close

Sirin Farid Stevy (FSTVLST); Menapak Realita dalam Berkarya

artikelx

Teriakan bersahut-sahutan, kerumunan orang berputar dan berlompatan, sikut beradu sikut, tubuh bertemu tubuh, keringat melengket berbaur menjadi satu. Aksi panggung FSTVLST yang gegap gempita selalu berhasil mengundang sorak-sorai dari massanya yang tidak pernah sedikit. Penonton berbondong-bondong datang dari satu panggung FSTVLST ke panggung lainnya. Di sana, mereka merayakan musik dan sukacita, ataupun hidup dan juga gagal yang mengikutinya. Apa saja, asal bisa berteriak menyanyikan lagu kesukaan sambil berputar dan saling tubruk dengan yang lainnya.

Sebagaimana ungkapan Farid, FSTVLST ialah band yang dibesarkan dari panggung ke panggung. Bukan Spotify, bukan juga media, yang ikut memberi sumbangsih membesarkan nama band yang awalnya hanya direncanakan untuk tampil di acara malam kearaban (makrab) kampus saja. Tapi panggung dan kekuatan massa lah, yang membawa Farid dan FSTVLST hingga di titik ini.

Pencapaian yang tidak disangka ini diungkapkan dalam nomor GAS! yang sudah dirilis sejak 2018 lalu. Pertama kali dikenalkan di Soundrenaline, GAS! tumbuh menjadi anthem bagi siapa saja yang pernah memaknai ungkapan kenyataan tidak berjalan sesuai harapan. Tapi, Farid bercerita, bahwa dari versi penulisan FSTVLST, Gas bercerita tentang bagaimana FSTVLST, (dulu Jenny), yang tidak pernah direncakan untuk menjadi sejauh dan sebesar ini.

Meskipun begitu, ini bukan berarti mewajibkan pendengar memaknai Gas dengan cara yang sama seperti Farid. Farid yang membenci acara bedah lirik oleh penulisnya sendiri mengamini bahwa ketika karya sudah dilepas ke publik, maka karya itu sudah bukan lagi miliknya. Siapa saja bebas berpendapat, siapa saja boleh memaknainya dengan cerita yang berbeda. Jadi, bagaimanapun cara masing-masing dari kita menafsirkan lirik dari lagu FSTVLST, ialah hak dan kebebasan setiap telinga yang mendengar juga hati yang merasakan.

Lima tahun setelah Hits Kitsch, FSTVLST akhirnya melunasi hutang mereka kepada para penggemar dengan lahirnya Fstvlst II (Kedua). Fstvlst II tentunya menuai respon beragam dari para penggemarnya. Ditemui di studio seni rupa yang berlokasi di lantai 2 kediamannya, Farid Stevy, sambil mengisap rokok, bercerita banyak soal Fstvlst II yang akhirnya dirilis di tengah pandemi Covid-19.

Lucunya, perilisan Fstvlst II yang sempat diundur beberapa kali ini rupanya akibat dari ketidaktelitian para personilnya. Berdasarkan cerita Farid, mulanya, Fstvlst II direncanakan untuk rilis beberapa minggu setelah disetor ke para aggregator musik. Bahkan, Farid mengatakan, ada kemungkinan akan dirilis saat pandemi rampung. Namun, para personil yang tidak menyertakan secara detail tanggal perilisan yang diinginkan menyebabkan album ini mengudara lebih cepat. Meskipun cukup terkejut, keputusan yang diambil akhirnya tetap memberatkan pada lagu-lagu yang sudah dapat diakses oleh khalayak luas. Akhirnya, para personil harus legowo untuk membiarkan anak kedua mereka lahir beberapa saat lebih cepat dari yang mereka harapkan.

Dikenal juga sebagai seorang bapak, perupa, dan desainer, karya-karya Farid dikenal luas tidak sebatas pencipta lirik-lirik lagu milik FSTVLST. Faridlah sosok dibalik desain logo Filosofi Kopi yang ikonik pada film Filosofi Kopi garapan Angga Dwimas Sasongko. Pria asal Gunungkidul, Yogyakarta, ini jugalah yang menggarap logo untuk PT. Kereta Api Indonesia (KAI).

Satu hal yang ditemui dari setiap karya Farid adalah orisinalitas. Farid berpegang teguh pada prinsipnya untuk selalu berkarya dengan jujur dan apa adanya. Sosok yang kelak ingin dikenang sebagai seorang buruh ini tidak pernah ingin bercerita tentang suatu isu yang bukan miliknya dan tidak dia pahami.

Melalui karyanya, Farid berusaha bercerita dengan cara yang lebih halus dan tidak menyakiti siapapun. Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini bertutur bahwa musik, seni rupa, seni gerak, dan pertunjukkan di atas panggung adalah upaya menghaluskan semuanya supaya apa yang ingin diceritakan atau disuarakan tidak melukai ataupun merugikan orang lain.

“Musik, yang lebih besar lagi, itu memang memberikan bahasa baru untuk bercerita. Bahasa musik, ketika pertunjukan yang dirayakan kan kata-kata, musik, pertemuan, bau keringat, juga merayakan bagaimana disenggol sama sikut agak kenceng gitu kan,” kata Farid.

Setiap lirik gubahannya merupakan penggalan dari kalimat-kalimat yang ia tulis acak pada momen-momen yang tidak tentu. Tulisan-tulisan itu, ia akui, tidak direncanakan untuk menjadi lirik lagu. Tapi banyak dari kalimat-kalimat itu yang berakhir diteriakkan, dinyanyikan oleh ribuan orang ketika FSTVLST tengah manggung. Karena bagi Farid, belum ada yang bisa melampaui ungkapan, “saya jatuh cinta dengan kata-kata.”

Dari wawancara yang berlangsung hampir selama dua jam itu, kami mendengar Farid Stevy bercerita tentang bagaimana dia berproses, perspektif akan karya-karyanya, juga sedikit-sedikit menyinggung tentang agama.

Wawancara oleh: Hasya Nindita dan Aan Papeda

Teks oleh: Hasya Nindita

 

…ternyata menulis dan menggambar memang lebih gampang ketika sedang menderita.

Album sebelumnya belum berkeluarga, sekarang sudah berkeluarga. Apakah ada perbedaan?

Jadi sebenarnya 5 tahun sejak Hits Kitsch, banyak yang terjadi. Di wilayah personal, masing-masing personil mengalami perubahan. Hits Kitsch ditulis di situasi yang menderita, ada penderitaan yang membuncah, yang agak gampang diutarakan. Orang yang sakit, tertindas, terhimpit kan banyak hal yang bisa diutarakan. Album kedua saya menulis di situsasi di mana anak dan istri sehat dan cantik. Pencarian mau menulis apa itu cukup panjang. Warna tulisanku saat ini cukup dipengaruhi situasi sekarang, begitu juga warna musik saat ini dipengaruhi oleh situasi teman-teman yang bertanggung jawab untuk komposisi musik.

Ada ironinya juga ketika waktu itu memulai menulis album ini, Roby Setiawan bilang gitu, “terus kamu mau nulis apa, sekarang kamu diperkaya dengan banyak hal dan aku melihatmu bahagia banget hari ini.” Oh, jadi kamu pengen aku nggak bahagia ni biar albumnya bagus?

Karena aku biasa seperti itu. Setiap kali aku masuk ke situasi hidup yang susah, wah ini albumnya akan bagus ini. Ada kebiasaan menulis di situasi yang susah. Kalau di institusi kesenian tempatku belajar, ada kepercayaan suffering for art, ternyata menulis dan menggambar memang lebih gampang ketika sedang menderita.

Terus titik temu tentang apa sih yang membuatku menderita ketika kondisi seperti ini adalah momentum awal aku menulis album ini ketika menyadari bagaimana jika aku kehilangan mereka (anak dan istri). Wah itu lebih gelap dari era-eraku sebelumnya. Bahagia sangat, terus kemudian kan ini bisa hilang kapan saja. Dapat energi dari situ, tetap suffering, walaupun agak harus dicari-cari.

Waktu itu kayaknya harus melewati masa-masa perenungan yang cukup panjang, relevansinya ya kemudian berjalan 5 tahun jadi masuk akal karena ini mewakili satu era baruku, era barunya satu tim yang tidak mengada-ada, album ini memang berbeda dari yang sebelumnya, karena orang-orangnya berkembang.

Kamarin sedang riset bersama teman-teman tentang perupa legendaris dari Yogya, Heri Dono, dia menggambarkan kegiatan pengkaryaaan itu sebenarnya, yang biasanya dilalui oleh orang-orang, yakni; perenungan, riset dan eksperimen, kemudian berkarya. Ketika pertanyaan kemudian apakah ini membayang-bayangkan, di proses perenungan memang banyak membayangkan.

Adakah ideologi dan filosofi yang berbeda dari album Fstvlst II dan Hits Kitsch?

Ideologi dan filosofi itu milik banyak kepala. Kalau aku jawab maka itu akan menjadi versiku, walaupun tetap ada satu garis yang sama dengan yang lain. Tapi sisanya mungkin berbeda-beda.

Satu yang selalu sama dari jaman Jenny sampai detik ini adalah kami tidak pernah mengarang lagu, kami hanya menceritakan apa yang kami alami, rasakan, dengar, lihat, bayangkan. Makanya penulisan lagu kami tidak impulsif. Aku tidak bisa masuk studio, kemudian jamming dan keluar kata-kata. Kami selalu biasakan observasi tentang apa sih yang sedang terjadi, apa yang sedang kami alami, pengalaman kami selama 5 tahun terakhir seperti apa itu masuk ke album ini.

Berubah atau tidaknya, menurut kami apa yang kami lihat 5 tahun terakhir, mirip dengan 5 tahun sebelumnya dan 5 tahun sebelumnya lagi. Kami masih menyuarakan hal yang sama karena tidak ada yang berubah signifikan. Tidak ada nabi baru turun, tidak ada perubahan signifikan di sosial, budaya, politik ya semuanya narasi-narasi yang afkir yang sudah pernah kita dengar.

Kalau misalnya album Hits Kitsch ibaratnya anak panah yang kami lontar dari busur kami kemudian menancap. Nah, album Fstvlst II itu tetap anah panah yang sama tapi kami pegang anak panahnya, terus kami putar, krek. Biar makin sakit gitu. Jadi ya, berita yang sama gitu. Tapi kami lebih berani, karena kami berani mendekat dan kami putar.

Berarti itu pengalaman itu terefleksikan di lagu-lagu seperti Opus dan GAS! yang menyinggung tentang kegagalan?

Iya, iya. Aku menulis hanya dari apa-apa yang pernah kurekam. Aku biasa menulis di buku catatanku. Aku pernah menulis ini itu, tapi aku tidak bertujuan menulis lirik. Jadi aku cuma mendapati momen tertentu dalam 5 tahun terakhir yang kurekam dalam tulisan-tulisan tadi. Nah semua tulisanku itu berawal dari ini.

Kalau kembali ke ideologi karya, kami berusaha untuk tidak berjarak dengan apa yang kami alami. Kalau aku ya apa yang kualami ya wes kutulis. Aku merespon situasi, aku menemui apa, ya kutulis. Jadi setiap album itu kayak dokumentasi dari temuan-temuanku selama, misalnya, 5 tahun terakhir.

Jadi bisa saja materi-materi di album Fstvlst II tulisan Mas dari tahun-tahun sebelumnya?

Iya betul. Paling banyak ya tulisan setelah Hits Kitsch, karena aku ingin mengabadikan juga setelah Hits Kitsch aku mengalami apa. Kadang-kadang juga tulisan seperti ini berakhir di tembok, semisal saat aku gambar. Buatku itu cara yang paling muthakhir untuk membuat karyaku tidak berjarak dengan realitasku. Makanya aku tidak pernah mau mencoba bangun tidur, lalu buka jendela, ngopi, pegang gitar, ada pena dan kertas, seperti itu pasti jauh dari realitaku.

Realitaku ya realita pekerja, bersosial, berbudaya, bertemu dengan banyak orang, melihat media, itu realitaku saat ini dan mungkin banyak orang juga. Dan merekamnya di tulisanku itu proses decoding pertama dengan caraku sendiri, kenapa muncul tulisan seperti itu karena ada hal yang mengusikku. Mungkin tidak mengusik orang lain tapi mengusikku. Aku tidak pernah merasa di sini itu menulis lirik. Ini memulung momentum, memulung kata-kata, mengoleksi pengalaman.

Jadi, sekali lagi, gatau ini bener apa enggak. Apapun itu, filosofi dan ideologinya kami, aku khususnya, tidak pernah mau mengada-ada, dan mengada-ada itu bagian dari langkah pertama menuju membohongi orang. Aku menulis sesuatu, aku tidak mengalaminya, aku nggak tahu itu apa, terus dinyanyikan di atas panggung, 1000 orang bernyanyi, tapi aku tahu itu bohong, itu bukan kalimatku.

Karena sekarang ini kita terlalu sibuk membicarakan agama itu ke permusuhan

Ada yang mengatakan Hits Kitsch lebih universal, tetapi, Fstvlst II lebih kontekstual dan kontemplatif?

Sebenarnya sejak karya itu dilepas ke publik, karya itu sudah bukan lagi milikku. Terus aku sudah nggak terlalu peduli, dalam konteks yang positif, ini sudah milik siapapun. Karena pertemuan teman-temanku denganku lewat karya itu menjadi pertemuan yang sangat lucu. Bahkan mereka bisa membayangkan karyanya sebesar ini padahal aku menulisnya itu nggak segitu.

Konsep hampir itu menarik. Aku biasa memberikan tapir-tapir tertentu dalam penulisan supaya memberikan ruang untuk teman-teman memperkirakan ini apa ya sesuai dengan referensi mereka. Tapi kalau misalnya ditanya apakah lagu ini tentang a, tentu saja iya.

Kalau menurutku mungkin bukan tentang itu, tapi kalau menurutmu tentang itu tidak apa-apa, tidak usah didebat. Jadi aku sebenarnya kalau misal teman-teman merespon album Hits Kitsch kemarin universal sekarang lebih spesifik, mungkin bagi yang merasakannya spesifik ya mungkin iya. Tapi aku yakin juga diluar sana ada yang meresponnya dengan cara lain. Begitupun tiap karya bertumbuh, pun aku juga mengalami dengan lagu-lagu teman-teman lain yang aku dengarkan.

Karya bisa berumur panjang, hidupku tu pendek.

Ada beberapa nomor yang menyinggung praktik agama. Ada keresahan apa yang berusaha Mas Farid sampaikan dengan ide seperti itu?

Saya dididik di keluarga yang cukup agamis sebenarnya. Ibu pengajian Muhammadiyah setiap minggu. Setiap aku pulang pertanyaannya, “le udah sholat belum?”, udah umur segini masa belum sholat. Keluargaku cukup agamis. Kombinasi dari ibu dan bapakku dari konteks spiritual itu bapakku cukup moderat. Tapi di keluarga kami lebih nyaman membicarakan spiritual daripada agama. Artinya pembicaraan masalah-masalah kita dengan sang pencipta itu ndak kecil, cukup lebar spektrumnya. Terus kemudian gejalanya muncul ketika saya agak suka terganggu sewaktu di grup whatsapp alumni SMA ada yang tiba-tiba mengirim doa-doa islam, saya berpikir, loh kan yang disini nggak semuanya islam. Itu respon natural, aku risih aja.

Selain itu juga ya kita tahulah apa yang terjadi di sekeliling kita, agama itu jadi perkara yang nggak lucu dibicarakan saat-saat ini. Pendapatku mungkin bicarakan Tuhan, bicarakan masalah spiritual, bicarakan konteks yang lebih lebar dari sekadar agama.

Aku di keluargaku yang sekarang pun terbiasa membicarakan agama, spiritual dengan enak gitu. Dan aku ingin menularkan itu. Misalnya di konteks keluarga kecilku, aku dan istriku mengajari anakku doa mau makan dan tidur ya doa Islam, karena itu doa yang aku diajari begitu juga. Tapi, kalau pilihan beragama ya jelas milik dia.

Aku menyematkan agama di Fstvlst II melalui Vegas dan Hayat. Aku membicarakan agama dengan sangat casual. Hayat itu premisnya sederhana. Waktu itu aku nyekar, ziarah ke tempat mbah putri, waktu itu dianter bapakku. Kata bapak, ini mbah putri, ini ibuknya mbah putri, sampai leluhur-leluhur lain. Aku diturunkan dari beliau yang aku bahkan engga tahu dan mungkin sampai di titik di mana saat itu agama belum ada, terus apakah aku rela ketika mbah putriku yang aku tidak tahu siapa itu masuk neraka karena tidak beragama? Wah ini kenapa sekarang jadi ribet banget ya masalah agama.

Ya agama itu dibicarakan dengan cara yang menyenangkan saja. Karena sekarang ini kita terlalu sibuk membicarakan agama itu ke permusuhan. Setiap tahunku gitu, natal ya kami natalan di tempat teman kami yang merayakan natal, lebaran ya temanku yang non islam datang ke tempat kami yang islam. Kenapa nggak begitu aja, itu utopis tentu saja dan nggak masuk akal untuk beberapa pihak, tapi untuk kami masuk akal. Dan bukan tugasku atau tugas kita untuk membuatnya menjadi seragam.

Tapi apakah nantinya akan takut membuat materi-materi yang menyinggung agama?

Selama saya bisa dapat izin dari istri dan anak-anak, saya nggak takut. Karena cuma itu. Maksudnya, apa-apa yang bahaya buatku sendiri bisa aku takar, tapi ketika bahayaku membahayakan orang lain itu jadi hal lain yang aku nggak bisa gegabah melakukan itu.

Band pun itu kan sebenarnya orang-orang yang kusayangi juga. Ketika lirik jadi nih kayak gini, secara konsep ini harus bisa dipertanggungjawabkan. Pun ini pada akhirnya kemudian diinjak, dibungkam, ini secara konsep dulu harus bertanggung jawab. Selama bisa dipertanggungjawabkan minimal dengan logika, aku pikir aku nggak takut.

Dari musik, seni rupa, desain, yang mana yang paling terdampak karena Covid-19? Bagaimana cara beradaptasi?

Seni rupa tentu saja situasinya juga sama, tidak banyak yang bisa dilakukan. Kecuali kerja-kerja studio ya. Kerja-kerja kekaryaan yang personal, yang domestik gitu masih bisa dilakukan. Kerja desain di ruang bisnisku yang satunya itu sangat terdampak karena kaminya masih bisa kerja tapi pengambil keputusannya, yaitu klien, yang maha mencairkan invoice, pasti mereka juga terkendala dalam situasi yang sama. Jadi kayak yang tiba-tiba berhenti semuanya.

Adaptasiku adalah tetap melakukan hal-hal yang bisa kulakukan tanpa kemudian harus bersandar kepada perubahan kebijakan ini. Ya, band bandan ga bisa pertunjukkan publik. Jadi yang kita lakukan adalah penulisan lagi. Ini jadi rekor kami, jarak antara album dan penulisan album baru itu baru sekarang secepat ini. Karena aku sudah mulai nulis lagi untuk album berikutnya.

Karena momentumnya gede banget juga kan ini. Pandemi ini beberapa bulan tapi a year to remember.

Ada rencanakah? Materi atau album baru soal pandemi?

Belum tahu juga, yang jelas kami sedang berkarya dalam masa-masa ini juga.

Tapi mungkin akan jadi dirilis lebih cepat?

Yaa… nggak tau juga, karena dulu juga begitu, bersemangat tapi jadinya 5 tahun juga.

Kalau misalnya album Hits Kitsch ibaratnya anak panah yang kami lontar dari busur kami kemudian menancap. Nah, album Fstvlst II itu tetap anah panah yang sama tapi kami pegang anak panahnya, terus kami putar, krek.

Untuk Mas Farid, seberapa penting kata-kata?

Ada satu kalimat yang menurutku belum terlampaui sampai saat ini. Kalimat yang menggambarkan hal itu adalah: “saya jatuh cinta dengan kata-kata”. Jadi kenapa kata-kata itu jadi penting banget, kamu bayangkan jatuh cinta. Nah, aku jatuh cinta dengan kata-kata.

Jadi sejarahku, aku dari keluarga yang terbungkam. Kalau misalnya temen-temen tahu kode-kode yang sering aku ceritakan, ada kode-kode pembungkaman dari sebuah entitas yang lebih besar. Nah, kata-kata jadi senjata karena yang kita punya hanyalah kata-kata. Bercerita tentang apa yang kami rasakan, menuliskan apa yang kami sembunyikan, itu jadi hal yang memang menubuh di saya. Kata-kata, bercerita, itu penting buat aku, bahkan buat keberadaanku. Aku ada karena aku berkata-kata, aku ada karena aku bercerita, aku ada karena aku menceritakan hal-hal yang selama ini tidak boleh diceritakan, aku ada karena orang tuaku sampai ke sana kemudian mungkin dalam situasi yang tidak diperbolehkan atau tidak berani bercerita. Jadi itulah mengapa penting buatku untuk bercerita.

Nomor Kamis sepertinya didedikasikan untuk aksi Kamisan. Apakah Mas Farid sudah cukup mengetahui soal Kamisan sehingga menulis Kamis?

Kamis itu membuat gagal rilis beberapa bulan yang lalu. Kamis itu memang ceritanya saya berempati dengan orang orang di aksi kamisan terus jadilah sebuah lagu berjudul kamis. Sudah jadi lagunya, sudah siap rilis, kemudian, saya berpikir, sebentar sebentar, kan aku nggak berdiri di sana. Aku tidak berdiri di depan istana membawa payung hitam. Lalu albumnya mandek karena pertanyaan itu.

Lagu itu kemudian digubah ulang, supaya temanya kemudian bukan ke arah kamisan karena lirik sebelumnya itu sangat sangat kamisan. Jadi versi yang dirilis itu sudah dihaluskan. Kami sampai ada satu sesi khusus untuk membahas Kamis. Karena aku tidak mau menceritakan hal-hal yang tidak aku alami. Dan akan menyakiti mereka yang setiap kamis berdiri di sana lalu, “kamu siapa?” gitu.

Ya, ini di haluskan di versi ini jadi menceritakan kehilangan orang yang kita cintai, tetep dengan sudut pandang mereka, tapi bukan tentang kamisannya, tapi tentang bagaimana sih perasaan kehilangan yang lebih domestik, bukan tentang perjuangannya aksi kamisan menuntut itu, tapi gimana sih rasanya ditinggalkan tanpa sempat bilang sampai jumpa.

Begitu bagaimana aku merasakan tentang Kamisan, aku tidak berdiri di situ. Aku tidak ingin mencomot itu menjadi milikku. Nggak sopan. Bahwa ini adalah isu bersama, bahwa ini adalah isu HAM, manusia itu setara, ya iya tapi buat aku yang punya isu personal dengan itu tuh menjadi berat untuk menceritakan hal yang tidak aku alami.

Itu menunda album ini hampir sekitar 3 bulan.

Mungkin suatu saat ketika misalnya aku dapet izin dari beliau-beliau, teman-teman kita yang berjuang di depan istana, mungkin aku akan merilis versi yang sebelumnya dan sampai saat itu versi yang sebenarnya tidak akan pernah aku ceritakan. Jadi yang tersisa dari Kamis versi asli yang sekarang menjadi Kamis yang kalian dengarkan itu hanya reffnya saja.

Aku ada karena aku berkata-kata, aku ada karena aku bercerita, aku ada karena aku menceritakan hal-hal yang selama ini tidak boleh diceritakan, aku ada karena orang tuaku sampai ke sana kemudian mungkin dalam situasi yang tidak diperbolehkan atau tidak berani bercerita.

 

 

 

 

 

warningmagz

The author warningmagz

Leave a Response

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.