Judul Buku : Menulis Itu Indah: Pengalaman Para Penulis Dunia
Penulis : Albert Camus, dkk.
Penyunting dan Penerjemah : Adhe
Tahun Terbit : 2016
Jumlah Halaman : xiv + 258
Penerbit : Octopus
Saya mulai menulis sekitar lima tahun silam. Pada awalnya, saya hanya berpikir untuk mencari sebuah dunia baru yang sebelum saya kenal. Lantas saya terlanjur terjebak dalam dunia tersebut hingga saat ini. Dalam kurun waktu tersebut, saya menganggap bahwa menulis tidak lebih dari aktivitas ‘masturbasi’. Menulis hanya untuk kepuasan sendiri dan tidak peduli setelah tulisan diterbitkan. Setiap penulis memiliki interpretasi berbeda-beda di setiap karyanya. Paulo Coelho mengatakan, setiap karyanya adalah bagian dari perjalanan spiritualitasnya.
Pandangan saya tentang menulis pun semakin terbuka seusai membaca buku Menulis Itu Indah: Pengalaman Para Penulis Dunia. Buku ini adalah sebuah kumpulan esai yang ditulis para penulis dari belahan dunia. Membahas berbagai macam hal dari dunia kepenulisan yang dihimpun dari 23 tulisan. Seluruh naskah dibuku ini disunting dan diterjemahkan oleh Adhe.
Untuk membahas buku saya ingin mengawali dari tulisan Nadine Gordimer yang berjudul Menulis dan Menjadi. Dalam tulisannya Nadine membahas nasib para penulis yang bersinggungan dengan kondisi politik. Dalam hal ini, Nadine membeberkan bahwa penulis kerap mengalami penghinaan, larangan, dan pembuatan dengan alasan-alasan politik. Misalnya Gustave Flaubert yang diseret pengadilan karena karyanya Madame Bovary. Novel tersebut dianggap tak senonoh. Serangan-serangan terhadap nilai borjuis yang hipokrit dianggap pengkhianatan kepada kediktatoran politik. Hal-hal serupa sangat jelas pada negara-negara yang pernah dan sedang merasakan rezim otoriter. Usaha-usaha estetis dari penulis menjadi subversif ketika rahasia-rahasia memalukan dari zaman kita, dieksploitasi secara mendalam.
“Di hadapan Akademi Swedia, saya benar-benar ingin mengingatkan mereka bahwa penulis adalah orang biasa dan bukan juru bicara bagi orang banyak, dan sastra tidak hanya dapat menjadi suara seorang individu. Bagi saya, menulis ode untuk negeri sendiri dan bersuara untuk suatu partai tidak bisa lagi disebut sastra. Para penulis tidak memamerkan kemampuanya, mereka bukan juru bicara bagi banyak orang, dan sastra tidak hanya dapat menjadi suara seorang individu” (hal. 49 dalam tulisan Gao Xiangjian yang berjudul Saya Dari Tiongkok, Kini Menjadi Eksil)
Pada sisi lain, George Orwell menceritakan alasanya mengapa ia menulis. Menurut Orwell, seseorang menulis dipengaruhi oleh impuls dan porsinya selalu berubah. Ini termasuk dirinya sendiri. Ia menjelaskan bahwa ada empat impuls, di antaranya: sekadar egoisme, antusiasme estetis, impuls historis, serta tujuan politis.
Edward Said yang mengulas tentang karya Naguib Mahfouz mengungkapkan kekecewannya terhadap penerjemahan karya Mahfouz ke dalam bahasa asing. Menurutnya hasil terjemahan karya Mahfouz kurang bernuansa sastra. Penerjemahan karya Mahfouz lebih bermuatan komersial tanpa koherensi artistik atau linguistik yang seimbang. Hal ini membuat kekhususan sastrawi hanya bisa dinikmati pembaca arab. Kekecewaan tentang penerjemahan diungkapkan juga oleh Milan Kundera. Ia kecewa karena terjemahan karyanya banyak mengubah makna asli yang ingin ia sampaikan. Ada yang menambahkan gaya tulisan atau memotong kata-kata dari karya aslinya yang menurut Kundera penting. Oleh karena itu pada tulisanya Kundera menjelaskan kata-kata kunci, kata-kata bermasalah, dan kata-kata yang ia suka. Ia menguraikan makna pada setiap kata yang sering hadir pada karyanya. Sehingga makna dari kata-kata tersebut sesuai dengan apa yang ingin Kundera sampaikan.
Demikian beberapa ulasan tulisan yang tersaji dalam buku ini. Selebihnya saya ingin mengajak pembaca juga turut membaca buku ini. Masih ada tulisan-tulisan dari Albert Camus, Bertrand Russel Gabriel Garcia Marquez, dll. Sisanya memang sengaja tidak ingin saya bahas. Saya berusaha membantah apa yang dikatakan oleh Octavio Paz pada buku ini. Ia berujar bahwa sekarang tingkat buta huruf menurun akan tetapi minat membaca semakin berkurang. Maka saya sekalian ingin mengajak anda turut membaca. Sebelum anda turut membaca, saya ingin menyampaikan beberapa kekecewaan saya pada buku ini.
Pertama, buku ini tidak menunjukan halaman dalam daftar isi. Tentunya, hal ini akan membuat sulit para pembaca untuk mencari halaman dari setiap karya. Saya pun agak disibukan untuk membolak-balikan halaman buku ketika saya ingin membaca salah satu tulisan di sini. Beruntung penyusunan tulisan berdasarkan alfabetis nama penulis.
Kedua, sumber dari tulisan ini tidak dicantumkan. Penulisan sumber sangat penting untuk buku non-fiksi seperti ini. Fungsi utamanya adalah untuk memverifikasi keaslian dari tulisan tersebut.
Terakhir, ada satu tulisan menurut saya di luar tema besar buku ini, yaitu pada tulisan Paulo Freire. Menurut saya, tulisanya lebih banyak membicarakan pemikiran Freire tentang pedagogi. Dalam tulisan tersebut tidak banyak membahas tentang hal kepenulisannya.
Awalnya, saya berpikir bahwa saya menulis hanya sebatas menuruti ego saya. Buku ini memberikan pencerahan tentang menulis. Secara tidak sadar, apa yang saya lakukan ini memiliki berbagai macam makna. Hal terakhir yang saya sampaikan adalah sebagaimana pesan Adhe selaku penyunting dan penerjemah dalam buku ini. “Dan,tak ada salahnya kita mulai mengikuti mereka: bersegera untuk menulis”. [WARN!NG/Rifki Afwakhoir]