close

Wawancara Direktur JAFF Budi Irawanto

image_1

 

Lanjutan dari halaman sebelumnya -> JAFF: Satu Dekade Perayaan Sinema Luar Sirkuit Komersil

Budi Irawanto
Budi Irawanto

Jadi LSF menghambat perkembangan sinema Indonesia?

Iya, dalam beberapa hal. Padahal pernah di tahun 80-an ketika produksi film nasional tidak cukup tinggi, LSF melonggarkan aturan. Akhirnya banyak film esek-esek, tapi hasilnya penonton juga tidak tinggi. Jadi rumusan bahwa film dengan unsur seks dan kekerasan itu pasti ditonton orang banyak itu belum tentu. Kalau itu benar maka film kayak Laskar Pelangi itu nggak akan laku. Saya kembali lagi ke klasifikasi, walaupun ini juga tanpa kritik.

Kalau JAFF sendiri seperti apa menghadapi isu ini?

Kita pernah ditegur oleh LSF kok nggak semua film dikirim kesana. Dan ada kendala teknis juga, merepotkan sekali. Tapi LSF yang baru ini sepertinya bisa menerima bahwa film-film untuk festival diperlakukan secara khusus karena publiknya nggak seperti bioskop.

Salah satu bagian dari praktik apresiasi adalah kritik film. Apakah JAFF juga memfasilitasi ini?

Kalau kritik yang secara sistematis dengan pendekatan tertentu memang tidak dilakukan oleh JAFF. Kritik kan sebenarnya bukan hanya mencari kelemahan, tapi kritik juga bisa menemukan nilai terbaik dari sebuah karya. Dan itu yang kita ekspresikan dengan mengkompetisikan dan meng-highlight apa yang penting dari sebuah film di katalog. Dalam pengertian kritik yang lebih luas itu bisa dilihat sebagai cara kita mengkritik film. Festival melakukan fungsi apresiasi, dan ketika kita melakukan seleksi, dan kurasi itu bagian praktek kritik secara luas.

Anda beberapa kali diundang sebagai juri festival film internasional di beberapa negara. Bagaimana sinema Indonesia atau Asia jika dibandingkan di negara-negara yang lebih maju?

Sebenarnya secara umum kita di Asia tidak terlalu tertinggal. Cuma memang kadang ada problem kontinuitas karya, regenerasi filmmaker tidak secepat di Filiphina misalnya. Di sini regenerasi tentu juga terjadi, tapi yang aneh kebanyakan ngumpul di Jogja, di daerah lain kita jarang dengar. Dan memang di Asia Tenggara, perkembangan film independen sangat luar biasa. Sekarang kan isu teknis tidak jadi persoalan, isu itu selesai. Kemampuan untuk membangun karya dengan kekuatan naratif atau storytelling yang secara umum kita punya problem. Itu terbaca dengan kita tidak punya banyak penulis script. Di sini prestis masih ke sutradara.

Kalau tentang masalah yang dihadapi, seperti ruang alternatif atau penyensoran, apakah sama juga?

Yang jelas kalo kayak di Korea Selatan memang infrastruktur film sudah tertata. Saya sempat berkunjung ke Korean Film Archive. Mereka punya museum film. Sekolah film, baik dari pemerintah atau swasta juga banyak. Kita pendidikan film belum banyak, ruang alternatif jumlahnya belum banyak, isu kelembagaan juga ada. Macam-macam masalahnya, apalagi birokrasi perfilman rumit sekali. Satu lagi, budaya kritik tidak cukup berkembang. Sekarang ini media yang serius tentang ini cuma Cinemapoetica sama Jurnalfootage. Kita juga tidak punya majalah film yang cukup berbobot. Ada sih, tapi isinya gosip selebritis. Ini tidak menumbuhkan kultur apresiasi yang serius.

Beberapa waktu lalu LABLABALABA melakukan project reservasi film seluloid. JAFF sendiri akan memutar beberapa film menggunakan seluloid 35mm. Apakah ini bentuk perhatian JAFF terhadap medium film yang mulai dilupakan ini?

Revolusi digital mengubah betul konsep festival film. Itu sebenarnya sempat memusingkan banyak festival terutama dari segi teknis jadi agak rumit karena harus menyediakan proyektor khusus, cara penyimpanan khusus, traffic hati-hati. Tapi menarik untuk melihat kembali seluloid, kan ada generasi yang belum pernah melihat seluloid. Padahal film dengan medium seluloid selalu punya ciri khas, seperti luminasi dan green, ada pengalaman yang tidak biasa didapat saat nonton film digital. Kita ya pingin nostalgia, bertemu lagi dengan pengalaman menonton yang seperti itu.

Saya baru selesai membaca buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, nah apakah menurut Anda film juga bisa melakukan hal itu?

Ya selama ini gejala itu bisa kita lihat di negara-negara dengan represi sensor yang kuat. Kalau untuk saya pribadi justru film adalah medium yang paling menarik. Di Asia saya terarik film dari Iran dan China daratan. Itu negara yang represif dalam penyensoran, tapi sutradara selalu punya caranya sendiri untuk bersiasat dengan sensor. Banyak cara, misalnya bercerita secara metaforis. Di Iran misalnya dengan menggunakan anak-anak sebagai subjek dalam film, kalau di China mereka menggunakan sosok abnormal yang harus dimaklumi, sehingga lebih mudah memsukkan elemen kritik.

Dan film selalu punya kemampuan melakukan subversif karena justru kekuatan visualnya yang sangat luar biasa. Dan kemampuan mengaktifkan sejumlah indra manusia dan menyentuh dimensi kesadaran manusia. Pengelaman menonton film itu kan sebenarnya pengalaman setengah tidur dan terjaga. Kita menunda ketidakpercayaan sampai film selesai. Artinya menarik bahwa di Ketika Jurnalisme Sastra Dibungkam Sastra Harus Bicara secara implisit dikatakan ada kekuatan-kekuatan simbolis yang bisa dibangun di luar hal-hal yang bersifat faktual.

Jadi saya kira film fiksi itu sudah sejak lama punya kemampuan sperti itu, mereka lebih punya keleluasaan untuk bermain di simbolis, metaforis, alegori, dan bisa bicara banyak.

Dibanding tahun lalu, harga tiket JAFF naik secara signifikan. Apa pertimbangannya? Apakah ini artinya JAFF sudah punya enganged audience?

Sebenarnya awal konsepnya bukan tiket, tapi donasi. Dan itu pun ada kesepakatan dengan pembuat film dan melalui diskusi yang panjang. Sebenarnya isunya adalah kami ingin mengukur apakah orang yang datang ke JAFF serius dalam menonton. Itu bukan untuk sumber penghasilan JAFF, tapi tentang ada atau tidak orang yang apresiasi untuk film itu.

Budi Irawanto
Budi Irawanto

Film wajib tonton di JAFF 2015 menurut anda?

Memories of Stone (Iraq), Human (jepang), Dossier (china), Tharlo (China), Emotional Society On Stage (korea), Ach Aku Jatuh Cinta (Indonesia), Nay (Indonesia), a Copy Of My Mind (Indonesia)

warningmagz

The author warningmagz

Leave a Response

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.