
Tak perlu berkunjung ke Gigs Rockabilly untuk mendengar Kiki and The Klan. Jika bermaksud mampir di berbagai gelaran musik Jogja, seminimal mungkin Kiki and The Klan sempat meninggalkan jejak suaranya: di cafe, galeri, komunitas, sampai panggung yang notabene diakui besar. Selama kurun waktu tiga tahun, semenjak nama Kiki and The Klan lahir, sampai kini masih dan selalu saja terdengar. Boleh diakui, mereka adalah grup rockabilly paling eksis.
Pada Senin malam (2/3), deras hadir seperti lazimnya musim hujan, bagi pemalas malam akan hadir dengan berbagai keluh dan umpatan, terkecuali yang rajin, mereka memantapkan untuk bersuka gembira, ada yang memilih tempat nongkrong terbaiknya, memilih acara yang paling disukai. Siapapun mereka, jika malam itu menentukan pilihan hendak ke Ascos (Asmara Coffes Shop) di jalan Tirtodipuran 22 Yogyakarta, maka bakal menemukan kehangatan tersendiri, oleh bir dan kopi, keramaian dan panggung. Tersadar, di sisi tembok telah terbaca “Rockabilly Rumble 3rd Anniversary of Kiki and The Klan”, berikutnya bersandar sederet nama; Ancaman Kota, El Milky Racers, dan Eko Ompong. Senantiasa tercantum ‘Rockin’ Spades Rockabilly Club’.
Kita sepakat menyebut Kiki and The Klan adalah sebuah proyek musik, terlihat dari personil yang tergabung di dalamnya, mereka adalah nama-nama yang sebelumnya aktif mengusung nama grup masing-masing, sejauh kini ada nama-nama yang turut mengisi, seperti Brandal Enerjik, Ancaman Kota, El Milky Racer, Gerap Gurita dan Rebel Of Law. Jadi, pergantian personil bukanlah sebuah soal. Seringkali, grup band Rockabilly tampil sepaket dalam kemasan gigs dengan banyak rekan antar komunitas. Ada nafas berbeda dari Kiki and The Klan, justru mereka mengembuskan musiknya di panggung-panggung non komunitas (rockabilly), jadilah Kiki and The Klan gambaran rockabilly cukup laris. Tentu tak terlepas dari vokalis Kiki Phea yang memiliki latar seorang jurnalis, ia juga kerap hadir bersama penggiat seni dalam beragam gerakan ‘kritik’, selain itu pergaulan di berbagai skena musik turut membawa grupnya dipersilahkan hadir dalam merayakan panggung-panggung baru, lebih lanjut menggarap kolaborasi. Lain waktu, kelompok ini melenggang di jalur-jalur subkultur, sebuah pembuktikan bahwa aktifitas musik terus berlanjut. Keberadaan mereka juga telah dicicil dengan keluarnya single berjudul “Tiger & Butterfly” yang keluar tahun 2013, lengkap dengan video apik garapan X-Code film.
Mengiringi gerimis malam itu, jadwal pertama telah berangkat Ancaman Kota, berbekal beberapa judul; “Won’t You’re My Ring”, “66”, kemudian dilanjut dengan andalannya “Spongebob”, lalu “Mamayukero”, dan “Its Now Or Never”. Jam berikutnya menyusul El Milky Racer seiring tamu bertambah, mereka mencoba merangkai malam dengan sepaket judul, satu persatu terdengar, dari “20 Fligth Rock“, “Black Slacks”, “Happy Birthday”, hingga “Train Kept a Rollin”. Semakin lanjut, malam digiring dengan kolaborasi Kiki bersama Congyangbilly, bertambah meriahlah seolah duduk jadi tak sudi, atau sekedar memenuhi kebutuhan macam ‘goyang’, disinilah hajatan nomor lokal lawasan; “Suara”, “Bersama-Bersuka Ria”, makin menjadi saat “Hujan Gerimis” kepunyaan Benyamin Sueb dibawakan, disabet duet dengan Dian-Gerap Gurita untuk lagu “In The Mood For Love”, kemudian dilunaskan dengan “Nonton Bioskop”. Semakin terasa gaduh dan keras ketika jadwal tabuhan Eko Ompong, pemberontakan dimulai lewat lagu paling anget, yaitu “Tragedi Air Asia”, lanjut “Mc Jagger, “Party Doll”, dan paling menggelitik judul “Syeh Puji”, kemudian “Den Bei”, lalu “Anak Jaman”. Penampil terakhir tak lain adalah Kiki n The Klan, tantangan untuk mereka agar suasana tetap dalam kendali meriah. Alhasil, seperti yang biasa terjadi, sulit untuk menolak joget dan teriak. Baik bersama di panggung, maupun di tempat duduk. Disinilah semua peserta turut berbagi usia di perayaan tahun ketiga Kiki and The Klan. Masih jadi andalan; “That All Rite Mama”, “Serdadu”, dan “Hound Dog”, menyusul “Jambalaya”, dan “Rit it up”. Panggung dipotong seketika tepat di jam 12. (WARN!NG/ Huhum Hambilly)