Oleh Soni Triantoro
Terik sudah menjilat langit sore, 22 Desember 1984. Empat sekawan kulit hitam memalak seorang pria kulit putih bernama Bernhard Goetz di sebuah kereta bawah tanah di Manhattan, New York. Bingo, ternyata Goetz sudah berjaga-jaga. Ia membawa sebuah pistol. Satu tembakan dilepaskan. Empat remaja yang tidak membawa senjata sepadan itu pun terbirit-birit.
Hukum kadang seperti wanita, sulit dimengerti. Goetz justru menyerahkan diri pada polisi sembilan hari kemudian dan didakwa atas upaya pembunuhan. Untungnya, juri pengadilan akhirnya memutuskan ia tak bersalah selain terjegal satu pelanggaran karena membawa senjata api tanpa izin.
Oh, dia punya alasan. Tiga tahun sebelumnya, Goetz pernah dirampok, lagi-lagi di stasiun kereta bawah tanah, saat sedang membawa peralatan elektronik oleh tiga remaja. Salah satu pelaku membanting Goetz ke sebuah pintu kaca lalu menghempaskannya ke tanah, mencederai dada dan lututnya. Seorang penjaga keamanan berhasil menahan salah satu di antara mereka, sisanya kabur. Namun Goetz geram melihat satu pelaku itu hanya menghabiskan separuh dari total waktu yang dihabiskan Goetz sendiri di kantor polisi. Ia mudah saja bebas lantaran hanya terkena sangsi kejahatan merobek jaket Goetz. Sejak itu Goetz berusaha berulang kali meminta izin membawa senjata api ke kepolisian atas dasar rutinitasnya membawa barang-barang bernilai dan sejumlah besar uang. Namun, permohonan itu tak pernah diloloskan. Goetz lalu nekat membeli sebuah revoler kaliber-38 saat berjalan-jalan ke Florida.
Terbukti, akhirnya terpakai juga.
Respons atas pemberitaan kasus satu lawan empat itu kemudian terbelah menjadi perdebatan. Sebagian percaya versi Goetz, bahwa secara agresif ia menjadi korban premanisme dari remaja-remaja itu. Sebagian lain percaya akan versi keempat pelaku, bahwa mereka hanya sebatas mengemis minta uang untuk main video games. Golongan ketiga percaya Goetz memang berada di bawah ancaman, namun menilai bila menembak adalah reaksi berlebihan yang tak bisa dibenarkan.
Di luar itu, perdebatan ini sampai juga pada persoalan ras, batasan legal membela diri, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap polisi untuk melindungi warganya. Goetz dijuluki “Subway Vigilante” oleh pers dan menjadi simbol frustasi masyarakat New York atas tingginya angka kriminalitas di 1980-an. Ia dipuji sekaligus dirundung di media dan opini publik. Para pendukungnya melihat Goetz adalah pahlawan yang sukses membela diri ketika aparat makin tak berdaya memberantas kejahatan. Banyak orang yang menelpon kepolisian dan mengatakan bahwa Goetz adalah pahlawan mereka.
Insiden ini dikenal berkontribusi terhadap pergerakan melawan kriminalitas urban dan kesuksesan kampanye National Rifle Association untuk melonggarkan larangan membawa senjata api. Standar hukum New York juga mulai memperhatikan justifikasi aksi pembelaan diri dengan alasan-alasan tertentu. Setelah mencapai puncaknya pada 1990, angka kriminalitas di New York turun dramatis di 1990-an. Pada 2006, New York menjadi salah satu kota teraman di Amerika Serikat dengan ranking kriminalitas 194 dari 210 kota di Amerika. Goetz tetap menjadi simbol kemuakan warga terhadap kejahatan.
Membela diri dan melakukan tindak kriminal menjadi abu-abu. Humanisme menjadi simpang selisih. Begitulah adegan ganas ketika Arthur (Joaquin Phoenix) membunuh kawanan kelas menengah yang hendak merundungnya di bawah kerlap-kerlip lampu kereta bawah tanah dalam film Joker. Ini hanya salah satu kekacauan di dalamnya.
Bila sebelumnya karakter Joker di sinema dikonstruksi dalam potret psikopat (Jack Nicholson), anarkis (Heath Ledger), gangster (Jared Leto), maka Joaquin kebagian penderita penyakit mental. Tugas Joaquin hampir sepanjang film adalah membuat kita teriris-iris dengan derita yang dialami Arthur. Entah saat ia menangis sambil tertawa, atau hal-hal kecil yang punya unsur kejut seperti adegan menabrak pintu kaca. Musik dan pengambilan gambarnya total mendukung pengalaman sinematik yang disusun seperti itu.
Kita merasa iba sekaligus deg-degan dengan apa yang kemudian akan diperbuat Arthur. Perasaan ini adalah respons paling umum ketika kita menghadapi orang-orang yang punya gejala sakit mental. Relasi sosial dibentuk dari norma-norma yang sudah bisa kita prediksi. Kepercayaan itu yang menjadi pelekat masyarakat, hingga seseorang merasa aman hidup di tengah banyak orang. Adanya sosok-sosok yang berpotensi bertindak di luar norma menjadi ketidakpastian yang menakutkan. Itu kenapa “The worst part of having a mental illness is people expect you to behave as if you don’t” tertulis di buku Arthur.
Joker merupakan film pertama dengan rating R yang berhasll meraup pendapatan 1 milyar dolar AS. Rating itu bukan cuma imbas adegan-adegan darahnya saja, melainkan sebagaimana tokoh Arthur, film ini mengandung ketidakpastian dalam konstruksi perspektif moralitasnya. Para orangtua khawatir membiarkan anaknya menonton film ini, karena seperti membiarkan anak mereka les privat dengan tutor yang belum tentu bilang “iya” jika anaknya bertanya, “apakah menginjak leher teman yang tidak mau diconteki saat ujian itu berdosa?”
Seorang kawan yang akrab dengan obat depresan sempat mengatakan bahwa gambaran pengalaman penderita gangguan mental di film ini belum ada apa-apanya dibanding kenyataannya. Ya bisa jadi kita nggak kuat juga nontonnya kalau lebih dari ini. Setidaknya kita bisa meraba-raba kebutuhannya secara sosial.
Apa yang dibutuhkan oleh Arthur adalah sistem layanan kesehatan yang memungkinkannya mendapat layanan konseling dan medis yang menyelamatkannya dari pikiran negatif terus menerus dan picu kekerasan. Ia butuh program publik yang hangat, memungkinkannya menampilkan komedi tunggal atau menjadi badut tanpa harus menjadi bahan tertawaan televisi nasional dan direndahkan anak-anak jalanan. Tentu saja ia pun butuh pendapatan yang cukup untuk menghidupi ibunya.
Arthur mengungkapkan banyak masalahnya, namun tak ada yang meresponsnya secara mansuiawi. Lingkungannya disfungsional untuknya. Ia hanya bisa bergantung pada senjata api.
Oiya, saya tidak mau terlalu dalam menyinggung problematika mentalnya, kurang bisa berempati kepada mereka soalnya. Harus diakui.
Tak perlu juga membahas penampilan Joaquin. Toh sudah dapat Oscar.
Saya lebih tertarik pada kontroversi merek Joker sebagai film politis. Perang melawan borjuis, kemuakan terhadap sistem, problematika sosial, perjuangan kolektif, menampilkan Joker sebagai produk sinema yang kental dengan muatan politik.
Namun, ada tiga golongan berbeda melihat film ini. Pengidap konservativisme cemas bahwa film ini akan mengundang penonton menjadi pelaku kekerasan dan melegitimasi remaja-remaja yang suka ngebacok orang di jalan Kaliurang. Penganut liberal melihatnya rasis (kadang cuma karena bagian bocah-bocah remaja yang menganggu Arthur di bagian awal adalah kulit hitam). Sementara kaum kiri, apalagi yang suka rusuh, merayakannya karena percaya butuh vandalisme untuk menciptakan perubahan.
Argumen kritik yang cukup banyak dialamatkan ke film ini adalah pseudo politik. Gabrielle Bruney dari Esquire bahkan menyebut film ini “tidak menyampaikan apa-apa”. Arthur melakukan kekerasan tanpa misi atau motif yang jelas, dan ia memang tidak punya komitmen politik apapun. Nihilis yang merusak. Keberpihakan di film ini terlalu acak.
Joker dianggap melihat massa sebagai kelompok-kelompok tanpa arahan, alih-alih bentuk pemberontakan revolusioner. Seperti kata Lenin—dan Tan Malaka dalam bahasa lain di Aksi Massa–“pemberontakan spontan lebih seperti ledakan keputusasaan dan balas dendam dibanding perjuangan.” Bukan berarti kerusuhan tak punya nilai revolusioner. Kekerasan dan kerusuhan dibutuhkan jika memang ada permintaan yang jelas, seperti pemerataan kesejahteraan, keadilan kelas, atau mengakhiri rasisme. Bagi Marx maupun Tan Malaka, kekerasan tak teorganisir hanya kekerasan itu sendiri.
Tentu saja, semuanya politis. Louis Althusser selaku filsuf Marxist-Leninist mengatakan ”an ideology always exists in an apparatus, and its practice, or practices. This existence is material.’ Namun, banyak media yang membaca ideologi Joker sebatas “bunuh orang kaya”.
Dunia sudah kibang-kibut. Meninggalkan kerapuhan untuk dihuni masyarakat seluruhnya. Bisa dikategorikan sebagai film sosial horor, Joker menggambarkan mimpi buruk kapitalisme. Sebuah film yang mengekspresikan gairah distopia yang kesumat.
Distopia, itu kata kuncinya. Bukan sesuatu yang terdengar cerdas sebagai topik politik. Namun, bagaimana jika itu ternyata relevan bagi masyarakat hari ini?
Saatnya saya ambil contoh ekstrem, “Peradaban” dari Feast. itu menurut saya bukan lagu yang cerdas. Tapi ia relevan. Dan ini adalah lagu yang saya bayangkan tepat melatari adegan ketika Arthur dengan rupa Joker terhuyung berdiri di atas mobil polisi yang terjungkal, dikelilingi puing-puing kota dan suka cita para pengikutnya.
Kita akan bicara tentang sebuah band yang di balik lesatan popularitasnya, diserbu gunjingan-gunjingan yang menganggap mereka semata band sok politis. Mereka dituding hanya galak di lagu, namun tak pernah turba (turun ke bawah).
Beberapa orang memaafkan, termasuk saya. Kita bisa bahas lain kali.
Beberapa lainnya tidak keluar dari amatan karya, mengkritisi penulisan lirik-lirik buatan Baskara Putra. Saya sepakat untuk yang ini.
Menyimak lirik Feast. sama seperti membaca lagi draf larik-larik puisi yang pernah saya ciptakan di masa awal kuliah. Alih-alih menyihir ilham pikir atau rasa yang solid dengan perumpamaan yang jitu, lirik-lirik Feast. hanya sebentuk barisan adukan diksi-diksi seputar slogan politik, kerusakan, kekacauan, rampas, perang, kebencian, “takkan pernah mati”, “berdiri lagi”, tanah air, umat, pemimpin, bendera, dan peradaban. Semuanya ada, kecuali pokok gagasan.
Saya pernah naksir dengan lagu “Peradaban”. Saya memperkirakan lagu itu menyiratkan cara pandang Karl Marx tentang hukum dialektika. Bahwa zaman dan sejarah yang terus bergerak dengan kontradiksi-kontradiksinya selalu melahirkan revolusi-revolusi yang mengubah peradaban, mulai dari komunisme primitif, era perbudakan, feodalisme, dan sekarang kapitalisme.
“Karena peradaban takkan pernah mati / Walau diledakkan, diancam ‘tuk diobati / Karena peradaban berputar abadi / Kebal luka bakar, tusuk, atau caci maki’
Nah, masyuk nggak sih, cuy? Nyambung, kan?
Namun, setelah melihat-lihat potongan-potongan lirik di bagian lain, juga berkali-kali dengar lagu-lagu lainnya, saya mulai ragu. Secara umum, lirik-lirik Feast. hanya mencuil lapisan makna paling muka dari problem-problem sosial. Tak ada kedalaman atau kebaruan perspektif. Intinya, di dunia ini ada yang namanya intoleransi beragama, penggusuran, aktivis yang hilang, dan kadang-kadang semuanya campur baur dalam satu lagu, hingga satu-satunya kesimpulan yang terdengar hanya bahwa ada yang salah dengan dunia ini.
Singkatnya, lirik-lirik Feast. adalah kolase kosakata politik yang saling dibenturkan demi mendapatkan nuansa, bukan substansi.
Namun, sebelum digoda untuk mengungkapkannya di Twitter, saya dihantui pertanyaan menarik. Selain buah dari jagonya pemasaran, kenapa lirik-lirik seperti ini bisa diterima?
Saya mulai dengan asumsi mentah, jangan-jangan memang dunia sedang seperti itu. Setidaknya di mata generasi muda hari ini–dengan kata lain adalah pendengar Feast. yang suka marah-marah itu.
Lirik-lirik emansipasi yang diminati generasi hari ini mungkin memang bukan milik Sisir Tanah yang puitis dan damai, Homicide yang galak dan intelek, atau Efek Rumah Kaca yang dewasa dan ramah, melainkan ya seperti “Peradaban”, larik-larik yang menyampaikan nuansa kekacauan, distopia, absurditas, dan ketidakpastian.
Pendengar mereka tumbuh dengan aliran informasi meluber di sana-sini. Tantangan sosial dan politik yang dihadapi Gen Z berlimpah ruah. Berita buruk bertebaran. Korupsi, terorisme, berita bohong, pelecehan seksual, wabah penyakit, pesawat jatuh, rupiah yang lesu, sampai krisis iklim. Zaman ini mungkin bukan yang terburuk, namun aliran informasi yang menerpa mereka membuat dunia terasa seperti memburuk tiap detiknya. Anak muda hari ini tak bisa terlepas dari urusan politik. Sukar untuk berada di media sosial dan tidak menjadi aktif politik. Sebagai pribumi digital (digital natives), masalah-masalah itu mengikuti mereka dari rumah ke sekolah, dari matahari terbit hingga terbenam. Beberapa orang memilih menghapus aplikasi media sosialnya untuk memulihkan diri.

Generasi Z lahir di era naiknya tren karya-karya bertemakan distopia, seperti The Hunger Games, Divergent, dan film-film bencana. Di sisi lain, studi yang dipublikasikan PLOS ONE menunjukan hampir 40 persen responden mereka merasa stres gara-gara politik. Sekitar 20 persen bahkan terdampak ke kondisi fisik, seperti sulit tidur, cepat merasa lelah, bahkan depresi. Mereka yang berusia muda dan punya afiliasi pandangan politik kiri cenderung lebih rentan terdampak (hmm, menarik ~). Survei dari American Psychological Association kian menegaskan lagi, dikatakan jika generasi millennial lebih mendapatkan efek negatif kondisi politik dari generasi sebelumnya.
Mereka tumbuh dengan Twitter dan Instagram, lahan dengan ribuan perdebatan yang tak pernah mencapai konklusi, melainkan berebut kebisingan. Hasrat menyalahkan yang saling sahut menyahut. Semua dalam hidup kita menjadi kontroversial. Internet memungkinkanmu memilih sendiri petualangan kebencianmu.
Dalam dua dekade belakangan saja, persentase orang Amerika yang secara konsisten memilih golongan liberal atau konservatif –dibanding moderat atau pencampuran keduanya, yang mana terbanyak—meningkat dari 10 persen menjadi 20 persen. Tingkat toleransi dan kepercayaan terhadap ideologi seberang menurun. Sejak 1994, jumlah orang Amerika yang melihat partai politik di kubu lain sebagai ancaman dibanding sebagai kelompok yang dibutuhkan untuk mengimbangi tatanan politik bangsa meningkat dua kali lipat.
Di Indonesia rasanya tak jauh berbeda. Oke, tak usah ngomongin keberpihakan partai. Twitwar bisa memanas hanya persoalan siapa yang lebih keren antara Hindia dan Sal Priadi. “Ini adalah generasi yang secara terus menerus sinis dan skeptis,” ujar Jonathan Philips, petinggi EY Americas. Mereka saling mencari label dan membentuk standar yang tak pernah terbentuk. Political correctness menjadi rebutan, meski sayangnya seringkali penegakkan political correctness yang dipaksakan turut membawa nalar-nalar ad hominem.
Sulit mencari kedalaman, empati, atau retrospeksi di linimasa. Semua hanya serba selintas. Saya berulang kali ngomong ini ketika mengisi seminar atau gelar wicara, “Twitter bisa membuatmu tahu, tapi tak akan membuatmu pintar”.
Tak usah jauh-jauh, distopia itu ada di dunia maya.
Jadi, bila Joker atau Feast. dianggap sebatas penyalur ekspresi politik yang dangkal atau entitas pseudo-politik, mungkin dunia memang sedang berjodoh dengan itu.
Salah satu sumber terbesar dari atmosfer frustasi ini adalah perasaan ketidakpastian. Apa yang kita punya tak bisa menjawab segala permasalahannya. Lagi-lagi, ketidakpastian ini yang menjadi representasi tokoh Joker sebagai protagonis. Penyakit mental yang dideritanya adalah gambaran normal yang kacau.
Seiring tayangnya film ini di layar perak, muncul gelombang orang-orang yang menyuarakan persepsi, “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”, merujuk pada karakter Joker. Adalah sistem yang menciptakan Joker, gara-gara masyarakat yang mengabaikan orang-orang sepertinya. “Mereka tak peduli dengan orang sepertimu, Arthur. Dan mereka tak peduli dengan orang sepertiku juga,” ujar Sophie Dumond (Zazie Beetz), gebetan Arthur yang ternyata adalah isi kepalanya sendiri.
Arthur tak punya motif yang jelas, dan tak punya garis finis yang dituju. Tak seperti Joker-Joker di film-film sebelumnya, Joker satu ini tak memanipulasi atau menggunakan orang lain untuk mencapai tujuannya. Bisa jadi karena ia sendiri pada dasarnya tak punya sesuatu yang ingin dicapai. Masyarakat yang membentuknya. Sudut pandang ini yang khas dari Joker kepunyaan Todd Phillips.
Tentu saja persepsi yang mengarah ke nihilisme itu rentan menjadi argumen legitimasi untuk penyimpangan moral. Namun, pada kebangkitan masyarakat barbarisme yang disimbolkan oleh Joker, kesusilaan bukan prioritas.
Todd Phillips mendeskripsikan Arthur sebagai, “Seseorang yang sedang mencari identitas yang kemudian keliru dijadikan sebuah simbol. Tujuan utamanya sebenarnya adalah membuat orang tertawa dan membawa kebahagiaan di dunia.” Joker tak punya program politik. Ia hanya ledakan negativitas. Dalam obrolannya dengan Murray, Arthur mengatakan bahwa aksinya tidak politis. Murray bertanya, “Kenapa riasan mukamu seperti itu? Maksudku, apakah kamu bagian dari gerakan protes itu?” Arthur menyahut,: “Bukan, aku tak percaya dengan gerakan itu. Aku tak percaya dengan apapun.”
Mental, moral, ataupun ideologi politik, semuanya rancu dan absurd di dalam tokoh Joker.
Joker, sebagaimana Feast., adalah ilustrasi bagi konsekuensi komplikasi penyakit-penyakit masyarakat di dunia. Kekacauan itu ada pada omnibus law, ada pada algoritma Facebook, ada pada harga rumah-rumah di Jogja, ada pada logika Fadli Zon, dan lain-lain.
Film semengganggu Joker harus ada, setidaknya sekian tahun sekali. Band seperti Feast. juga perlu ada, supaya lagu unjuk rasa nggak “Darah Juang” sama “Buruh Tani” melulu. Yang didemo juga bosan, kurang terhibur.
Best Lines:
The worst part of having a mental illness is people expect you to behave as if you don’t.
After Watch, I Listen: The Cure – Lullaby