What : Into The Wild
Director : Sean Penn
Genre : Drama
Rilis : 2007
Now I Walk : Into The Wild
“Rather than love, than money, than fame, give me the truth” -Henry David Thoreau. “Walden, or Life in the Woods”
Ketika membaca kutipan diatas, mungkin ada sebagian orang yang menganggap kalimat itu sebuah kalimat yang penuh dengan kemunafikan. Cinta, uang, dan ketenaran telah menjadi kata yang sakral dalam kehidupan. Lebih dari itu, siapa yang tidak menginginkannya? Munafik! Namun sepertinya hal itu tidak berlaku bagi para penulis-naturalis ‘pewaris intelektual’ abad 19, seperti Leo Tolstoy, John Muir, dan tentu saja sang pemilik kutipan Thoreau. Ditangan para penulis ‘bebas’ tanpa kompromi idealisme seperti mereka, kutipan diatas seakan menelanjangi pandangan kita selama ini tentang hidup. Siapa sebenarnya yang selama ini hidup dalam kemunafikan?
Adalah Christopher Johnson McCandless, pemuda yang mungkin akan membantu kita belajar memahami tentang hal ini. Memoar tentang perjalanan hidupnya berhasil dirangkum dengan apik oleh Sean Penn dalam “Into The Wild” (2007). Film based on true story yang diadaptasi dari buku berjudul sama karya Jon Krakauer ini, berhasil dinarasikan dengan baik oleh Sean Penn melalui 140 menit rangkaian adegan yang penuh makna.
Film ini bercerita tentang Christopher Johnson McCandless (Emile Hirsch), seorang pemuda cerdas berstatus cum laude dari universitas bergengsi yang merasa kecewa dengan bagaimana manusia saling memperlakukan satu sama lainnya dengan sangat buruk. Bagaimana ia muak hidup di tengah masyarakat yang penuh dengan kemunafikan, bergelimang kemewahan yang hanya mendorong seseorang untuk menjadi tamak, saling tidak peduli satu sama lain, dan saling mendewakan harta lebih dari hubungan manusia itu sendiri.
Kegelisahan yang ia rasakan inilah yang akhirnya membawa Chris untuk kemudian memilih meninggalkan seluruh kehidupan pribadinya dan mengasingkan diri di alam liar. Ia meninggalkan kenyamanan peradaban dan semua atribut duniawi dengan menyumbangkan semua tabungannya untuk yayasan amal. Membakar sisa uang tunai yang ia miliki, meninggalkan mobil kesayangannya di tengah hutan, membakar semua kartu identitasnya, dan hanya menyisakan buku-buku dari Henry Thoreau, Leo Tolstoy, Boris Pasternak, Jack London dan beberapa buku lainnya yang setia menemaninya di sepanjang perjalanan. Bagian inilah yang dalam catatannya ia sebut sebagai ‘Chapter I: My Own Birthday’. Hari dimana ia merasa terlahir kembali sebagai manusia seutuhnya, manusia bebas.
Layaknya film yang diadaptasi dari sebuah buku, tentu akan banyak penyesuaian yang harus dilakukan oleh Penn selaku sutradara. Inilah sepertinya yang mendorong Penn untuk mengarahkan film ini menjadi semi-dokumenter dalam beberapa adegan, seperti saat dengan cerdas memperlihatkan adegan Chris menghadap kamera dan berbicara dengan apel yang menurut saya sarat makna dengan apa yang Chris cari saat itu, jati diri.
Belum lagi alur flashback yang digunakannya sepanjang film, mengingatkan kita akan gaya Marc Webb dalam 500 Days of Summers yang cukup sukses ketika merilis filmnya dengan pendekatan seperti ini. Berbeda dengan Webb yang menggarap sebuah film drama yang akan mudah saja memasukan skema emosi dan twist di dalamnya. Apa yang dituturkan Penn disini adalah film mengenai perjalanan seseorang, bagaimana ia memandang hidup, bertemu banyak orang dengan sifat berbeda, hingga menemukan apa yang sebenarnya ia cari dalam hidup ini, bukan cerita yang seperti dibuat penuh konflik dan skema penuh emosi. Dan secara pribadi saya menyukai cara ia ‘menghidupkan’ kisah ini.
Melihat kenyataan bahwa film ini adalah produk Hollywood, ada kekhawatiran ketika pertama kali mendengar kisah ini akan difilmkan. Bagaimana nantinya pertemuan pemilik modal yang akan berusaha ‘menyesuaikan’ cerita sesuai dengan apa yang disukai pasar, yang saya khawatirkan akan merusak apa yang sebenarnya ingin disampaikan dalam bukunya.
Namun kekhawatiran saya agaknya berlebihan ketika nama-nama seperti Sean Penn, Emile Hirsch, Catherine Keener, serta Eddi Vedder masuk dalam jajaran pendukung film ini. Khusus Sean Penn, aktor yang juga terkenal sulit ‘berkompromi’ dengan produser Hollywood ini merupakan fans berat dari bukunya. Dan faktanya, keputusannya untuk memproduseri sendiri film ini patut diacungi jempol. Setidaknya campur tangan studio besar dengan segala ‘kepentingannya’ sedikit dapat diminimalisir walaupun akhirnya ‘kompromi’ yang dilakukan Penn masih sedikit menyisakan kekecewaan dalam ending yang disajikan dalam film ini. Tetapi setidaknya itu masih dapat dipahami, karena medium film memang membutuhkan sesuatu yang lebih dramatis dari pada medium buku.
Emile Hirsch juga menunjukkan kualitasnya di film ini, aktor muda potensial yang menurut saya bisa saja menanjak popularitasnya jika mau menggunakan softlens berwarna emas, berdandan parlente, memakai taring palsu dan melompat-lompat di pohon mencari perempuan polos untuk dijadikan cinta sejatinya. Di film ini ia berhasil memerankan kegelisahan seorang pemuda intelek dengan semangat mudanya melalui karakternya yang kuat namun unik. Sesuatu yang menurut saya tidak ditemukan dalam diri Garcia Bernal sebagai Che Guevara muda dalam Motorcycle Diaries, maupun Nicholas Saputra dalam Gie. Belum lagi aktris pendatang baru kala itu, Kristen Stewart sebagai ‘Joni Mitchell’ muda, yang sayangnya sekarang justru tertarik ikut melompat-lompat di pohon dengan lelaki bermata emas, memberikan sesuatu untuk produser Hollywood perhatikan ketika aksi dengan gitarnya akan mengingingatkan kita pada sosok Audrey Hepburn saat menyanyikan Moon River dalam Breakfast at Tiffany’s.
Satu lagi potongan mozaik yang ‘menyempurnakan’ film ini, jika boleh dikatakan demikian, adalah campur tangan vokalis Pearl Jam, Eddie Vedder dalam mengisi seluruh soundtrack film. Bekerjasama dengan salah satu ‘guitar goddes’ perempuan asal Atlanta, Kaki King, kolaborasi yang dihasilkan keduanya menjadi elemen yang tidak mudah dilupakan siapapun yang menonton film ini. Lirik serta petikan gitar Vedder seperti menjadi medium baginya untuk ‘mengisahkan’ film ini dari perspektif dirinya. Sama halnya dengan King yang membuat setiap tapping gitarnya seperti ‘menarasikan’ adegan yang ada walaupun tanpa dialog sekalipun.
Jujur, saya tidak bisa membayangkan jika scoring film ini digarap selain Vedder. Mungkin terlihat berlebihan, tapi apa yang dilakukan rocker down to earth ini terdengar sangat menyatu dalam setiap elemen filmnya. Kalaupun John Williams yang mengerjakan, meskipun ia merupakan komposer favorit saya, sepertinya akan terdengar terlalu megah untuk film ini. Begitu juga dengan Hans Zimmer dan Steve Jablonsky yang mungkin akan sedikit terdengar kurang ‘pas’ tanpa mengecilkan kemampuan hebat mereka dalam mengolah tata suara. Layaknya Fight Club dengan Placebo, perpaduan Into The Wild dengan Eddie Vedder terdengar sederhana, namun sulit untuk membayangkan jika bukan mereka yang menggarap.
“Now I see the secret of the making of the best person. Is it to grow up in the open air and to eat and sleep with the earth” –Walt Whitman.
Akhirnya, setiap pencarian selalu menemukan hasil apapun bentuknya, termasuk kenyataan yang kadang kala harus dihadapi setelah pencarian yang panjang. Seperti pertemuan manusia dengan alam yang akan menemukan kearifannya sendiri di dalam hidup. Terkadang, alam justru memperlakukan manusia jauh lebih baik daripada manusia itu sendiri. Manusia akan diberi kebebasan untuk merenung, berintrospeksi diri, dan pada akhirnya akan menemukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mungkin tak bisa tumbuh ketika manusia repot dengan urusan duniawi. Lihat saja bagaimana alam membentuk Chris, Che Guevara, maupun Gie seperti yang kita kenal saat ini. Dari para pecinta alam seperti mereka, selalu ada semangat kebebasan yang hidup di hatinya dan berpendar mengikuti kemana langkah kaki mereka menuju.
Mungkin banyak pihak yang tidak sependapat dengan apa yang diungkapkan Thoreau dalam tulisannya, Chris melalui tindakannya, maupun Eddie Vedder dalam lirik-liriknya. Seperti kenyataan jika beberapa saat yang lalu program On The Sp*t memasukkan kisah Chris ini kedalam 7 tindakan konyol yang berujung kematian. Sesuatu yang akhirnya mengusik saya dan akhirnya sedikit memotivasi untuk membuat tulisan ini.
Jadi sekarang mana yang lebih konyol, pilihan menjadi manusia bebas atau menyerah pada kemunafikan? Seperti kata Christian Bale dalam The Dark Knight, “You always have a choice”. [Warning/Dimas Yulian]