close

Review Album: Pangalo! – Hurje! Maka Merapallah Zarathustra

a1878580907_10

Review overview

WARN!NG Review 6.5

Summary

6.5 Score

Label: Maraton Mikrofon

Watchful Shots: “Pemodal”, “Menghidupi Hidup Sepenuhnya”, “Sekolah”.

Bila ada album musik yang harus segera dirampas oleh aparat, mungkin “Hurje! Maka Merapallah Zarathustra” (2018) adalah yang paling layak. Hampir di seluruh album ini Pangalo! menyuarakan perlawanan terhadap negara, korporat, otoritas agama, dan bahkan diri sendiri dengan gamblang. Sama sekali tidak ada alasan bagi para pecinta negara untuk menganggapnya tidak subversif. Namun, apa yang dapat dilakukan aparat terhadap karya berlandaskan anarkisme? Pun sebelum musik itu sempat diberangus, suaranya abadi di setiap telinga dan telah berlipat ganda di bawah naungan copyleft. Tampaknya pembajakan adalah apresiasi paling mulia bagi seni perlawanan.

Di album pertamanya Suparto Lumban Raja benar-benar ingin terlihat Bengal. Nama “Pangalo!” ia pilih sebagai nama panggung untuk menegaskan hal tersebut (dalam bahasa Batak, pangalo berarti pembangkang). “Hurje” yang menjadi judul album ini adalah seruan yang biasa digunakan orang Batak untuk memasukkan ternaknya ke dalam kandang. Pangalo! sengaja menggunakan istilah ini guna mengisbatkan diri sebagai adimanusia yang sedang mengumpulkan orang-orang untuk mendengarkan khotbahnya, serempak dengan klausa “Maka Merapallah Zarathustra” yang mengikuti di belakang.

Bisa dibilang bahwa mendengar Pangalo! serupa dengan menikmati buku filsafat melalui rima-rima hip-hop. Bagi mereka yang terbiasa membaca buku-buku eksistensialisme, terutama yang ditulis oleh Friedrich Nietzsche, maka akan banyak istilah yang terasa begitu familiar. Di sisi lain, pesan-pesan anarkisme, entah dalam haluan individualis ataupun kolektivis, sangat sering dilontarkan olehnya. Ketimbang disebut membuat lirik yang puitis dan penuh makna metaforis, yang dilakukan oleh Pangalo! lebih seperti mengumpulkan serpihan-serpihan berbagai buku filsafat untuk disenandungkan melalui alunan hip-hop. Serupa dengan yang dilakukan sang Produser, Senartogok, beberapa tahun sebelum menekuni musik ­hip-hop­, membuat kolase melalui berbagai potongan gambar.

Pengambilan judul buku Nietzsche sebagai judul album yang dilakukan oleh Pangalo! sebenarnya bukanlah hal yang pertama. Jauh sebelumnya, Richard Straus telah membuat rangkaian puisi musikal dengan judul sama, “Also sprach Zarathustra”, sebagai penjelmaan audial dari pemikiran Nietzsche tersebut. Berbeda dengan Strauss, Pangalo! menggunakan judul ini hanya sebagai penanda bahwa pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Nietzsche.

Bahkan, Pangalo! tak mengonsep album ini dengan rapi layaknya rangkaian puisi Strauss. Konsep Hurje! sangatlah acak, Pangalo! sekadar mengumpulkan berbagai lagu yang ia ciptakan pada tahun 2017 untuk kemudian disatukan dalam satu album. Walau begitu, keacakan album ini tak memiliki relasi yang rhizomatik, semuanya mengakar pada pusat yang sama: pemikiran Pangalo. Setidaknya ada tiga acuan yang dapat dipakai guna memahami konsep Hurje secara utuh: perlawanan terhadap diri, anarkisme, dan batak sebagai identitas Pangalo. Pun kalian tak perlu mendengarkan lagu-lagu di dalamnya secara berurutan untuk menangkap pesannya, semua bagiannya benar-benar saling lepas. Tak ada intro ataupun outro yang berfungsi layaknya prolog dan epilog di kebanyakan kisah.

Dengan mendengarkan separuh dari albumnya, kita sudah dapat menangkap kebencian Pangalo terhadap otoritas, terutama negara dan korporat. Lagu seringkas “Pancasila” tampaknya sangat berbahaya bila didengarkan oleh masyarakat yang belum siap mental. Sependek satu menit, Pangalo! mendekonstruksi setiap sila di dalamnya sebagai bentuk kesewenangan negara, membabat semua angan-angan kita pada butir-butir pancasila buatan orde baru.

Track-track seperti “Berperanglah Kata-kata”, “Anthem”, dan “Gejolak” lebih tampak sebagai panduan awal membenci penguasa, rasa-rasanya kita perlu banyak membaca buku sejarah setelah mendengarnya. Track “Pemodal” dan “Kami adalah Tuhan” dibawakan dengan sudut pandang yang lain, sebagai penguasa dan juga korporat, berbeda dengan track lainnya yang dibawakan dengan sudut pandang seorang pembangkang. Namun, pesannya tetap sama, negara dan kapital adalah sumber kesewenangan. Perlawanan lain yang berlandaskan identitasnya sebagai seorang Batak juga ia tuangkan pada “Ribak Otorita”.

Kritik dengan warna lain mungkin dapat kita dengarkan melalui lagu “Sekolah”. Dengan iringan “Another Brick in the Wall” dari Pink Floyd yang memiliki pesan serupa, Pangalo melantunkan seluruh kebenciannya terhadap sistem pendidikan kita. Tampaknya apa yang ia tuliskan lebih mirip sebagai interpretasi dari lagu yang mengiringinya bernyanyi. Sejalan dengan kebenciannya itu, ia pun memutuskan lulus tanpa gelar setelah menempuh kuliah filsafat di salah satu universitas di Yogyakarta. Pemikiran memang harus sejalan dengan tindakan.

Bosan dengan anarki yang hanya berwujud teori? “Fight Clubbisa jadi panduan yang baik untuk merayakannya. Diambil dari salah satu novel Chuck Palahniuk, Pangalo seakan mengambil peran Tyler Durden yang ingin mengamalkan anarkisme melalui kekerasan. Apa yang harus kita lakukan setelah mendapat semangat insureksi dari lagu ini? Membuka kembali Anarchist Cookbook adalah jawaban paling tepat.  

Tapi toh tetap saja, semangat memberontak terhadap negara dan keinginan membuat segalanya lebih baik adalah ilusi klise yang menyelimuti kebanyakan manusia. Bahkan sebelum mengubah dunia, belum tentu seseorang dapat mengubah dirinya, atau lebih tepatnya: melawan dan melampaui diri sendiri. Separuh bagian lain dari Hurje! mengajak kita untuk merenungkan hal ini.

Coba saja kita putar track seperti “Malapetaka”, “Jurus Mabuk”, “Menghidupi Hidup Sepenuhnya”, “Badut”, “Mimpimu Terlalu Gila”, “Majenun”, dan “Pemenang” secara berulang dan bergantian. Apa yang kita dapatkan dari lagu-lagu itu adalah pengulangan seluruh kata-kata Nietzsche dengan bumbu-bumbu penulis lain seperti Kafka, Dostoyevsky, Freud, hingga Camus. Tak terhitung berapa kali Pangalo! mengucapkan kata-kata seputar “kehendak berkuasa” ataupun “berdansa” ala Dionysian dalam track-track itu. Bahkan, di lagu pemenang kita akan mendengarkan lagi salah satu kutipan Nietzsche yang sempat dipopulerkan oleh Kelly Clarkson di lagu “Stronger”, “apapun yang tak membunuhku membuat diriku semakin kuat.” Kutipan populer anak muda masa kini yang sebenarnya diambil dari Twilight of the Idol (Senjakala Berhala).

Jika track-track tersebut sebenarnya adalah bentuk lain dari panduan menjadi adimanusia, entah urutan dan tujuan sebenarnya seperti apa. Bahkan beberapa lagu jelas mengungkapkan suatu ketakutan. “Majenun” dengan jelas mengisahkan bagaimana orang-orang menyalahartikan kehendak berkuasa seperti halnya Hitler dan Nazi. “Mimpimu Terlalu Gila” malah menceritakan masa tua yang dihancurkan oleh mimpi-mimpi gila di kala muda, sesuatu yang sangat ditakutkan pada lagu “Badut”. Namun setidaknya semua rapalan itu selalu mengandung sedikit optimisme yang dapat diringkas dalam “Sang Pengoceh”, dengan berani Pangalo! mengatakan, “Maka tugas utama bukan untuk bahagia, namun untuk hidup sepenuhnya pada apa yang kau cinta.

Pun hip-hop sepertinya tak akan lengkap bila tak membahas relasi seorang MC dengan MC lainnya. Pangalo! tak lupa membuat track “Anthem” untuk menegaskan relasinya dengan Maraton Mikrofon. Di sisi lain ia juga menyombongkan diri sebagai imam mahdi hip-hop di track “Si Gila”. Entah bermodal keberanian dari mana, dengan lantang ia menyuruh kita melupakan orang-orang berpengaruh seperti Morgue Vanguard dan Homicide.

Dengan 18 materi matang yang dapat didengarkan selama satu jam, Hurje! membawa optimisme bahwa gelombang tren hip-hop selama beberapa tahun terakhir sepertinya masih akan berlanjut. Sampling yang cenderung beraroma funk, southern rock, dan beberapa balutan nada pentatonik yang agak nge-blues membuat rapalan Pangalo! lebih mudah didengarkan walau pesannya cenderung cadas dan berat. Jelas album ini adalah angin segar yang mengembalikan ingatan bahwa hip-hop tak melulu berkaitan dengan musik party, pada saat tertentu ia adalah bukti bahwa generasi terbaru masih memiliki semangat perlawanan layaknya Public Enemy ataupun Homicide. (WARN!NG/Renanda Yafi Atolah)

warningmagz

The author warningmagz

Leave a Response

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.