Yogyakarta sedang sibuk mencari yang hilang katanya. Situasi kota sedang tidak nyaman katanya. Di Lelagu #4, segerombolan seniman ikut menyuara. Menyanyikan doa untuk kota, menyuarakan unek-unek dalam bentuk nada.

“Ode buat Kota” adalah tema yang diusung Lelagu dalam pagelarannya yang ke-empat di Kedai Kebun Forum Jumat lalu (11/10). Lelagu #4 sedang tidak sekadar mengada. Ikut serta sebagai salah satu rangkaian Festival Mencari Haryadi, setlist dari para line-up, orasi-orasi singkat dan bahkan setting venue malam itu disiapkan khusus. Bahkan sebelum acara dimulai, muncul beberapa anggota paduan suara menyanyikan beberapa lagu sebagai teaser penampilan mereka di depan rumah walikota Yogyakarta nanti.
“Wah yang nggak ke Lelagu malam ini rugi!” adalah komentar Dani, salah satu penonton. Selain konsep acara yang bertema jelas, mood dari para penampil mengarahkan penonton menuju klimaks sebuah pertunjukkan musik.
Diawali dengan Slipping Pills yang menyuara irama folk, mereka seolah mengajak melakukan pemanasan yang ringan. “69” mengawali penampilan mereka. Walaupun saat itu venue masih terlihat sepi, tapi genjrengan gitar dan tempo ketukan folk yang mudah dinikmati merupakan pembukaan yang manis. 6 nomor dibawakan oleh band yang baru dibentuk tahun 2011 ini. Nomor “Kota yang Tak Pernah Berhenti” disuarakan sebelum “Resep Subversif” mengakhiri penampilan mereka. Diantara lagu-lagu yang dimainkan, orasi singkat tentang isu “Jogja Ora Didol” dilakukan dengan santai. Lalu seperti konsep Lelagu sebelum-sebelumnya, screen besar dibelakang band dikuasai para perupa yang melakukan live drawing. Mendampingi Slipping Pills, Rudy Lampung melakukan tugasnya dengan baik.
Tampil kedua, Lampu Kota terlihat lebih ‘bertenaga’. Salah satu lagu andalan mereka, “Bird Song” mengawali penampilan. Membawa 4 personilnya, Lampu Kota malam itu juga menggandeng Wipti Eta –vokalis Summer in Vienna & Sri Plecit- menyanyikan “Bintang Balap” dan “Jangan Mati”. Menjadikan penampilan mereka lebih spesial. Sementara itu, Alfonsus Lisnanto di belakang mereka sedari tadi sibuk membuat berbagai ilustrasi tentang riuhnya gedung-gedung perkotaan. Mengimbangi itu, Lampu Kota menutup penampilan mereka dengan nomor “Di istana” yang menceritakan kejenuhan publik menerima berita-berita buruk tentang kotanya.
Setelah bersyahdu ria, giliran 2 band punk yang mengokupasi Lelagu #4. Seperti di episode sebelumnya, band-band yang bermusik keras ini harus tampil secara akustik. Giliran pertama adalah Realino Resort yang membawakan sekitar 5 lagu. “Nyala” mengawali setlist, menyalakan mood penonton yang mulai memenuhi lantai 2 kedai kebun. Chatax, vokalis Realino Resort tetap menggoyangkan badan sambil duduk di set akustik Lelagu. Hendra “Blangkon” yang bertugas sebagai perupa terlihat sibuk membuat ilustrasi-ilustrasi unik di screen menggunakan berbagai properti. Nomor-nomor andalan seperti “Di Bawah Pecahan Matahari” dan “Sekutu Debu” dibawakan. Lalu mengakhiri penampilan mereka, lirik-lirik punk di nomor “Bentak Benak!” diteriakkan disusul bonus lirik lagu “Kota” milik Iwan Fals “Tangis bayi adalah lolong srigala… di bawah bulan….”.
Line-up terakhir yang juga klimaks Lelagu #4 akhirnya muncul. Dom65 mendapat gilirannya diikuti puluhan fans mereka membuat venue riuh. Tampil santai, Dom65 terlihat intim dengan penonton. Di nomor-nomor seperti “Klub S.A”, “No Ticket to Jakarta”, “Greatest Pledge Article” dan “8 to 8” gelombang sing along terus menyuara. Penampilan Dom65 seolah reuni band streetpunk yang sudah ada sejak tahun 1997 ini dengan fans-fansnya. Terlebih saat “Fortuna” di suarakan, penonton yang semula duduk tiba-tiba berdiri, membentuk crowd yang lebih liar. Lagi-lagi konsep akustik di Lelagu seolah diingkari. Imam Senoaji, Uut, Adnan dan Yanda seolah tenggelam dikerubungi penonton yang berdiri dan menyayi bersama mengelilingi mereka. Salah satu moment paling intim adalah saat mars PSIM dimainkan. Gemuruh sing along tidak hanya menimpali lirik-lirik yang biasanya sengaja dipotong vokalis, sing along dinyanyikan dari awal sampai akhir. Venue Lelagu bergetar, tangan-tangan diangkat, teriakan-teriakan yang seolah meneriakkan unek-unek disuarakan dengan lantang. Serupa pesta.
Rudy Atjeh (R.A.D) yang juga personil band Sangkakala juga mencuri perhatian melalui aksinya selama Dom65 bermain. Beberapa ilustrasi karyanya dibuat menyerupai wayang. Digerakkan dan ditambahi kalimat-kalimat yang mengundang tawa. Dom65 malam itu juga sempat meng-cover lagu “The Kids are Allright” milik band british lawas, The Who. Belasan lagu dinyanyikan Dom65 seolah Lelagu adalah acara milik mereka. Malam itu, Lelagu yang sebenarnya masih dalam tema besar Festival Mencari Haryadi diakhiri dengan venue yang berbau alcohol dan terkesan liar. Namun begitu, anggap saja dalam pencarian dan usaha menjadikan Yogyakarta semakin nyaman ini, masing-masing seniman punya caranya sendiri-sendiri. [Warn!ng/Titah Asmaning]


Event By : Kanaltigapuluh
Date : 11 Oktober 2013
Venue : Kedai Kebun Forum, Jl. Tirtodipuran
Man of The Match : Mencari Haryadi dalam event musik
Warn!ng Level : ••1/2