close

Jerinx: Bala Prahara

jrxxx
jrx
jrx

Wawancara oleh: Tomi Wibisono & Soni Triantoro

Sudi atau tidak, ia bukan rekaan belaka. Nama aslinya I Gede Ari Astina, populer dengan nama Jerinx, namun tak sedikit yang lebih mengenalnya sebagai mimpi buruk. Tubuh kekarnya yang berselimut tato adalah visualisasi ideal dari statusnya sebagai juru bicara sebuah band rock bermassa raksasa yang tak segan menghantui lini-lini kehidupan lain. Gebukan drumnya keras menggeletar, tapi petaka lebih sering muncul oleh apa yang keluar dari mulutnya.

Mengendalikan seisi kepalan tangan stadion mungkin adalah simbol kebesaran musisi. Namun, ia bahkan tak perlu stadion untuk mampu menggerakan ribuan kepala menentang sesuatu yang menurutnya adalah ketidakberesan. Barisan korbannya berupa-rupa, mulai dari penjual-konsumen minyak rambut ahistoris, musisi apolitis, festival musik seakbar Soundrenaline, hingga yang terbaru, perusahaan Telkomsel yang sempat kelabakan pasca menyebarkan pesan dukungan pro-reklamasi Teluk Benoa.

Sesuai nama bandnya, Superman Is Dead (SID), gagasan heroisme ala superman memang ia temui telah berkalang tanah. Sepak terjangnya sebagai idola dan panutan banyak kawula beriring dengan barisan lain pihak-pihak yang antipati. Baik oleh oposisinya, maupun mereka yang sekedar sangsi atau tak sepakat dengan aksi-aksinya. Buku biografi perdana SID bahkan menggunakan konsep pengisahan tiga tuduhan besar yang dialamatkan pada awal kiprah trio punk rock asal Bali tersebut dengan tajuk tanpa tedeng aling-aling: Rasis! Pengkhianat! Miskin Moral!. Terbit bulan Agustus lalu, buku itu menyajikan plot narasi berdasar kecaman publik akan kasus tato “Fuck Java”, sellout ke major label, hingga polemik band maniak bir. “Apapun yang tak membunuhmu akan membuatmu lebih kuat. Dan satu lagi, karma is a bitch! Makan itu semua para haters!,” pesan Jerinx ihwal realitas paradoks bahwa salah satu band terbesar di negeri ini justru lahir dari kubang makian.

Digarap dengan bahasa yang kasual oleh mantan manajer SID, Rudolf Dethu, Rasis! Pengkhianat! Miskin Moral! memang hanya memaparkan perjalanan Bobby Kool (vokal, gitar), Eka Rock (bas) dan Jerinx (drum) sampai di era album Kuta Rock City (2002). Unik juga bagaimana buku itu tak berupaya menutupi deretan komentar miring dari para kritikus terhadap musikalitas album yang pada akhirnya tetap laris manis tersebut, terutama di sektor sound yang mengecewakan. Pun itu kembali diakui oleh Jerinx,“Sound di album itu memang dibawah standar. Lha gimana mau bagus, kami yang di Bali biasa rekaman di studio asal-asalan—menyikat empat belas lagu dalam dua hari—tanpa metronom, tiba-tiba dihadapkan dengan studio megah serta alat-alat mewah nan canggih. Kami syok, gegar teknologi.“

Namun, impak Kuta Rock City bukan hanya dari materi musik, melainkan eksistensinya sebagai produk perdana buah teken kontrak SID dengan label Sony Music Indonesia. Momen yang mengawali maraknya SID menerima cap “pengkhianat” oleh banyak pihak dari komunitas punk dan kancah musik independen. Perkara yang tak terasa sudah menghabiskan tiga belas tahun (enam album), hingga kini tinggal menyisakan hutang satu album untuk menuntaskan kontrak dengan label rekaman terbesar se-Nusantara itu. Setelahnya, Jerinx menyiratkan kemungkinan bagi SID untuk kembali merilis album secara independen.Ya kecuali kalau Sony mau balik ke era non digital dimana band yang dikontrak harus dibayar di muka dulu layaknya di negara-negara maju jaman dahulu,” ujarnya.

Syahdan, membaca Rasis! Pengkhianat! Miskin Moral! juga membuat kita memahami bahwasanya telah sejak dahulu adanya karakter Jerinx yang lebih distingtif dibanding dua rekannya, yakni temperamental dan meledak-ledak. Sesuatu yang kini paling mudah disimak dengan misalnya, mengikuti aktivitas kicau Twitternya yang sarat seteru dan angin ribut, Saya nggak menyalahkan siapa-siapa. Tapi sebab yang paling masuk akal kenapa saya berwatak seperti itu adalah karena masa kecil saya,” tukasnya kepada WARN!NG.

Sebagaimana SID, Jerinx pun tumbuh dalam lingkungan turbulen. “I had a fucked up childhood with a fucked up family. Saya anak tunggal. Lahir di Kuta. Ayah sopir taksi, ibu waitress di hotel. Mereka selalu sibuk jadi saya sangat sering ditinggal sendiri. Karena alasan finansial, saat SD saya dititipkan di keluarga almarhum Paman. Keluarga kelas menengah ke bawah yang –sayangnya—disfungsional dan memiliki konflik internal tersendiri hingga saya merasa makin terasing. Saya benar-benar tidak punya kenangan yang baik tentang masa-masa itu. Setelah orang tua saya punya sedikit tabungan, saya pindah bersama mereka hanya untuk menyaksikan mereka–literally—berusaha saling bunuh. Entah berapa kali saya lihat Ibu mencoba membunuh Ayah, dan entah berapa kali saya lihat Ayah menghajar orang di depan umum karena cemburu. They were definetly NOT meant to be together. Untungnya mereka bercerai. Dan sejak itu saya hidup sendiri, kuliah sembari kerja jadi penulis lepas di majalah The Beat, Surf Time dan lain-lain. Saya enggak punya childhood memories yang menyejukkan dan selalu merasa sendirian. Itu yang membuat watak saya seperti ini. Tapi saat ini saya dalam proses berdamai dengan diri sendiri, semoga itu lekas terjadi karena saya tidak mau selamanya hidup dalam amarah,” paparnya.

j2rx

Sesuai warta yang beredar, Rasis! Pengkhianat! Miskin Moral! seharusnya memang masih akan disusul seri-seri berikutnya. Isinya belum mengisahkan metamorfosis SID dan Jerinx dari kumpulan berandal glamor bernafas rock & roll menjadi seniman yang responsif pada problematika sosial dan lingkungan. Namun, Jerinx sudah membocorkan jejak minat personalnya berkecimpung di dunia aktivisme kepada WARN!NG: “Saya kuliah di universitas yang salah! (tertawa) Kampus UNDIKNAS. Isinya kebanyakan anak-anak gaul yang sok dewasa, hanya memamerkan kekayaan orang tua dan enggak peduli setan tentang perihal sosial. Anehnya, sampai sekarang UNDIKNAS masih memiliki sikap seperti itu, saya hanya bisa berharap kampus-kampus ignoran seperti itu lekas bangkrut atau diledakkan ISIS. (tertawa) Anyway, karena muak dengan pergaulan di kampus, saya mencoba bergaul di universitas UDAYANA yang mahasiswanya banyak pendatang. Entah kenapa, saya lebih nyambung dengan mereka.”

Ia melanjutkan,”Lalu di sana mulai dikenalkan dengan dunia aktivisme, buku-buku Marxisme, Nietzsche dan hal hal out of the box lainnya. Di era reformasi saya berkali-kali ikut demo bersama mahasiswa UDAYANA, sempat bentrok dengan aparat juga, SID terlibat dalam konser-konser anti-Soeharto, dan akhirnya bersama seluruh mahasiswa dan rakyat Indonesia, kami menumbangkan sebuah rezim: Orde Baru.”

Kini, nama Jerinx tak lagi hanya terasosiasi dengan SID. Eksistensinya sudah seperti sinonim dari sebuah gerakan perlawanan sosial-lingkungan hidup paling berkobar beberapa tahun belakangan, yakni Bali Tolak Reklamasi (BTR). Keterlibatan itu bermula dari ajakan seorang Wayan Gendo Suardana yang menawarkan ide untuk menolak realisasi proyek reklamasi pesisir Teluk Benoa. Awalnya Jerinx merasa ragu karena ia sudah kenal betul apa konsekuensi yang melanda korban-korban sang taipan di balik proyek tersebut. Namun, itu tak merintanginya untuk kemudian memutuskan bergabung dengan kolektif ForBALI (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi) yang dijalankan dengan kreatif dan berapi.

Ditunjang oleh pamor yang tak main-main, kapabilitasnya menggerakan massa memang patut diakui sekaligus banyak diwaspadai oleh beragam pihak. Apa yang ia kumandangkan dapat diikuti oleh ribuan penggemarnya bak kavaleri secara sekejap. Belum lama misalnya, Jerinx mendeklarasikan kekecewaannya via media sosial terhadap Telkomsel yang menyebarkan pesan SMS iklan massal berisi tautan video pro reklamasi Tanjung Benoa. Tak butuh waktu lama bagi Telkomsel untuk segera diterjang teror ombak protes dari banyak penggunanya, termasuk dengan aksi mematahkan kartu seluler Telkomsel besar-besaran. Kebakaran jenggot, korporasi telekomunikasi termahsyur itu pun memilih untuk menyatakan permintaan maaf dan menghentikan penyebaran SMS tersebut. Kecakapan ini yang dirasa krusial disandang oleh sebuah pergerakan massa.

Bersama SID, Jerinx mulai konsisten membuat merah kuping beragam pihak dengan kampanye BTR dan isu-isu lainnya dari satu panggung ke panggung lainnya, dari satu karya ke karya lainnya. Tanpa mengerdilkan rekan-rekan sepergerakannya, peran Jerinx tak bisa dibantah membuat ForBALI (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi ) menjadi sebegitu masif, populer, sekaligus bak punya sembilan nyawa. Namun, pria berusia 38 tahun itu mengaku tak ada niatan dielu-elukan laksana pahlawan. “Saya tak menginginkan apapun dari perjuangan ini selain agar penguasa atau pemodal untuk berhenti hancurkan rumah kami. Bali sudah dijadikan sapi perah oleh Jakarta sejak tahun 60-an. Kami di sini hanya jadi penonton, jadi kacung karena kalah di pendidikan sementara mereka enak-enak datang kemari, membeli semua tanah kami, membangun ini itu demi kepentingan turis, sementara lokal tak pernah diedukasi agar bisa bersaing. Mana sekolah dan perpustakaan gratisnya? Terutama untuk di daerah-daerah. Nihil! Ini seperti mengadu anak TK dengan anak kuliahan. Jika terus-terusan seperti ini orang Bali akan bernasib sama seperti orang Betawi, Aborigin atau American Indian. Terpinggirkan di tanahnya sendiri,” terangnya.

1979555_10151861970971862_1140253687_n

Masih banyak cakapan-cakapan beringasnya dengan WARN!NG. Sebuah wawancara panjang berisi sahutan-sahutan sadis yang selalu Anda harapkan dari seorang Jerinx. Ada arogansi berarak nada tebas yang bagai selalu mengundang perang terbuka, mengutuk musisi-musisi nasional yang cenderung terbudayakan mengeluarkan opini-opini normatif. Sesuatu yang berpotensi makin memekarkan sentimen dan berang beragam kubu, namun belum tentu sanggup membuatnya berhenti:

Apa mitos paling menggelikan tentang Jerinx?

Ada beberapa. Dituduh gay karena pernah keluarkan beberapa statemen pro LGBT, dituduh anak orang kaya atau keturunan raja, diisukan meninggal. Tapi yang paling menggelikan dulu sempat mungkin dimusuhi semua orang Jawa karena mitos jika di tubuh saya ada tato tulisan “Fu*k Java“. Bagi saya itu sangat hillarious karena what kind of bloddy idiot would put that kind of tats on their body? (tertawa)

Dari juru bicara band sebesar Superman Is Dead, berlanjut hingga menjadi juru bicara sebuah pergerakan sosial masif. Pernahkah merasa letih dengan peran itu?

Sebagai manusia biasa, tentu saja rasa letih itu kadang ada. Saya bukan robot atau mesin yang berjuang atau bekerja atas dasar nominal dan tanpa passion—seperti robot-robot pro reklamasi. Apapun yang saya lakukan, sebisa mungkin saya melakukannya dengan seratus persen passion. Tapi biasanya rasa letih itu terbayarkan saat saya melihat adanya progres positif dari apapun yg kami perjuangkan.

Bahkan, persona Anda sebagai juru bicara, aktivis dan simbol cenderung lebih disorot daripada musikalitas Anda sebagai seorang drummer. Ada kekecewaaan dengan itu?

Sama sekali tidak. Toh saya bukan drummer yang istimewa. Skill saya dan kedua rekan saya di SID bisa dibilang standar. Kekuatan SID ada di lirik, nada-nada lagu dan movement sosialnya. Kalau masalah tehnikal macam solo drum, gitar, bass, kita serahkan saja ke musisi jazz atau metal. (tertawa) Itu juga sebabnya kenapa SID memakai additional player saat live atau rekaman di departemen gitar dan kibor. Peran mereka sangat membantu keterbatasan skill kami. I mean, jaman sekarang banyak banget anak SD yang skill bermusiknya jauh diatas kami. Apakah itu menjamin mereka semua bisa—maaf­—‘sebesar’ SID? Skill itu perlu, tapi bukan yang utama. Passion, is the key.


Apa Eka dan Bobby pernah mengeluhkan sifat Anda yang agresif dan doyan melempar kritik ke berbagai isu dan kalangan?

Kalau secara personal, sejauh ini belum. Tapi kalau dari manajemen SID, iya, pernah beberapa kali. Misalnya saya membuat statement yang ‘menyinggung’ pihak sponsor acara atau konser yang cara kerjanya menurut saya tidak fair, manajemen biasanya mengingatkan agar saya lebih selektif memilih kata-kata. Karena meskipun saya benar, jika kata-kata yang dipakai tidak tepat, itu bisa memunculkan masalah baru. Kalau tentang agresi atau kritik saya terhadap  kalangan-kalangan lain, mereka fine-fine saja. Mungkin karena mereka paham betul apa karakter saya dan apa yang saya suarakan itu masuk akal, meski penyampaiannya kadang kurang presisif.
Ada kecenderungan band Indonesia lebih memilih merilis biografi dalam format film daripada buku. Salah satunya karena kurangnya budaya membaca. Apa yang membuat Jerinx yakin Rasis! Pengkhianat! Miskin Moral! akan tetap dibaca?

Simpel, karena bandnya bajingan (tertawa), penulisnya radikal, dan kisahnya provokatif, plus buku ini juga tidak terlalu tebal. Semalas-malasnya orang membaca, perpaduan elemen-elemen yang saya sebut di atas pasti akan membuat orang tertarik membacanya, or at least meminjam buku tersebut dari temannya. Buktinya kami cetak seribu kopi, kini sudah hampir habis dan akan dicetak lagi.

 

Bersambung ke page -> Wawancara Jerinx (bagian 2)

Photos Credit: Fanspage FB JRX

10399788_134332271861_3920273_n
warningmagz

The author warningmagz

Leave a Response

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.