Serentak gendang Pak Langgeng dan semua instrumen musik milik Potrobayan Jam dan Lembah Berbunyi Project berhenti. Sorak sorai penonton seketika pecah. Pertunjukan ini tidak hanya menjadi puncak rangkaian acara Ritual Dekahan Bumi (24/3/2018), tetapi juga seakan menjadi mesin waktu ke peristiwa gempa Jogja 2006 silam bagi yang mengalaminya.
Sedari awal bebunyian dibiarkan leluasa membangkitkan memori tentang peristiwa gempa 2006 silam. Sebagai orang yang mengalami langsung peristiwa gempa kala itu, suara gemerincing gelas, gemuruh, sampai lolongan kentongan sangat lekat di ingatan. Tinggi rendah laras yang bersahutan itu melatari suasana Dusun Potrobayan yang merupakan pusat gempa Jogja 2006 lalu, sekaligus lokasi pertunjukan kini.

Pertunjukan malam itu dimulai dengan atmosfer magis dari theremin milik Lintang Raditya. Bunyinya mengawang-awang. Seakan membawa pendengarnya ke sebuah lorong menuju dimensi lain. Tiba-tiba terdengar gemerincing gelas tak beraturan dari instrumen berupa susunan botol bir bekas yang digantung di sebuah kayu layaknya jemuran. Gemerincing ini mengingatkan saya akan kaca jendela rumah, gelas, dan piring di dapur, dan lonceng sapi di pagar rumah yang bergetar akibat gempa. Belum lagi suara gemuruh yang berasal dari instrumen menyerupai rebana dan di bagian tengahnya menggelantung sebuah per dengan panjang sekitar satu meter. Cara memainkannya tidak seperti rebana yang ditabuh, melainkan dengan menggoyangkan per yang menjuntai. Seketika saya teringat suara gemuruh yang berasal dari dalam tanah membangunkan saya waktu itu. Bunyinya terdengar jelas menyeruak dari alas tidur yang tipis.

Wah gila ini! Pikirku. Perlahan memori gempa 2006 mulai terbangun. Sedikit demi sedikit peristiwa mulai memadati celah-celah di pikiran saya. Suara gemerincing dan gemuruh tersebut benar-benar menjadi bagian dari peristiwa waktu itu. Pertunjukan ini bagaikan lorong waktu. Saya seperti dibawa kembali ke pagi yang panik 12 tahun lalu. Bebunyian yang mereka sajikan seperti menuntun saya mengunjungi detik demi detik kala bumi bergoncang tak keruan. Pertunjukan kolaborasi antara Limbah Berbunyi Project dan Potrobayan Jam dilanjutkan dengan pembacaan memoar oleh Pak Budi tentang pengalaman sewaktu gempa berlangsung.
“..kurang luwih jam enem isuk kurang setitik, ono perubahan sik ngendap-ngendapi, donyane gonjang-ganjing. Kabeh kaget. Kabeh panik. Aku nggugah anaku sek cilik mlayu mengarep…”
Suaranya lantang. Sesekali tersendat seperti mengisak tangis. Beliau ceritakan secara runtut apa yang terjadi sebelum gempa, ketika gempa, hingga keadaan sekitar setelah gempa berlangsung. Suasana pun mulai haru. Beberapa penonton juga mulai sesenggukan. Setelah Pak Budi selesai membacakan memoarnya, bapak-bapak yang memainkan saron yang logamnya berasal dari limbah tegel, kemudian menyambutnya dengan menyanyikan Tembang Pucung. Tembang Pucung sendiri, meskipun isinya berupa teka-teki nan ringan, akan tetapi pesan-pesan yang terkandung di dalamnya merupakan nasehat-nasehat untuk membangun hubungan antara manusia, alam lingkungannya, dan Tuhan.

Pemilihan bunyi yang disajikan Potrobayan Jam dan Limbah Berbunyi Project terlihat dikonsep dengan matang. Seakan-akan menyimbolkan peristiwa-peristiwa kala gempa lalu. Johanes Moong Pribadi adalah orang yang bertanggung jawab atas apa yang Potrobayan Jam dan Limbah Berbunyi Project sajikan. Dia laksana nakhoda yang memandu kita ke lorong waktu menuju ke gempa Jogja silam. Duduk di ujung sebelah kiri panggung membuatnya tidak menjadi pusat perhatian layaknya konduktor pada sebuah orkestra. Tetapi gerak gerik tangannya yang menentukan kapan setiap instrumen boleh dimainkan, tetap menghipnotis.
Pertunjukan malam itu, 24 Maret 2018, merupakan rangkaian acara yang diinisiasi oleh Eling Project. Pada sore harinya juga diadakan tumpengan di pelataran rumah kepala desa. Tumpeng diarak dari selasar Monumen Gempa Jogja 2006 dan diiringi anak-anak yang mengenakan seragam merah-putih sambil membunyikan potongan bambu yang di dalamnya sudah diisi oleh potongan kayu. Bunyinya seperti kentongan.

Nantinya, hasil kolaborasi antara Potrobayan Jam dan Limbah Berbunyi Project dapat diunduh secara bebas di laman netlabel lokal dari Yogyakarta, Watch Pineapple Press. Kemeriahan malam itu pun ditutup dengan Wayang Cocot Ki Suwardi dengan lakon Semar Bangun Kahyangan semalaman suntuk. [WARN!NG/Aditya Adam]