Wawancara oleh Soni Triantoro & Tomi Wibisono
“Empat puluh menit ya nanti,” ujar Yourdan Herlambang, asisten sutradara dan tangan kanan Hanung Bramantyo. Tak terdengar baik, durasi wawancara kurang dari satu jam—sudah termasuk basa-basi busuk–tak akan memadai rasanya untuk menggali seorang Hanung.
Tapi bisa jadi tak ada kesempatan lain, sudah telanjur menunggu lama pula. Yourdan sebagai “orang dalam” kami untuk memberi akses ini juga sudah banyak urun bantu.
Kami mengiyakan.
“Jika wawancara kalian asyik, mungkin bisa lebih sih,” imbuhnya, ups memberi kami harapan dan tantangan.
Wawancara itu dilakukan di Studio Gamplong, sebuah studio alam seluas 2,5 hektar milik Hanung di desa wisata Gamplong. Disebut sebagai “mini Hollywood”-nya Indonesia, kawasan pengambilan gambar ini separuhnya tampak seperti abad 16 untuk set film Sultan Agung, sementara separuh lagi menyerupai abad 19-20 untuk set film Bumi Manusia. Dua-duanya adalah proyek berbujet mahal dan disutradarai Hanung sendiri.
Sudah biasa. Hanung adalah salah satu sutradara terbesar di Indonesia saat ini. Hampir semua film layar lebarnya–yang sudah menembus tiga puluh judul lebih–seharusnya pernah kamu tonton, atau setidaknya dengar judulnya. Mungkin tak ada sutradara lain di Indonesia yang filmnya disaksikan lebih banyak orang dari generasi kita. Namanya bisa bersaing dengan popularitas aktor dan aktris yang jadi langganan film-filmnya. Jika mencari gambaran seorang sutradara sukses, mungkin suami Zaskia Mecca ini adalah nama pertama yang terlintas.
Namun, menariknya, coba saja cek di mesin pencari. Kami tak menemukan satupun arsip wawancara panjang dengannya. Kata kunci “wawancara Hanung Bramantyo” dipadati oleh kontroversi dari pernyataan-pernyataannya dalam rangka publikasi film-filmnya.
Yang paling ramai adalah komentar “asal cantik doang” yang dilontarkan olehnya dalam sesi wawancara Benyamin Biang Kerok pada tahun 2017. Media berbondong-bondong mewartakan Hanung yang sempat melancarkan opini bahwasanya menjadi aktor lebih sulit dibanding aktris yang seakan cukup bermodal fisik. Pernyataan ini menuai hujatan maupun pembelaan dari kalangan para insan populer perfilman, mulai dari Tara Basro hingga Laudya Cynthia Bella.
Setahun kemudian, giliran tanggapannya terkait proses pengerjaan film Bumi Manusia yang dilabrak khalayak. Hanung dianggap meremehkan mahakarya Pramoedya Ananta Toer itu. Pertama, ia mengatakan Bumi Manusia sejatinya adalah kisah cinta. Kedua, Iqbaal Ramadhan tak perlu membaca novelnya untuk memerankan Minke dalam film itu.
Bisa jadi pengalaman-pengalaman pahitnya itu yang membuatnya membatasi jarak dengan wartawan. Yourdan juga sempat mengatakan bahwa baru saja ada wartawan yang kena ketus dari Hanung karena melancarkan pertanyaan-pertanyaan payah tanpa riset.
Tapi kami datang dengan damai, haha. Menawarkan ruang untuk menjernihkan gonjang-ganjing komentar polemis itu.
“Sebetulnya itu sudah saya jawab di Facebook saya. Iqbaal tak perlu membaca Bumi Manusia karena ia bahkan sudah pernah menulis resensi Bumi Manusia dalam bahasa Inggris di sekolahnya (United World Colleges, Amerika Serikat.). Makanya untuk apa dia membaca Bumi Manusia lagi? Justru yang harus dibaca oleh Iqbaal adalah apa yang dibaca oleh Minke. Saya saja dulu menulis resensi Bumi Manusia saat kuliah, dan memakai bahasa Indonesia. Artinya, intelektualitasnya sudah menjadi Minke. Tinggal saya mengisi otaknya Iqbaal dengan apa yang dibaca Minke, maka saya belikan buku Max Havelaar dan Babad Tanah Jawi,” terang Hanung. “Untuk pernyataan ‘Bumi Manusia adalah film cinta’, adalah benar kalau kita buang sisi geopolitiknya. Opening-nya Bumi Manusia adalah adegan Suurhorf yang menantang Minke untuk mendekati Annelies. Kalau kita melepas geopolitiknya, Bumi Manusia adalah love story”.
Lalu apakah Hanung memutuskan untuk mencopot elemen geopolitik itu? “Tidak, karena kita ingin membuat film yang sesuai dengan novelnya. Kenapa kita harus membuat film Bumi Manusia kalau kita akan melepaskan itu? Orang-orang juga pasti akan keberatan, karena apa yang menarik dari Bumi Manusia sebetulnya adalah geopolitiknya”.
Ia melanjutkan, “Makanya kemarin ketika ada kutipan dari CNN dan segala macamnya, saya hanya berpikir bahwa berarti para wartawan itu ternyata tidak membaca Bumi Manusia. Wartawan yang membaca Bumi Manusia tidak akan mengutipnya. Saya memang bicara seperti itu, tapi konteksnya harus disertakan juga”.
“Masalahnya kembali ke kualitas wartawan,” tukasnya mengakhiri.
Di luar persoalan kutipan itu, pada dasarnya memang banyak pihak yang menyayangkan film adaptasi itu jatuh ke tangan Hanung. Novel Bumi Manusia dianggap terlalu berat dan intelek untuk gaya pengaryaan Hanung yang cenderung ringan dan amat berorientasi populer.
Kita bisa berdebat soal ini, dalam perspektif tertentu justru kombinasi Hanung – Iqbaal – Falcon Pictures rasanya adalah yang paling mustajab membawa kisah Bumi Manusia menjadi inklusif, mengundang khalayak seluas-luasnya. Dalam misi ini, Hanung adalah sosok yang tepat. Masalah apakah nilai-nilai dalam kisahnya akan terdangkalkan atau tidak, bagaimanapun tidak akan memengaruhi kualitas novelnya.
Namun, di sisi lain, kami memang menemukan sosok Hanung dengan potret komersial itu. Lain dengan pengalaman “ngobrol” bersama Garin Nugroho, Joko Anwar, apalagi Ismael Basbeth misalnya, Hanung menunjukan pola pikir industri yang menderas. Ia banyak menjawab dengan angka, perhitungan komersial, dan tuntunan menghadirkan penonton sebanyak-banyaknya, bahkan untuk pertanyaan yang awalnya tidak kami arahkan ke sana. Sempat di luar ekspektasi, kemampuan kami untuk beradaptasi diuji. Segala pertanyaan yang sudah disusun pun dalam hitungan detik segera kami ganti dan disesuaikan di kepala. Dari sana jawaban-jawaban lugas dan realistis soal industri perfilman itu bermunculan.
Karena sekali lagi, ia adalah sutradara di balik Jomblo, Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Tanda Tanya, Perahu Kertas, Kartini, dan seabreg lainnya. Apapun jawabannya, adalah jawaban yang penting.
Oiya, soal durasi 40 menit? Kami berhasil merebut dua jam, sebelum mengalah pada sebuah azan.

Apakah pernah terbayang sebelumnya bahwa Anda sampai di titik begitu terbiasa membuat film yang ditonton oleh ratusan ribu hingga jutaan orang?
Sebetulnya itu adalah proses. Ketika ingin membuat film, saya selalu berpikir apakah penonton bisa menangkap maksud saya atau merasakan apa yang saya rasakan. Saya pun menganggap penonton yang menonton film saya bukan hanya penonton yang suka dengan film. Saya juga mengakomodasi mereka. Kadang-kadang itulah yang membuat film saya—di beberapa sisi—dianggap terlalu sinetron, beda dengan film-film di festival dan segala macamnya. Saya harus tahu diri. Film saya ditujukan untuk universe yang seperti apa. Dan itu pekerjaan paling berat sebenarnya.
Mengarahkan pemain atau memilih kamera adalah pekerjaan yang sangat mudah. Jika saya dibebaskan dari tuntutan-tuntutan membuat film untuk penonton, pasti saya akan leluasa melakukannya. Tapi saya tidak boleh egois, karena film membutuhkan modal yang sangat besar. Maka ketika tutup mata terhadap siapa yang akan menonton film saya, saya bisa sangat egois, misalnya jika saya menggunakan uang pribadi. Itu pun saya juga tetap akan berpikir bagaimana supaya uangnya balik lagi. Intinya, ketika saya membuat film, saya harus menentukan penontonnya dulu.
Ketika misalnya saya membuat bakso, saya harus tahu membuat bakso untuk siapa. Tingkat kebumbuannya berbeda-beda. Orang Jawa lebih suka manis, sementara orang Sunda lebih suka asin. Atau misal saya membuat bakso untuk teman-teman bule, rasa asin akan saya buang semua. Saya akan lebih membuatnya menjadi hambar. Menakar siapa penontonnya sebenarnya hal yang paling penting. Misalnya saya mendapat ide untuk membuat film yang membuat orang takut, pertanyaannya kemudian adalah bentuknya seperti apa supaya orang takut? Siapa orang yang akan kamu bikin takut? Cara membuat takut orang bule beda dengan orang Indonesia. Orang Indonesia saja bermacam-macam. Ada yang mistiknya kuat, sehingga tidak bisa dikasih sesuatu yang sifatnya biasa saja. Itulah kenapa riset pasar menjadi sangat penting untuk saya.
Dari seluruh penonton yang menonton, mereka punya kecenderungan menonton yang seperti apa. Suka melihat hal yang penuh warna atau satu warna saja? Itu juga harus diriset sebelum saya membuat sebuah film yang menakutkan atau membuat orang berbunga-bunga karena cinta atau sedih.
Apakah karakter penonton film di Indonesia memang sedemikian berbeda dari penonton luar?
Setiap karakter penonton itu berbeda. Karakter penonton Asia berbeda dengan karakter penonton di Eropa, Rusia, dan Amerika. Kita tidak bisa membuat film untuk ditonton semua orang. Ada film di Amerika yang tidak laku di sana, tapi laku di luar Amerika. Begitu juga sebaliknya. Apakah itu salah penontonnya? Tidak. Itulah karakter penontonnya. Film seperti hidangan. Tidak bisa semua orang harus makan masakan Padang. Kenapa masakan Padang seperti R.M Sederhana ada di Jakarta, Bandung, dan sebagainya tapi tidak ada di Padang? Karena bagi orang Padang, masakan Padang tidak seperti itu. Lain halnya dengan gudeg yang cuma ada di Jogja. Untuk mereka yang bukan orang Jogja, gudeg bukan sesuatu yang familiar. Kecuali gudeg mau mengubah dirinya. Penyesuaian lidah itu penting. Pizza Hut lebih populer dibanding pizza lain karena bumbu Pizza Hut sesuai dengan lidah orang Indonesia. Selama penonton berwujud manusia, ia punya karakteristik yang sesuai dengan tingkat antropologi dan geopolitik yang ada di sekitarnya.
Apakah Anda pernah mengalami dilema dalam berkarya karena khawatir penonton indonesia tidak bisa menerimanya?
Ketika saya bertemu dengan produser, saya akan bertanya, “lu mau yang nonton siapa?”. Dan produser harus bisa menjawab, apakah penonton kelas menengah ke atas, kelas menengah, atau kelas menengah ke bawah? Ketika saya diminta membuat film Bumi Manusia, pertanyaan yang paling dasar adalah, ”mau bikin film ini untuk siapa?”. Harus jelas.
Kalau tidak ada kejelasan itu, kita membuat film tanpa arahan. Semua akan repot. Desain produksinya harus jelas, menyangkut soal film ini ditujukan kepada siapa. Sehingga nanti ketika filmnya keluar, tujuan utamanya adalah market itu tadi. Ini yang sering meleset. Jika membuat film untuk anak, kita harus tahu betul kesukaan anak. Kita tak bisa memaksa anak menyukai apa yang disukai orang dewasa.
Siapa target film Bumi Manusia?
Pertama, pembaca novel. Ketika pembaca novel bilang filmnya bagus, mereka akan menggaet orang yang tidak membaca novel. Makanya kita ingin filmnya sesuai dengan novel aslinya, karena target utama kita adalah pembaca novel. Kedua, orang yang bukan pembaca novel tetapi penggemarnya Iqbal. Supaya ketika fans Iqbal yang tidak membaca novel menyukai film ini, mereka akan mencari novelnya. Nah, 50 persen pembaca novel pasti akan kecewa dengan filmnya. Sudah pasti. Sementara 50 persen lainnya akan so-so, bilang “Bagus sih, tapi beda ya”. Tidak mungkin mereka akan mantap bilang, “Bagus!”
Apakah angka perhitungan itu untuk semua buku yang difilmkan?
Semua. Pasti. Pembaca novel akan bilang tidak suka. Tapi mereka sudah menonton, jadi tidak masalah. Ada juga pembaca novel yang tidak menonton karena tidak suka atau tidak percaya. Tetapi setidaknya 50 persen pembaca novel akan menonton, dan setidaknya saya mendapatkan 15 persen di antaranya yang akan mengatakan bahwa film ini bagus—meskipun ada catatan-catatannya. Saya butuh 15 persen itu saja.
Selain itu, penggemar Iqbal yang tidak membaca novel harus dilihat sebagai potensi membuat film ini sukses di pasaran. Totalnya adalah 15 persen word of mouth dari pembaca novel plus 100 persen word of mouth dari penggemar Iqbal. Maka skema artistik untuk 15 persen ini harus sungguh saya pegang. Apa yang dibaca di novel harus kelihatan.
Sementara mereka yang tidak membaca novel pasti tidak punya bayangan. Bayangan mereka hanya sosok Iqbal di film Dilan. Tiba-tiba Iqbal pakai baju jawa di Bumi Manusia, maka gantengnya harus tetap sesuai. Kemarin dia ganteng banget saat di Dilan. Ia harus dapat impresi yang sama di Bumi Manusia meski mengenakan beskap. Sehingga saya harus benar-benar memlih tampilan Iqbal. Penonton tidak boleh ilfeel ketika menontonnya. Seperti orang-orang yang ingin menonton Titanic dengan Leonardo Di Caprio yang menjadi kelas menengah ke bawah. Leo menjadi orang miskin tapi tetap keren. Kate Winslet rambutnya juga ditata sedemikian rupa sampai cantik sekali. Itu semua desain produksi. Orang tidak menonton filmnya, melainkan menonton Leonardo dan Kate Winslet.
Apa upaya yang paling sulit untuk memuaskan 15 persen itu?
Membangun ini semua [menunjuk sekeliling] supaya sesuai dengan novelnya. Saya membangun (studio outdoor) ini sambil membayangkan rumah-rumah di novel Bumi Manusia adalah rumah kayu. Harus sesuai dengan novelnya. Dan saya mengadakan semacam kuesioner di Facebook dengan mengeluarkan storyboard. Lalu ada yang bereaksi, “kostumnya kok begini?” Saya mencatatnya. Reaksi-reaksi seperti itu harus kita tampung dan menjadi bahan pertimbangan meski tidak semua harus diikuti. Ini bedanya membuat film di era millenial dan pra-millenial, kita bisa langsung berinteraksi dengan calon penonton. Apalagi film semacam Bumi Manusia sangat ditunggu, karena dari novel yang sanagat dramatis. Bahkan, pembuatan novelnya saja bisa jadi film sendiri.
Karena calon penonton dan pembaca novelnya sudah punya harapan yang besar sekali, akhirnya mereka punya patokan, “Saya maunya film Bumi Manusia itu begini!”. Itu suatu hal yang mustahil, tapi kita harus berupaya sampai di titik yang saya katakan tadi. Saya butuh 15 persen saja dari mereka untuk suka, tapi saya butuh 100 persen bagi mereka yang tidak membaca novel. Mereka harus punya kesan bahwa ini film Indonesia yang berbeda. Makanya shot-shot yang masuk dalam trailer saja saya pilih betul.
Saya dengar film Bumi Manusia akan dibawakan dalam konteks masa kini—sebagaimana Benyamin Biang Kerok. Unsur apa yang paling mungkin diulik untuk menggeser konteks dalam film?
Peristiwanya. Misalnya, sekarang yang jadi kegelisahan anak muda itu adalah soal ras. Bagaimana ya kalau kita punya teman Cina? Kalau kita mau menembak cewek, pilihan ceweknya seperti apa sih? Peristiwa semacam itu yang kita dekatkan. Bumi Manusia kental tentang itu, tentang jadi pribumi, bahwa “jadi orang Indonesia itu keren nggak sih?” Sekarang ini yang lagi jadi problem. Sehingga ini berakibat pada pola pergaulan, termasuk pola mencari pacar. Sekarang muncul orang-orang bergamis dan berhijab. Itu menjadi orientasi, padahal dulu tidak pernah ada anak-anak ABG menyukai orang berjilbab—kecuali memang sekolah islam. Sekarang yang seperti ini muncul karena ada pergeseran. Konteks itu yang perlu didekatkan ke masa sekarang. Minke dan Nyai Ontosoroh harus berada di dalam interaksi yang seperti itu. Tepat memfilmkan Bumi Manusia di momen sekarang, entah siapapun sutradaranya. Karena Indonesia sedang membutuhkan definisi tentang “siapa Indonesia itu?” Pasca pemilu 2014, ke-Indonesiaan sangat dipertanyakan. Novel Bumi Manusia—ada tidaknya saya, Iqbal, atau Falcon—sebetulnya sangat tepat difilmkan di era sekarang.

Bagaimana Anda memosisikan sejarah dalam filmmaking?
Sebetulnya membuat film sejarah dengan non-sejarah sama-sama sulit karena sama-sama membutuhkan kepercayaan penonton. Mereka perlu yakin bahwa apa yang sedang kita ciptakan itu nyata. Jangankan membicarakan sejarah, penonton harus percaya bahwa tokoh yang mereka lihat sedang jatuh cinta. Artinya, aktingnya harus bagus dan meyakinkan, seakan sungguh menangis dan patah hati. Karena ada juga aktor yang sudah pakai baju bagus dan mobil mahal, tapi penonton tidak percaya bahwa dia orang kaya. Bahkan tidak percaya jika itu benar-benar mobilnya. Berarti ini bukan soal sejarah atau non-sejarah. Tingkat kesulitannya sama.
Nah, tapi sejarah punya kompleksitas tersendiri karena Indonesia sangat kejam terhadap bangunan-bangunan bersejarah. Masalahnya di situ. Di desa ini misalnya, rumah tua pasti dicat pink. Tegel kunci diganti tegel putih porselin. Mereka sangat kejam pada sejarah. Menganggap sejarah sebagai sesuatu yang harus dibuang dan diganti. Beda dengan kesadaran sejarah di Eropa. Di Amsterdam, bagian depan bangunan-bangunan tahun 1800-1900-an masih tetap sama, hanya dalamnya yang beda. Kesadaran akan sejarah dan artistik sangat terbina sehingga mudah sekali ketika mereka membuat film sejarah. Tinggal poles sedikit. Di sini tidak bisa sehingga biayanya harus mahal, sementara penonton cuma segitu. Tidak semua film bisa mendapat 6 juta penonton. Membuat film biasa saja penontonnya belum tentu jutaan, apalagi ketika harus membuat film sejarah dengan keharusan membangun set dan macam-macam. Itu kenapa saya membuat kawasan ini, agar mereka yang mau membuat film sejarah menjadi mudah. Saya punya spot dan kostum jika ada yang membutuhkan. Sehingga membuat film sejarah yang tadinya mahal bisa menjadi lebih murah.
Kerumitan berikutnya adalah seberapa besar kita bisa mendapatkan data-data tokoh sejarah ketika film sejarah yang kita garap sifatnya ketokohan. Kalau tokohnya seorang penulis diary, seperti Bung Karno dan Bung Hatta, mudah sekali dilacak. Tapi beda lagi untuk tokoh-tokoh yang tidak pernah menulis, seperti Ahmad Dahlan. Tidak ada yang tahu beliau kalau galau seperti apa. Akses data bergantung pada bagaimana tokoh itu melakukan deskripsi pada dirinya sendiri. Selain itu bergantung juga pada bagaimana lingkungannya memberikan deskripsi pada tokoh itu.
Pada saat saya membuat film Sang Pencerah, murid Ahmad Dahlan menulis sebuah buku tentang dirinya. Apakah data itu akurat atau tidak? Tergantung cara kita memverifikasi. Selama tidak ada pembanding data yang lain, data itu bisa saya gunakan sebagai data primer. Beda lagi dengan Bung Karno yang punya tiga buku: buku otobiografi, buku dari orang lain yang memujanya, dan buku dari orang yang mengkritiknya. Lengkap. Maka sangat memungkinkan untuk membuat film Bung Karno. Bahkan, bisa jadi beberapa versi. Persoalannya adalah tidak ada yang berani membuat film Bung Karno karena anaknya masih ada dan berkuasa. Masalahnya di situ. Misalnya anaknya bilang bahwa bapaknya tidak seperti tokoh yang kita gambarkan di film, selesai sudah. Masyarakat lebih percaya pada anaknya, padahal belum tentu anaknya benar. Memangnya kalau bapak saya selingkuh, ia akan cerita ke saya? Saya tidak bisa mengklaim bahwa saya paling tahu bapak saya. Tapi masalahnya kan masyarakat percaya saja.
Masyarakat kita kurang memahami jika sebuah interpretasi adalah sebuah apresiasi. Padahal sebenarnya film tentang keburukan seseorang akan membuat orang bisa berkaca agar tidak mengulangi kesalahannya. Apakah orang bisa menerima? Tidak. Selama ini pendidikan kita selalu diisi dengan kisah-kisah kemenangan. Diponegoro, proklamasi kemerdekaan, dan semua pahalawan kita diceritakan dengan kemenangan. Kita tak pernah diceritakan sesuatu yang sifatnya objektif dan manusiawi. Tidak pernah kita diajarkan bagaimana mempertanyakan sesuatu. Pendidikan kita tak pernah mengajarkan anak untuk bertanya “why?”. Ketika anak bertanya “why”, malah dihukum. Padahal pendidikan muncul dari sebuah pertanyaan. Pola pendidikan sejarah kita selalu dimulai dari sebuah penerimaan: Sukarno memerdekakan Indonesia karena Jepang adalah jahat, Belanda adalah Jahat, maka pejuang kita membuat mereka pergi lewat proklamasi kemerdekaannya. Jawabannya adalah “iya”, tapi tidak pernah dipertanyakan. Padahal ketika kita mempertanyakannya, maka akan muncul banyak jawaban yang sangat manusiawi. Tapi kadang-kadang sesuatu yang manusiawi itu tidak diperbolehkan di masyarakat kita. Itulah kenapa film-film sejarah kita garing. Film Penumpasan Pengkhianat G30S PKI dianggap sebagai sebuah film sejarah yang bagus karena isinya sesuai dengan apa yang diajarkan guru sejarah kita. Hitam putih. Apakah pola penceritaan film sejarah kita mau selalu seperti itu?
Apakah pola penceritaan itu masih dipakai di film Indonesia secara umum?
Masih. Film yang mengajak orang untuk bertanya tidak laku. Contohnya film saya yang berjudul The Gift, yang mengajak orang berkontemplasi.
Sebagaimana film Kartini yang menunjukan sisi feminis? Apakah tidak laku juga?
Tidak laku, cuma 550 ribu penonton. Sebenanrya film Kartini banyak menunjukan pertanyaan. Shot-shot awalnya tidak menjelaskan eksposisi, tapi pertanyaan, “Apa pilihan saya? Kamu sudah siap dengan keputusanmu?” Bandingkan dengan Dilan, opening-nya adalah eksposisi: “Ini sebuah kota, ini sebuah tempat, ada sosok bernama Dilan. Siapa Dilan itu? Oh ini…” Sama dengan pola penceritaan guru sejarah kita. Tapi bagaimana misalnya saya membuat film Dilan dengan shot pertama sedang mengutak-atik motornya [mempraktikan], kemudian diselah, motornya jalan, dan tiba-tiba Dilan bergabung dengan gengnya, lalu ia bicara, “Namaku Dilan, aku adalah anggota geng motor…”. Tidak mungkin dapat 6 juta penonton.
Film-film saya yang laris selalu punya tema seperti itu. Opening Ayat-Ayat Cinta misalnya adalah situasi Al-Azhar dengan musik yang memberikan penggambaran dan eksposisi. Lain dengan The Gift yang–sekalipun di Jogja–musiknya kontemplatif dan sepi, tidak kemudian pakai gamelan.
Lewat Ayat- Ayat Cinta dan Perempuan Berkalung Sorban, Anda mengawali tren film islami. Melihat dinamika masyarakat kita, apa yang berbeda jika kita membuat film-film semacam itu sekarang?
Situasi religius adalah situasi yang dibutuhkan oleh semua manusia. Tinggal sekarang kebutuhannya seperti apa? Secara spesifik itu yang berubah. Dulu Ayat-Ayat Cinta muncul karena orang-orang sedang mempertanyakan hukumnya pacaran dan poligami. Agama Islam adalah agama mayoritas, kurang lebih ada 80 persen –semoga belum naik atau turun ya, tapi katanya banyak yang turun, ya syukur, yo ben, salahnya orang Islam sendiri kok. Value-value keseharian selalu dikaitkan dengan Islam. Mau orangnya tidak alim, tapi ketika ada vodka di sini–walau tidak ada yang teler–orang selalu bereaksi, “wuoh!”. Lain halnya ketika tidak di Indonesia, misalnya Jerman atau Rusia. Tidak akan ada yang bereaksi ketika ada botol vodka di sini. Kemusliman itu sudah masuk di alam bawah sadar mereka. Yang muncul lalu adalah pertanyaan-pertanyaan seperti “Kalau pacaran bagaimana ya? Apakah boleh pegangan?” Ini kemudian dijawab di Ayat-Ayat Cinta.
Yang kedua, saat itu Islam tidak muncul di permukaan, masih sembunyi. Islam yang menang dan islam yang keren cuma muncul di bulan Ramadan. Makanya Islam selalu dikaitkan ke aktivtas yang sifatnya personal dan terkotakan di dalam masjid. Akhirnya muncul pertanyaan kenapa islam selalu muncul di wilayah privat dan tak pernah unjuk gigi. Politik Orde Baru saat itu sedang hangat-hangatnya bicara bahwa Islam harus ditaruh di belakang. Maka simbol-simbol haram hilang, Muhammadiyah dan NU harus bersimbol Nusantara. Misalnya, peci putih tidak diperbolehkan. Makanya islam sangat digerus, dan menimbulkan pertanyaan, “bolehkah Islam?” Ayat-Ayat Cinta menjawabnya. Di film itu, Islam selalu menang meski awalnya menderita. Ketika melihat Fahri dipenjara, penonton merasa “itu gue banget!”. Ketika dia menang, penonton merasa teraduk-aduk sekali. Mereka punya kehausan itu.
Nah, sekarang kita tidak bisa membuat Ayat-Ayat Cinta yang begitu lagi karena Islam sudah keluar. Bahkan, Islam sudah berani bicara bahwa pemimpin kafir tak boleh dicoblos. Kalau kita bikin film yang mengglorifikasi Islam lagi, seperti kita minum kopi manis yang masih ditambah gula. Pertanyaannya adalah sekarang kita mestinya bikin film religi yang seperti apa? Kita harus menjawab itu. Tapi sangat dilematis, kalau kita mempertanyakan itu, nanti dianggap anti-Islam. Malah sekarang adalah momennya bikin film Kristen. Karena itu Cek Toko Sebelah muncul, membicarakan Cina tapi tidak Cina. Ernest Prakasa muncul sebagai sebuah bagian dari perlawanan kaum minoritas.
Berarti Anda sepakat bahwa Ayat-Ayat Cinta telah memengaruhi anak muda di era itu untuk lebih mengekspresikan keislamannya?
Sepakat. Ayat-Ayat Cinta menjadi simbol perlawanan, membuat orang-orang yang tadinya takut membicarakan Islam jadi bermunculan. Makanya saat itu Ayat-Ayat Cinta disambut baik, sampai kemudian sinetron dan produk-produk berani bicara Islam. Yang tadinya tidak pakai jilbab menjadi pakai jilbab, “ah ternyata cantik ya?” Cadar juga berasal dari situ. Kini, saya sebetulnya berharap film Bumi Manusia menjadi film yang menjawab persoalan kebangsaan kita.
Apakah ada unsur Islam di Bumi Manusia nanti?
Ada unsur Islam, tapi dalam sisi human, bukan simbol. Sudah cukup kita membicarakan simbol karena Islam simbolnya sudah di mana-mana sekarang. Kalau kita meletakkan lagi simbol Islam pada filmnya, malah jadi merusak semuanya.
Jika seniman panggung bisa mengalami “demam panggung” ketika ditonton banyak orang, apakah Anda pernah merasa gugup justru ketika film Anda mendapatkan banyak penonton?
Saya mengalami demam panggung justru malah saat sebelum pembuatan filmnya. Saya pernah mengalami demam panggung ketika saya tahu besarnya potensi Ayat-Ayat Cinta. Apalagi saat saya tahu bahwa kami tak boleh melakukan syuting di Mesir. Saya langsung pesimis dengan filmnya.
Saat ini saya juga sedang demam panggung untuk Bumi Manusia. Karena untuk mewujudkan film ini pasti biayanya banyak sekali. Maka dari itu Falcon adalah pihak yang tepat, karena tiga film mereka sebelumnya berturut-turut mendapatkan lebih dari tiga juta penonton. Salah besar jika ada yang bilang Falcon tidak cocok menggarap Bumi Manusia. Justru ketika sudah punya uang banyak, saatnya ia berkarya. Film ini pasti butuh 20 sampai 40 miliar (film Sultan Agung hanya 15 miliar). Orang tak akan mau mengeluarkan uang lebih dari 20 miliar jika tak punya tabungan 200 miliar. Ia harus punya tabungan minimal seangka itu. Falcon sudah memproduksi film Warkop DKI Reborn yang penghasilan kasarnya sebut saja 60 miliar dari 6 jutaan penonton. Sekuelnya meraup 40 miliar dari 4 juta penonton. Lalu My Stupid Boss dengan 3,5 juta penonton menghasilkan 35 milyar, ditambah Teman Tapi Menikah dan Dilan sehingga total paling sedikit Falcon mengantongi 200-300 milyar. Jika nanti saya menghabiskan 40 miliar untuk Bumi Manusia dan ternyata rugi, mereka masih punya banyak tabungan dan setidaknya saya punya karya. Memang harus Falcon yang membuatnya. Banyak orang minta Miles Film yang membuatnya, padahal mereka kemarin cuma dapat penonton 3,5 juta penonton dari AADC? 2. Sudah. Itu saja masih dibagi dua dengan Kompas. Cuma sedikit yang masuk ke kantungnya Miles. Bangkrut langsung kalau mereka bikin Bumi Manusia. Bisa jadi malah tak cuma Iqbal yang main, tokoh Anneliesnya bakal pakai Vanesha Prescilla juga, supaya bisa dapat 6 juta penonton.
Saya memang berhitung. Masih mending kalau Bumi Manusia nanti penontonnya jutaan, bagaimana kalau cuma 60 ribu? Ya memang wajar jika Falcon yang dianggap sebagai production house untuk film-film ringan dan tiba-tiba bikin film sejarah menjadi dipertanyakan. Itu adalah pekerjaan saya sebagai sutradara untuk memberi tahu ke Falcon bahwa “lu lagi bikin film penting nih! Nggak bisa macam-macam seperti sebelumnya”.
Saya grogi di awal karena takut produsernya panik karena harus mengeluarkan uang sebanyak itu, sehingga nanti film ini harus dibuat menjadi modern sekali, dan geopolitiknya dihilangkan. Itu yang saya khawatirkan. Nanti kalau sudah rilis, saya baru bisa tenang, dan tinggal merespons mereka yang pro dan kontra.

