Album musik tak pernah berhenti dilahirkan, selayaknya kekerasan Negara yang terus beranak pinak dan dilanggengkan. Namun, setiap album memiliki nasib yang pusparagam. Sebagian dari mereka dikenang dan abadi. Namun, tak jarang juga bernasib naas, seperti berhenti pada satu putaran saja, atau berakhir sebagai tumbal promosi gerai makanan cepat saji.
Tetapi, ada satu album yang bernapas panjang. Album itu adalah Balada Joni dan Susi yang dilahirkan oleh Melancholic Bitch dua dekade lalu. Kisah sepasang kekasih belia tuna harta namun kaya cinta itu, masih dibicarakan hingga hari ini. Cerita Joni dan Susi masih kerap didaras dengan khidmad oleh Jamaah Al-Melbiliyah, di tiap konser mereka. Tiket pertunjukan mereka selalu terjual habis, dan selalu ditunggu-tunggu layaknya malam Lailatul Qodar.
Rekam jejak Melbi yang kini menjelma bak berhala, kemudian disambangi kembali oleh kuartet punk asal Bandung yang menamakan dirinya Dongker. Bermodalkan sound overdrive, suara vokal yang sengau, dan gebukan drum yang ritmis, Dongker berupaya memanggil kembali arwah Joni dan Susi.
Dengan mengaransemen ulang lagu 7 Hari Menuju Semesta, Dongker seolah memberikan kesempatan hidup Joni dan Susi sekali lagi. Tetapi, sekarang Joni dan Susi telah beralihrupa. Mereka bukan lagi remaja hasil program NKKBKK a la Orde Baru, yang terusir dari kerumunan dan kawin lari untuk menyelamatkan cinta mereka. Joni dan Susi bukan lagi remaja yang cintanya direpresi oleh sistem negara. Bukan lagi remaja yang perutnya lapar dan diganjal harapan-harapan masa depan saban hari. Tetapi, hari ini, Joni dan Susi yang arwahnya dipanggil Dongker malah mirip dengan Sid dan Nancy. Joni dan Susi kini akrab dengan sepatu boots, jaket leather, rambut mullet dan kurang mahir berpuisi.
Berbekal racau gitar overdrive yang terdengar cruchy a la Royal Headache atau Radioactivity, Dongker berhasil membuat lagu 7 Hari Menuju Semesta menjadi lebih segar, dan terdengar seolah baru dirilis kemarin sore. Sementara, vokalis mereka yang membacakan lirik “Rabu / Langit Kelabu // Rabu / Tanpa Abu-Abu” dengan cara yang begitu payah—lebih buruk dari cara Jokowi membaca puisi—justru menjadi daya gedor gubahan mereka.
Mereka mengubah wajah 7 Hari Menuju Semesta yang murung, menjadi gegap gempita, tanpa menepikan kekhawatiran khas remaja yang kisah cintanya diawasi oleh negara. Sekaligus, Dongker juga menyisipkan riff yang dancy milik Sublime di tengah lagu, yang menurut bayangan saya tak akan pernah gagal, menyupal area moshpit menjadi lantai dansa seketika.
Formula brutal Dongker untuk mengotak-atik sebuah karya adiluhung terbukti manjur. Sepertinya, ganjaran yang tepat untuk menghukum empat mahasiswa seni rupa karatan ini adalah: memberi kesempatan mereka berbagi panggung dengan Melbi. Tampaknya menarik untuk melihat sejauh mana kenakalan mereka, ketika dipertemukan oleh si empu dari lagu yang telah mereka orat-arit itu.
Mendengarkan Dongker membuat saya berpikir bahwa ada baiknya Purwacaraka dan sekolah-sekolah musik lain dibubarkan saja. Dunia tampaknya lebih butuh banyak band brengsek macam mereka, daripada musisi teknikal yang menjadikan ‘kerapian’ sebagai patokan. Bagi musisi yang saya sebutkan kedua, ada baiknya bakar saja saja alat musik kalian, dan mulailah berpikir untuk jadi tentara saja.
Dengar 7 Hari Menuju Semesta versi Dongker di sini.
(WARN!NG/Reno Surya)