Director : Daniel Ziv
Casts : Ho, Boni, Titi
Sebuah siang di bahu salah satu ruas jalan Jakarta, Ho dan dua temannya bercengkrama. Tak ada yang serius dari obrolan mereka. Si gimbal Ho sedang berkisah tentang sejarah kehidupan romansanya. Dengan santai ia menyarankan untuk jangan terlalu mencintai wanita berlebihan hingga lupa mencintai diri sendiri, tapi terdengar ada kegetiran dari cara ia bercerita. Pengalamannya dulu ketika ia terlalu menginvestasikan waktu dan energinya pada seorang wanita sampai mengurus diri sendiri lupa, hingga ia tidak dapat apa-apa ketika sang wanita pergi begitu saja. “Gue sih cinta banget sama Indonesia, nggak tau Indonesia cinta gue apa kagak”, selorohnya. Maka begitulah, film ini akan bergulir layaknya obrolan Ho dengan dua rekannya; jujur, spontan, penuh rasa, dan relevan dalam berumpama.
Jalanan (judul internasional: Streetside) merupakan film dokumenter yang bercerita tentang sisi lain kehidupan di gemerlap ibu kota. Semesta film berputar pada tiga tokoh sentralnya; Ho, Boni dan Titi. Ketiganya pengamen jalanan, rutinitas mereka diisi dengan menjual tarikan suara dari satu bus ke bus lainnya. Tokoh keempat adalah Jakarta, sebagai kota tersohor yang sebagian besar rakyat Indonesia tahu bentuk dan rupanya, tapi enggan mengupas kulit dan mengecap rasanya. Sutradara asal Kanada, Daniel Ziv menghabiskan tak kurang 4,5 tahun proses penggambilan gambar ditambah dua tahun post production, memangkas 250 jam raw footage menjadi 107 menit durasi film final. Menghasilkan kesatuan cerita tentang kegigihan dan determinasi, atau dari bingkai yang lebih besar, cerita tentang orang Indonesia asli.
Cerita masing-masing tokoh berjalan independen secara paralel. Ziv menjahitnya secara sederhana dengan jukstaposisi menggunakan fokus satu basic needs manusia untuk tiap cerita (papan, pendidikan, cinta/keluarga) dan usaha pencapaian mimpi mereka. Satu elemen bertutur yang tak kalah penting dalam film ini adalah lagu-lagu original yang mereka bawakan ketika mengamen. Dalam struktur penceritaan, tiap kali scene ngamen muncul berfungsi untuk mengeksternalisasi kegundahan tokoh akan suatu kondisi. Dan jangan juga remehkan musikalitas mereka, ketiganya memiliki karakterisitik yang mudah teridentifikasi. Seperti lirik lagu-lagu Ho yang satir dan brutally honest. Di satu nomor, dengarkan bagaimana Ho mengasosiasikan reformasi dengan masturbasi, hal yang belum pernah saya dengar sebelumnya di radio maupun televisi.
Kontras dengan lirik lagu Ho yang cenderung spontan dan impulsif, ada kepuitisan dalam rangkaian lirik gubahan Boni. Dengan tarikan suara bernuansa folks dan lirik ala Iwan Fals, Boni melantunkan kisah masyarakat yang termarginalkan oleh kerasnya realita kota metropolitan Jakarta yang moody, terasa sense of rawness and tenderness at the same time. Lain lagi dengan Titi yang beberapa kali menjual lagu religi, karena menurutnya orang Indonesia mudah termakan simpati.
Lewat lirik-liriknya mereka bisa lantang menyuarakan keresahan tentang negara dan bagaimana kelangsungan hidup mereka. Mampu menyentil tanpa kesan sinis dan justru menghangatkan. Liriknya begitu universal tanpa terkesan superfisial. Kemudian sempat terpikir, apakah isi lirik itu yang selama ini saya rasakan? Tapi enggan menyuarakannya karena terhambat sistem dan posisi saya di dalamnya, yang membuat tidak bisa bebas berbicara.
Mendapat penghargaan Best Documentary sekaligus world premiere di Busan International Film Festival 2013, film ini berani mengkonstruksikan realita yang bahkan untuk (sebagian) orang Indonesia sendiri masih mencengangkan. Seperti Titi yang diharuskan memakai kerudung oleh nenek suaminya. Maka adegan dimana Titi menarik lepas dan menyelipkan kerudungnya di case gitar sebelum berangkat ngamen menjadi adegan yang somehow sangat memorable buat saya. Kita juga akan dibawa melihat Boni berjalan melewati belasan gerai high end fashion di sebuah mall grade A. Beberapa kali naik turun eskalator, Boni menuju toilet. Direkam dengan kamera mikro yang disembunyikan di saku cameraman-nya, Boni mempertanyakan kesetaraan manusia dan konsep stratifikasi sosial ekonomi masyarakat. “Kalau tainya aja bisa nyampur, kenapa orangnya nggak bisa?”
Deddy Mizwar pernah menyuarakan kritikan senada empat tahun lalu lewat Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Kala itu, Deddy mengkondisikan konfliknya pada tokoh utama yang mempunyai status sosial dan keadaan ekonomi yang lebih settle, seperti kebanyakan penonton film di Indonesia. Tapi apa yang membuat Jalanan lebih mengena adalah bagaimana kita bisa melihat refleksi diri kita di tokoh-tokohnya. Masalah yang mereka hadapi nyata. Reaksi verbal dan emosional atas situasi yang menimpa juga bukan rekayasa. Dan kita memahami mereka tanpa harus merasa terlalu iba.
Words: Catra Wardhana