close

[Movie Review] Liway

liway

Review overview

WARN!NG LEVEL 7.8

Summary

7.8 Score

Dakip tinggal di dalam sebuah ruangan kecil. Ruangan itu ia bagi dengan beberapa keluarga lainnya. Mereka berbagi tempat tidur. Setiap malam, listrik akan dipadamkan pada jam tertentu. Itu tanda suara tidak lagi diizinkan. Mereka mendapat jatah makan 3 kali sehari. Wanita gemuk baik hati yang memasak untuk mereka diam-diam melebihkan jatah lauk untuk Dakip. Jika ketahuan oleh penjaga, maka habislah mereka berdua. Resiko yang tidak seberapa untuk seulas senyum dari si anak.

Selayaknya anak kecil yang naif, normal yang Dakip pahami adalah realitas hidupnya saat itu. Bermain dan tumbuh bersama sekumpulan pidana dalam lingkungan kecil yang dikelilingi tembok tinggi dengan segudang aturan dan jadwal yang harus dipatuhi setiap hari lengkap dengan sekumpulan penjaga berseragam yang siap menggertak jika ada yang melakukan kesalahan.

Dakip dikisahkan baru berumur 10 tahun dalam film Liway dan hanya mengenal lingkungan penjara sejak dia lahir. Orangtuanya, Day dan Ric, adalah dua komandan berpengaruh dari kelompok pemberontak di Filipina kala itu yang tertangkap dan menjadi korban darurat militer. Di Kamp Delgado, Dakip tumbuh bersama dengan keluarga pemberontak dan kriminal lainnya.

Film ini berlatar tahun 1980an di bawah kediktatoran Marcos. Day sendiri lebih dikenal dengan panggilan Komandan Liway dan Ric sebagai Komandan Toto. Karena terpaksa membesarkan Dakip dan adiknya yang masih bayi, Malaya, di dalam penjara, Day berusaha keras untuk mengusahakan kehidupan yang normal bagi kedua anaknya. Day seringkali menceritakan kepada Dakip tentang berbagai mitos dan cerita yang rakyat yang indah. Salah satunya cerita tentang Liway, tanpa Dakip tahu saat itu bahwa Liway adalah kisah tentang ibunya sendiri.

Day berusaha menciptakan ilusi realitas bahwa lingkungan penjara adalah kehidupan yang “normal” kepada Dakip. Bahwa sel tahanan adalah rumah mereka dan tahanan lain adalah tetangga mereka. Day membuat Kamp Delgado ibarat sebuah lingkungan perumahan dengan ibu-ibu dan anak-anaknya yang mendapat jatah makanan setiap pukul 12 siang. Dan bapak-bapak yang berkumpul untuk bermain kartu pada sore hari. Serta para penjaga yang selalu siap mengatur ketertiban. Sebaliknya, Ric tidak setuju dengan apa yang Day lakukan. Ric bersikeras Dakip seharusnya mengetahui realitas pahit dan kenyataan bahwa hidup itu keras tanpa harus dibalut kebohongan manis dalam rangka melindungi Dakip yang dianggap masih terlalu kecil untuk tahu tentang itu.

Konflik berlanjut karena Ric ingin memberikan Dakip kepada saudarinya sedangkan Day ingin Dakip tetap tinggal bersama mereka. Dakip memiliki pilihan itu. Pilihan untuk tetap di penjara bersama keluarganya atau keluar dari penjara dan hidup dengan cara yang normal. Tapi Dakip tidak pernah benar-benar memiliki pilihan itu, orangtuanya lah yang memutuskan tanpa pernah benar-benar bertanya pada Dakip apa yang dia inginkan.

Ketika Dakip diundang oleh seorang suster untuk berbicara dalam sebuah unjuk rasa sebagai representasi korban darurat militer, Dakip untuk pertama kalinya melihat dunia di balik tembok. Saat berbicara di depan pengunjuk rasa, Dakip mengatakan sesuatu yang cukup menggugah emosi. “Tadi saya melihat manekin di mall dan mengajaknya berbicara, saya tidak tahu bahwa manekin tidak bisa berbicara. Saya kira orang-orang di luar kamp seperti manekin. Diam dan tidak bergerak.”

Sebuah metafora yang disampaikan dengan ciamik sebagai sebentuk kepolosan anak kecil. Kata-katanya seolah konfrontasi. Agar kita tidak menjadi manekin yang hanya diam dan tidak melakukan apa-apa ketika berbagai pelanggaran dan penindasan terjadi di tengah-tengah kita.

Sepulangnya dari unjuk rasa, Dakip menyadari bahwa ternyata dunia lebih luas dari tembok Kamp Delgado. Dakip menyadari bahwa apa yang selama ini dia anggap rumah bukanlah rumah. Dakip pulang dipenuhi dengan kemarahan karena merasa dibohongi oleh kedua orangtuanya. Sesuatu yang sebenarnya terjadi pada hampir seluruh anak kecil, orangtua dan kebohongan mereka agar si anak hanya tahu dan mengenal hal-hal baik dan indah saja.

Keadaan dalam penjara berubah ketika kediktatoran Marcos menjadi semakin tidak stabil. Sipir yang sebelumnya sudah akrab dengan para tahanan diganti dengan sipir baru yang lebih keras, kasar, dan penuh kekerasan. Kamar tahanan laki-laki dan perempuan dipisah. Day dan Malaya tidak lagi tinggal bersama Dakip dan Ric. Adegan yang paling emosional adalah ketika Day, Ric, dan beberapa tahanan lain dipanggil oleh sipir. Memikirkan kemungkinan terburuk, Day dan Ric memutuskan untuk menitipkan Dakip dan Malaya kepada tahanan lain. “Lights off,” begitu kata Day kepada Dakip sebelum mereka berpisah.

Lalu film selesai dan adegan berganti. Foto-foto para tokoh asli dari film ditampilkan disertai keterangan apa yang terjadi kepada mereka di tahun-tahun selanjutnya. Adegan berganti lagi. Kali ini hanya sepenggal tulisan. Terdengar reaksi yang berbeda-beda dari penonton. Beberapa bersedekap kaget, cukup nyaring untuk didengar penonton lain. Ada juga yang berteriak kecil. Lalu, seluruh penonton bertepuk tangan. Sungguh, credit scene yang sangat emosional.

Bagaimana tidak? Pernyataan terakhir menuliskan bahwa Liway disutradarai dan ditulis oleh Dakip sendiri yang sudah mengganti namanya menjadi Kip Oebanda.

Kip Oebanda meramu film ini dengan racikan yang pas. Tidak ada komposisi yang ditambahkan terlalu berlebihan atau dirasa kurang banyak. Semua sesuai dengan proporsinya masing-masing. Tidak ada adegan yang didramatisir berlebihan meskipun Kip seharusnya memiliki segudang alasan untuk melakukan itu sehingga film ini tidak mengundang rasa simpati yang berlebihan.

Film ini menciptakan garis yang blur antara normal dan tidak normal. Apakah kehidupan Dakip di balik sel penjara dapat dianggap tidak normal. Atau memang sebenarnya siapa saja dari kita memang hidup dalam belenggu tembok tinggi kasat mata dengan segudang aturan yang harus dipatuhi setiap hari. Jika kita melihat Kamp Delgado sebagai sebentuk ekosistem dengan komponen-komponennya yang saling menyokong maka Kamp Delgado bisa saja terlihat “normal”. Tetapi tidak ada kebebasan. Lagi pula, apakah sebenarnya kita juga pernah benar-benar bebas? Lagi-lagi penonton diingatkan bahwa realitas hanya bentukan konstruksi semata. Sesuatu yang kita kenal dan kita yakini tanpa pernah benar-benar mempertanyakan “normal” itu sendiri.

Glaiza de Castro memainkan Day dengan gemilang. Glaiza berhasil menampilkan sosok komandan perempuan cantik yang tidak hanya tangguh tetapi juga berani menantang laki-laki yang melecehkannya di dalam penjara. Kenken Nuyad berhasil membius penonton dengan aksinya yang apik sebagai Dakip. Film yang bercerita dari sudut pandang Dakip ini membawa kita melihat kehidupan dari sudut pandang anak lugu dan polos yang berusaha mengerti apa yang terjadi padanya. Ric yang diperankan oleh Dominic Roco juga patut diacungi jempol dengan aktingnya yang berhasil menampilkan sosok ayah yang kebingungan dan kehilangan harapan dan keperkasaannya sebagai komandan karena kehidupan penjara.

Kip berhasil bercerita dengan baik dalam mengolah lapisan demi lapisan dalam film Liway. Tidak hanya mengenai betapa kejamnya darurat militer dan kediktatoran Marcos, tetapi juga tentang masalah keluarga dan realitas yang diciptakan di balik tembok penjara. Liway adalah film yang mempesona, menceritakan kisah pilu dengan gamblang tanpa mengenyahkan pesan bahwa harapan dan kebahagiaan akan selalu ada di mana saja dan dalam bentuk apa saja. [Hasya Nindita]

warningmagz

The author warningmagz

Leave a Response

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.