
Dari sejuknya Bandung, mereka menghentak dengan musik penuh kontemplasi yang keras. Sautan riff gitar yang gahar dan gebukan drum tak tertebak membuat komposisi mereka sarat kenikmatan. Sekilas seperti mendengarkan Black Sabbath tapi dibumbui aroma stoner-rock yang kental tanpa kehadiran Ozzy Osbourne. Terpenting, dengarkan kala rutinitas menyerang kepala maupun renungkan ketika sepertiga malam terakhir mendera maka niscaya kompleksitas mereka merupakan obat ampuh untuk meringankan beban hidup menuju nirwana.
Tak ada vokal bukan berarti kekuatan musikalitas mereka tereduksi. GAUNG, begitu mereka biasa dipanggil, menggantinya dengan kepingan-kepingan penuh makna yang dihasilkan lewat pemahaman subtil. Barisan teks, puisi, sampai kondisi sosial di sekitar adalah sumber inspirasi utama yang mereka ubah ke dalam cekung instrumentasi. Jika tak percaya, simak saja debut album mereka bertajuk Opus Contra Naturam yang baru saja dirilis beberapa bulan silam melalui label Orange Cliff.
GAUNG terdiri dari Ramaputranta dan Randy Pandita. Dibentuk empat tahun yang lalu, GAUNG sama halnya band lain juga mengalami pasang surut sebagai kolektif. Mulai bongkar pasang personil hingga insiden raibnya alat musik mereka yang nyatanya berpengaruh besar pada proses pembuatan karya mereka. Namun, masa-masa itu sudah berlalu. Sekarang GAUNG mulai menginjak pedal gas kendaraan dan berupaya melaju kencang di lintasan balap independen. Dihubungi melalui surel, GAUNG mengungkapkan pelbagai hal; mulai dari definisi Opus Contra Naturam, urgensi respon para pendengar, serta impian jadi band rock papan atas yang dijawab dengan celoteh tawa.
Sebelumnya saya ucapkan selamat untuk rilisnya album kalian, Opus Contra Naturam. Bagaimana proses pengerjaannya? Apakah mengalami kesulitan yang berarti?
Terima kasih, tapi sebenarnya rilisan resmi kami dalam bentuk fisik masih belum bisa dinikmati. Rencana pada akhir Juli akan dilepas di Bandung. Kendalanya sih klise; uang dan keluar-masuk personel, terutama untuk posisi atau pemain drum. Tapi yang paling berat di antara itu semua adalah ketika waktu alat musik hilang sebelum rekaman (yang menuntun kami untuk 2 tahun kerja seperti kuda dulu baru bisa bermusik lagi).
Dilihat dari tajuk album kalian, sepertinya membawa nama maupun kandungan filosofis yang berat dengan penggunaan semacam bahasa latin. Apa yang ingin disampaikan sebenarnya dengan mengambil tajuk Opus Contra Naturam?
Menurut saya maknanya bisa memberatkan tapi sekaligus di sisi lain juga memperingan. Opus Contra Naturam adalah berarti karya penentang alam. Artinya bahwa bentuk perlawanan pada alam di sini bisa jadi kecendrungan dalam sifat dasar, aturan, budaya, nafsu, stigma, doktrin, konservatif, emosi, kebaruan yang mana dalam koridor musik mungkin bisa jadi sebuah genre. Gagasan awal memang subversif; tapi kalau sudah jadi musik instrumental semua simbol hanya berarti di tangan pendengar. Bahkan mungkin juga bisa jadi soundtrack untuk pacaran.
Jadi, Opus Contra Naturam adalah rilisan debut kalian? Apakah sempat mengeluarkan EP sebelumnya?
Iya, Opus Contra Naturam adalah rilisan perdana kami dan kami belum pernah merilis karya sebelum ini.
Mengapa kalian mengambil pilihan musik instrumental? Apakah langkah tersebut kalian ambil sebagai suara protes kalian dengan diam?
Tidak. Kami mempunyai ketertarikan dengan hal-hal subversif tapi kami juga sadar bahwa tidak semua hal bisa dilakukan sendiri. Jadi dalam hal ini Rama memposisikan musik sebagai subliminal medium atau bisa disebut dengan audio tanpa teks. Tujuannya adalah untuk memberi ruang imajinasi pada pendengar dan penggiat medium lain seperti seniman visual, penulis, jurnalis, atau bahkan aktivis sosial untuk dapat dengan leluasa berkolaborasi sekaligus merespon atau justru menikmati. Merekalah yang menjadikan album ini eksplisit; terdengar sebagai protes, propaganda, atau bisa jadi tidak terjadi apa-apa. Kolaborasi kongkrit tersebut mungkin akan ada di showcase kami yang rencananya akan diselenggarakan akhir tahun ini.
Untuk proses bekerjanya sendiri, apakah terdapat pembagian kerja yang kalian tentukan? Atau ada komando dari salah satu pihak?
Awalnya semua dirancang sendiri baik secara konsep, aransemen, sampai recording. Lainnya itu yang tidak kalah penting dijalankan secara kolektif serta open source. Seperti halnya pada eksekusi drum, synth, dan vokal di track 8 (Rendy Pandita), voice over dan script di track 9 (Hanna Azarya Samosir & Marconi Navales), produksi dan visual (Orange Cliff, Dally, Nyek, Nitya, Damar, Kendra, Djali, Dito, Robby), GAUNG sebagai band (Dena Prabandara, Tommy, Beni), dan masih banyak lagi yang menyumbangkan kontribusi. Kalau enggak ada mereka GAUNG tak akan jalan. Mereka yang turut membantu dalam kontribusi album GAUNG ini bisa disebut keluarga.
Sembilan nomor dengan judul lagu yang cukup rumit; baik secara pelafalan maupun makna di dalamnya. Dari mana mendapatkan inspirasi seperti itu?
Kalau dibandingkan judul dan metode yang dilakukan GY!BE atau band lokal semacam Sungsang Lebam Telak, Hark!, It’s Crawling Tar Tar, Zoo, dan beberapa lagi, sungguh GAUNG enggak ada apa-apanya. Inspirasinya yang jelas dari teks, situasional sosial, dan persona seseorang atau beberapa hal yang saya kaitkan dengan karya tulis, puisi, serta berita yang saya rasa punya benang merah dengan gagasan saya.
Apakah dari satu komposisi ke komposisi yang lain menjalin sebuah keterkaitan cerita?
Iya, tapi masih ada aja kendala teknis yang mengikuti langkah kami.
Dalam laman Bandcamp Orange Cliff disebutkan bahwa “Nine exuberantly satire songs are a form of acerbic wit of nearly lyricless progressions and sounds, leaving almost everyting open for interpretations.” Jadi kalian membebaskan interpretasi orang-orang ketika mendengarkan lagu kalian?
Iya, bebas. Walaupun pada dasarnya tetap ada hook untuk stimulan pendengar (judul, artwork, ataupun hasil wawancara) bagi mereka yang ingin tahu versi GAUNG.
Biasanya permainan instrumental menyediakan ruang improvisasi yang lebih besar; seperti tak ada pola baku yang harus ditaati. Bagaimana dengan GAUNG?
Permainan instrumental yang seperti apa? Kan banyak sekali permainan instrumental seperti yang dibawakan musisi klasik, Depapepe, sampai bahkan John Cage pun juga instrumental. Metode dan urgensi musiknya juga beda-beda. Pada album pertama ini, GAUNG memang gak terlalu bereksperimen di ranah teknis yang kompleks, minimalis yang radikal, atau penggunaan alat musik non-konvensional. Sekarang masih sebatas Instrumentalisasi konteks: teks, gagasan, puisi, dan sonic journalism yang terlepas dari sub-genre tapi masih dalam jalur yang sensasinya rock konvensional.
Tidak pedulikah kalian dengan tanggapan pendengar soal gaya bermusik GAUNG yang dianggap terlalu “berat” dan dingin karena tak ada vokal?
Bebas. Kalau bisa berat harusnya bisa juga ringan. Karena secara langsung enggak harus dipikirin lagunya berbicara tentang apa. Mumpung selagi instrumental.
Bagaimana awal mula terbentuknya GAUNG?
GAUNG berawal dari proyek eksperimen tunggal saya di kampus dan skena sub-underground Bandung pada tahun 2013. Lalu seiring berjalannya waktu, saya mulai mengajak teman-teman untuk menjadi personel. Pada tahun 2014 bongkar pasang personel mulai terjadi sebelum akhirnya musibah datang menghampiri (kehilangan alat musik). Dalam rentang waktu rehat tersebut saya membuat komposisi dan menulis materi album sendiri sebelum mengajak Rendy Pandita di pertengahan 2016 untuk mengisi posisi drummer di album perdana ini.
Siapa inspirasi terbesar kalian dalam menciptakan musik sampai sekarang atau dalam proses penyusunan album baru kalian?
Yang terbesar tentu saja berupa teks dan catatan Ahmad Wahib. Sisanya bisa berwujud sub-teks, puisi, hingga situasional sekitar kota. Untuk musik terinspirasi oleh band-band semacam TOOL, Pink Floyd, The Mars Volta, King Crimson, Godspeed You!, dan Black Emperor.
Band-band Orange Cliff dikenal perfeksionis secara teknik musikalitas maupun pendukung lainnya. Dari awal apakah GAUNG memang sudah memiliki karakter semacam ini atau terbawa iklim yang ada di Orange Cliff itu sendiri?
GAUNG yang turut membawa iklim untuk band-band Orange Cliff terutama untuk iklim keburukan dan kemalasan, hahaha. Tapi sungguh, roots GAUNG sedikit berbeda dari band-band Orange Cliff yang perfeksionis.
Bagaimana kalian membentuk musikalitas GAUNG?
Latihan fingering laba-laba sambil kaitin karet warung di jari.
Ada target untuk menjadi band rock papan atas?
Rock papan atas? Atas segalanya! Ashek!
[WARN!NG/Muhammad Faisal]