close

Membaca Film Don’t Look Up: Terjebaknya Sains dalam Pusaran Ekonomi Politik

Dont-Look-Up-Posters

Salah satu manfaat sains dalam kehidupan adalah: ia membantu manusia agar dapat membaca gejala alam dan merekayasanya. Dengan menggunakan sains, kita barangkali bisa ‘meramal’ kapan dunia yang kita huni akan terkena bencana maha dahsyat dan, menggunakan sains pula, kita berharap dapat meminimalisir (kalau tak bisa mencegah lebih dini) dampak yang mungkin dihasilkan oleh bencana tersebut.

Namun demikian, sains sendiri memiliki potensi untuk tidak lagi eksis seperti awal mula kemunculannya, yang datang membawa semangat pencerahan. Hal itu juga mengingat adanya agen yang terlibat di balik proses penyebaran sains. Lebih kongkretnya, dilema yang dihadapi oleh sains sekarang ini bukan lagi soal keraguan terhadap eksistensi kebenarannya, melainkan permainan ekonomi-politik yang terjadi di balik sains itu sendiri.

Potret ini yang kemudian ditangkap oleh sutradara Adam McKay dan ia merepresentasikannya dalam film fiksi ilmiah berjudul Don’t Look Up. Film ini pertama kali tayang pada 10 Desember 2021 secara terbatas dan pada 24 Desember 2021 mulai ditayangkan secara umum melalui platform streaming Netflix. Mengacu pada laman IMDb, film ini mendapatkan rating 7.3/10 per 16 Januari 2022. Don’t Look Up menghadirkan Leonardo DiCaprio dan Jennifer Lawrence sebagai tokoh sentral. Selain itu juga terdapat beberapa pemeran seperti Meryl Streep, Jonah Hill, Rob Morgan, Mark Rylance, Cate Blanchett, dan beberapa tokoh kawakan lainnya.

Film berdurasi 138 menit ini berkisah tentang mahasiswi pascasarjana jurusan astronomi, Kate Dibiasky (Jennifer Lawrence), bersama profesornya, Dr. Randall Mindy (Leonardo DiCaprio), yang menemukan pergerakan aneh dari sistem tata surya. Setelah dipelajari, ternyata mereka menemukan fakta bahwa bumi akan dihantam oleh komet seukuran gunung Everest. Hantaman dari komet itu diprediksi bisa memberikan bencana yang luar biasa dan berdampak terhadap kepunahan umat manusia. Maka dari itu, Kate bersama Dr. Randall merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menyebarkan informasi ini kepada umat manusia sebagai suatu peringatan.

Anda harus bersiap-siap untuk merasa geram ketika menonton film ini. Bukan soal kedatangan komet yang menjadi permasalahan inti dalam film ini, melainkan cara penerimaan umat manusia terhadap informasi kedatangan komet tersebut. Bermula ketika Kate dan Dr. Randall menyambangi kantor kepresidenan untuk menyampaikan temuan mereka. Malangnya, kedatangan mereka tidak disambut dengan hangat ketika berada di kantor kepresidenan. Dr. Randall telah mencoba untuk menjelaskan di hadapan presiden betapa dahsyatnya bencana ini. Ia juga menawarkan solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi itu, mengingat negara sudah memiliki teknologi canggih yang bisa meminimalisir dampak dari bencana tersebut. Namun informasi yang mereka sampaikan malah direspon secara acuh tidak acuh oleh Presiden Orlean (Meryl Streep) dan juga oleh Kepala Staf Kepresidenan, Jason (Jonah Hill) yang merupakan anak dari presiden sendiri.  Tidak puas dengan respon presiden, mereka pun mengambil tindakan untuk melakukan tour media seperti yang ditawarkan oleh Dr. Teddy Oglethorpe (Rob Morgan). Sayangnya, media tidak begitu rensponsif dengan informasi yang mereka sampaikan dan malah membiaskannya. Lebih celakanya lagi, audiens media malah gagal fokus dengan informasi tersebut.

Film ini memperlihatkan bagimana sains tidak bisa hadir dengan sendirinya dan diterima oleh khalayak begitu saja. Ada suatu proses yang mesti dilalui, yang saya sebutkan di sini dengan istilah ‘proses penyebaran sains’. Perlu diingat, bahwa proses penyebaran sains itu berada dalam suatu system dan melalui sistem tersebut terdapat pula suatu tahapan yang bernama legitimasi. Ketika suatu temuan ilmiah sudah mendapatkan legitimasi, di saat itulah sains mulai diakui.  Ada pula agen yang terlibat dalam proses legitimasi sains. Agen tersebut bukan hanya dari kalangan ilmuwan saja, melainkan juga dari beberapa pihak di luar diri mereka. Seperti pemerintah, institusi pendidikan, media, bahkan masyarakat itu sendiri.  Ringkasnya, proses penyeberan sains itu sudah terlembagakan.

Proses penyebaran sains tidak segampang membalikkan telapak tangan. Ilustrasi sederhananya, anggaplah seorang ilmuwan menemukan suatu temuan baru yang bisa menyebabkan perubahan sosial skala besar. Sebagai seorang ilmuwan, tentu akan ada rasa tanggung jawab moral untuk menyebarkannya kepada khalayak. Namun juga perlu diingat, bahwa ada tahapan tertentu yang harus dilalui oleh ilmuwan. Contohnya bisa berupa urusan administrasi atau uji kelayakan. Tahapan ini penting dilakukan mengingat eksistensi sains yang harus jujur, di samping juga untuk menghindari riset abal-abal. Setelah itu, barulah kemudian temuan tersebut memasuki tahapan publikasi dan layak disebut sebagai sains. Ketika sudah terlegitimasi sebagai sains, di sinilah kemudian media memiliki peran dalam proses penyebaran ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, media memiliki fungsi untuk mencerdaskan khalayak agar menghindari asumsi-asumsi di luar logika yang mengontrol cara berpikir manusia.

Pada skenario yang lain, proses penyebaran sains juga tidak luput dari potensi praktik ekonomi politik. Ketika berbicara soal ekonomi politik, berarti kita akan berbicara soal siapa yang paling diuntungkan. Hanya saja keuntungan di sini tidak melulu berwujud materil, tetapi bisa juga berupa relasi kekuasaan. Para agen menjadi elemen kunci dalam menentukan proses legitimasi, sebab mereka bisa saja memainkan perannya dalam pusaran agenda ekonomi-politik. Sehingga proses penyebaran sains berpeluang menjadi bias. Sains kemudian menjadi politis karena mengalami benturan-benturan hebat dari kepentingan agen yang terlibat di dalamnya. Tidak heran juga andai suatu waktu sains malah memiliki potensi untuk dijadikan sebagai komoditas.

Demikian halnya film Don’t Look Up hadir untuk menyuguhkan skenario di atas. Saat di mana sains sudah tidak lagi memiliki harga diri. Kita bisa menyaksikan bagaimana presiden kemudian sampai hati menunda informasi jatuhnya komet ke bumi, hingga menunggu waktu yang tepat baginya untuk mengampanyekan diri sebagai presiden di periode berikutnya. Belum lagi dihadapkan dengan situasi media yang lebih tertarik untuk membingkai berita secara sensasional yang jauh dari esensi datangnya bencana tersebut. Lebih celakanya, masyarakat bahkan sampai tidak peduli lagi dengan sains, lantaran menganggap sains adalah hal yang membosankan.

Meskipun film ini hanyalah cerita fiksi, setidaknya kita bisa berefleksi dengan mengajukan beberapa pertanyaan sambil menengok posisi sains di dalam kehidupan sekarang. Misalnya, seberapa besar sains menjadi pertimbangan bagi pejabat negara dalam mengambil suatu kebijakan? Seperti apa cara media membingkai informasi soal sains? Dan seberapa dekat masyarakat dengan sains? Jawaban itu semua tentunya dikembalikan lagi kepada masing-masing agen yang terlibat di dalam proses penyebaran sains, di samping itu juga tergantung pada cara agen dalam merespon informasi soal sains tersebut. (Risky Wahyudi)

 

Risky Wahyudi adalah Dosen LB di Prodi Komunikasi UII sembari menjadi pekerja lepas. Dirinya adalah penikmat fotografi dan senang bermain sepeda. Ketertarikan studinya terletak pada isu seputar kajian budaya dan media.

Tags : moviepop culturereviewsains
warningmagz

The author warningmagz

Leave a Response

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.