secara berkualitas dalam ekosistem itu.

Anda berhasil memenangkan film terbaik piala citra 2019, menjadi perwakilan Indonesia untuk Oscar, dan berbagai penghargaan lainnya. menurut Anda, apakah film dengan pencapaian seperti itu dapat dijadikan standar film bagus?

Penghargaan adalah penghormatan besar atau sekecil apa pun dan reward kerja keras kita. Saya telah meraih lebih dari 75 penghargaan film dan budaya, diantaranya ada penghargaan tertinggi pemerintah Perancis dan Itali, juga budaya Presiden, Hininaeu Award Singapura, Life Achievement Bangkok, dll. Namun, film yang baik hanyalah jika ia bisa menumbuhkan diri sutradara dan penontonnya dalam dialog dan apresiasi serta memberi ruang eksplorasi baru pada perjalanan baru baik dari segi teknologi, estetika, sains pada film mau pun hidup ini.

warningmagz

The author warningmagz

Leave a Response

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.