Hidup di belantara kota tak selamanya menyenangkan hati. Bayangan gedung-gedung tinggi yang mencakar langit telah menggantikan rimbunnya pohon-pohon yang meneduhkan. Tak ada lagi tanah yang mengotori sela-sela jari kaki, yang ada hanyalah aspal panas diterpa terik matahari siang. Di atas sebuah kota, orang-orang berlalu lalang, mencari apa yang mereka cari. Ada yang berburu sesuap nasi, ada yang menghamba pada kekuasaan, ada yang berniat mati-matian menjadi penguasa itu. Sesak kota semakin lama semakin tak mengenakkan, sebab tiap-tiap kepala berusaha keras mendapatkan apa yang diinginkannya, bahkan seringkali lupa terhadap apa yang seharusnya menjadi salah satu cita-cita besar selama hidup: menjadi manusia dan menggunakan kemanusiaan untuk sintas bersama alam.
Atas kesadaran penuh terhadap hal tersebut, sebuah unit bernama Kota & Ingatan lahir ke dunia, tepatnya di Yogyakarta. Ialah Indradi Yogatama (gitar), Maliq Adam (gitar), Addie Setyawan (bass), Alfin Satriani (drum), dan Aditya Prasanda (teks) yang meniupkan nafasnya sejak awal tahun 2016 lalu. Mereka sudah saling mengenal dan membantu di proyek musik masing-masing sejak tujuh tahun silam, ketika masih berstatus sebagai mahasiswa Pertunjukan. Berkat sudah terbiasa dengan satu sama lain, mereka dapat dengan mudah memulai dan menjalani Kota & Ingatan.
Kelompok ini pun sesungguhnya tak lahir dengan membawa nama Kota & Ingatan. Sebab pada satu trimester pertama berjalan bersama sebagai sebuah kelompok, mereka tengah sibuk mengaransemen tiga teks. Ketika catatan pertama mereka digarap, akhirnya dengan malas mereka menamai catatan (Kota & Ingatan menyebut lagu sebagai ‘catatan’) tersebut sebagai “Kota & Ingatan” sebab dua kata tersebut tertera pada teks catatan tersebut. Namun, mereka merasa bahwa ternyata Kota & Ingatan lebih menarik untuk dijadikan alamat rumah daripada judul sebuah catatan. Akhirnya mereka sepakat untuk menamai kolektif mereka dengan Kota & Ingatan, dan catatan dengan nama yang sama akhirnya berganti nama menjadi “Alur”. Selain “Alur” ada satu catatan yang telah mereka telurkan yakni “Peluru”. Keduanya merupakan bagian dari apa yang mereka sebut sebagai Trilogi Catatan. Sedangkan satu catatan yang belum dirilis dari trilogi ini bertajuk “Etalase”.
Ada banyak orang di sekeliling kita, ada banyak kenyataaan-kenyataan yang tidak sesuai dengan yang kita tahu, ada banyak ketimpangan sosial yang semuanya dapat berimbas ke kehidupan kita secara langsung dan tidak langsung. Inilah hal-hal yang Kota & Ingatan sadari sehingga mereka memilih untuk membawa tema sosial dalam catatan-catatan mereka. Unit yang menyebut Herry “Ucok” Sutresna a.k.a Morgue Vanguard sebagai influencer dalam musik mereka ini ingin menjembatani kabar dalam medium musik. Mereka mengaku senang bila catatan-catatan itu bisa memantik diskusi, pun menyulut semangat orang-orang untuk membaca kembali, mencari tahu, lalu dapat mereproduksi isunya dengan cara masing-masing. Aransemen musik yang dapat ditemukan dalam catatan-catatan mereka pun bernuansa penuh dan utuh. Teks yang berdiksi sarat makna akan diiringi oleh raungan dua gitar listrik, cabikan bass, dan detak gebuk drum. Energinya bernas dan menggugah.
Proses penggarapan sebuah catatan sendiri selalu dimulai dari teks dan kemudian aransemen musik dikerjakan bersama-sama. Prosesnya diawali dengan menyarikan teks berbentuk lirik dari catatan panjang yang telah sepakati. Sama seperti musiknya nanti, teks tersebut kemudian disodorkan ke masing-masing personil untuk selanjutnya diambil atau dibuang. Ukuran yang mereka pakai untuk menilai sebuah lagu berhasil atau tidak adalah dari segi visual, lalu lintas orang-orang, pun cuaca di dalamnya. Namun, mereka mengaku bahwa aransemen musik tidak boleh sampai menutupi si teks, sebab musik bertugas untuk menghidupkan teksnya. “Oleh karena itu, selain peluang untuk unjuk skill di Kota & Ingatan itu sesuatu yang sangat mustahil, sejauh ini kami lebih memilih merekaman lagu yang singkat, cukup, dan setidaknya padat bagi kami.”
Kota & Ingatan lebih memaknai kegiatan bermusik mereka sebagai kegiatan berteater. Selain berangkat dari latar belakang mereka yang akrab dengan seni pertunjukan, mereka melihat teater memiliki prinsip kesetaraan. Pasalnya, semangat kolektif yang diusung oleh teater belum memiliki padanan di medan kesenian yang lain. Mereka kemudian berusaha menekankan pemahaman bahwa apa yang mereka perjuangkan di atas panggung adalah tentang bagaimana cara menghidupkan catatan, bukan tentang siapa mereka. Mereka mengerti bahwa Kota & Ingatan hanyalah aktor atau pelisan naskah di atas panggung, sedangkan ide dari catatan tersebut adalah sutradaranya. Walaupun begitu, mereka sadar dan tahu betul di musik, hal ini akan sulit diterapkan meski mereka melakukan pentas tunggal sekalipun.
Hal terdekat yang ingin mereka lakukan adalah membuat sebuah album untuk mewadahi catatan-catatan mereka. Untuk menghidupi Kota & Ingatan, tiada harapan yang muluk-muluk. Cukup dengan bisa berkumpul, duduk bersama, dan makan bersama. Tentu saja, walaupun kota penuh dengan ingatan yang menyesakkan luar dalam, adanya gagasan bahwa bermusik tanpa harus bersusah payah tunduk dengan suatu rezim dalam kancah musik, menciptakan parameter sendiri, menciptakan jalan dan komunitas sendiri, adalah hal-hal yang membuat mereka lega dan ringan menyikapi Kota & Ingatan. Mereka memilih untuk menyampaikan apa yang mereka temui di jalan selepas pulang bekerja: dimana pun, melalui apapun yang sanggup mereka lakukan; melalui apa pun yang begitu riang mereka kerjakan. Melalui musik, melalui Kota & Ingatan. “Kami tahu harus melakukan apa, dan menuju kemana.” [WARN!NG / Oktaria Asmarani]
Download Kota & Ingatan – “Peluru” di album kompilasi WARN!NG Compilation Vol. 1 – 2017 DI SINI!