Penulis : Jostein Gaardner
Penerbit : Mizan
Score : ●●●●
“Apa yang akan kamu pilih seandainya kamu punya kesempatan untuk memilih, Georg? Akankah kamu memilih hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi? Atau apakah kamu akan berkata tidak, terima kasih? Kamu hanya memiliki dua pilihan ini. Itulah aturannya. Dengan memilih hidup, kamu juga memilih mati”.
-Jan Olav, Gadis Jeruk.
Terpukau pada dunia adalah hal yang alami muncul sejak manusia lahir. Mungkin ini akan menjelaskan mengapa seorang anak terlihat sangat menikmati bermain dengan hujan. Bagaimana mereka terpukau oleh pelangi yang muncul setelahnya. Bagaimana mereka begitu girang mendengar bunyi katak yang seakan ikut bernyanyi selepas hujan. Segala hal menakjubkan yang seakan berhenti manusia nikmati ketika nantinya sang waktu memaksa seseorang menjadi sombong atas segala hal yang indah tentang hidup. Periode ini jamak disebut sebagai, menjadi dewasa.
Anak-anak mempunyai kemampuan alami untuk selalu terpukau dengan dunia. Bagaimana mereka akan selalu merasa takjub atas kehidupan. Rasa kagum yang dimiliki seorang anak menuntun mereka untuk selalu bertanya tentang apapun, menyadari kebahagian dalam lingkup yang paling sederhana, dan selalu memiliki tuntutan rasa keadilan yang tinggi. Mereka adalah filsuf yang dididik langsung oleh kehidupan. Seharusnya inilah yang disebut sebagai fase menjadi dewasa, bukan sebaliknya.
Setidaknya mungkin itu yang mendasari seorang Jostein Gaarder selalu mengambil perspektif dari tokoh seorang anak dalam setiap novelnya. Seperti rasa keingintahuan seorang Georg, yang menuntunnya menyelesaikan surat dari Ayahnya yang telah meninggal sebelas tahun yang lalu, tentang seorang gadis dalam Gadis Jeruk (Appelsinpiken, 2003). Dalam novel ini, kisah mengenai Jan Olav dan gadis jeruk diceritakan dengan ritmis yang indah oleh Jostein Gaarder sebagai pengantar untuk membawa pembaca, bersama Georg, berpikir mengenai pertanyaan mendasar tentang kehidupan.
Dalam kisahnya, melalui sebuah rangkaian surat yang panjang, sang Ayah (Jan Olav) menceritakan kisah gadis jeruk kepada sang Anak (Georg) dengan sebuah perenungan mendalam tentang waktu, alam semesta, makna hidup, takdir, kesempatan, dan pilihan hidup. Bagaimana setiap keputusan akan selalu memiliki kemungkinan dan probabilitasnya sendiri. Seperti setiap awal yang akan menciptakan sebuah akhir, dan setiap pertemuan yang akan menciptakan sebuah perpisahan.
Alur cerita yang dibangun oleh Gaarder, selalu memberi ruang bagi pembacanya untuk mempertimbangkan sendiri setiap kemungkinan yang akan terjadi. Seperti bagaimana dalam setiap perjumpaannya yang misterius dengan sang gadis jeruk, Jan Olav selalu membuat asumsi atas apa yang dilihatnya. Layaknya para filsuf yang membagi dua pendekatan keilmuan melalui logika induksi dan eduksi. Dalam hal ini karakter Jan Olav lebih memilih melemparkan setiap asumsi atas pengalaman dan apa yang dilihatnya dalam kerangka induksi. Bagaimana ia selalu menyimpulkan setiap apa yang dilihatnya menjadi berbagai asumsi yang selalu memiliki berbagai kemungkinan. Di sini perspektif pembaca, yang di identikkan dengan seorang Georg, akan dipaksa untuk ikut menelaah setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Ini yang secara filosofis ingin dikemukakan oleh Gaarder sebagai adanya probabilitas yang dapat saling berpengaruh satu sama lain.
Seperti ketika Jan Olav, menciptakan berbagai asumsi tentang Veronica, sang gadis jeruk, bahkan ketika baru pertama bertemu. Bagaimana ia membayangkan sang gadis jeruk adalah seorang ibu dari keluarga kecil, bersuamikan seseorang yang baru saja lulus dari Sekolah Manajemen, memiliki seorang anak perempuan, dan membayangkan sang gadis jeruk bernama Ranveig, hanya dari perjumpaan pertama. Imajinasi Jan Olav inilah yang memaksa pembaca ikut berpikir dengan setiap asumsi yang ia kemukakan.
Gaarder, melalui karakter Jan Olav, seperti ingin menarasikan sebuah kisah dengan melibatkan pembaca yang dalam beberapa kesempatan menyentuh ke ranah tentang berbagai hal esensial dalam kehidupan. Seperti ketika Jan Olav, yang mengetahui dirinya sedang sakit keras mengajukan pertanyaan filosofis tentang apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan yang singkat ini. Bagaimana jika manusia bisa memilih, antara hidup ke dunia atau sebaliknya. Bagaimana setiap pilihan mempunyai konsekusensi masing-masing, seperti pilihan hidup ke dunia yang akan membawa konsekuensi jika suatu saat dunia juga akan direnggut lagi dari kehidupan. Bagaimana nantinya setiap keputusan kecil yang tampak sporadis pun akan mempunyai kemungkinan dan probabilitasnya sendiri.
Inilah teka-teki kehidupan yang bersumber pada konsep komplektisitas kemungkinan dan probabilitas percabangan. Teka-teki kehidupan yang terbalut dalam sebuah misteri yang lebih besar, semesta. Bagaimana keputusan kecil Jan Olav di masa lalu akan turut menentukan keberadaan Georg, sang anak, pada saat ini. Sebuah keputusan kecil akan membuat perubahan besar di akhir. Begitu juga dengan keputusan untuk memilih antara hidup ke dunia ataupun sebaliknya yang akan bercabang pada komplektisitas yang melibatkan semesta. Inilah yang kemudian membawa Jan Olav, menanyakan tentang Teleskop Hubble kepada Georg. Sebuah benda yang disebutnya sebagai ‘Mata Semesta’ yang dapat menjelaskan sedikit dari misteri komplektisitas ruang dan seisinya.
Pada akhirnya, keterikatan yang coba untuk dibangun Gaarder tentang perenungan waktu, keputusan, dan semesta akan bermuara pada sebuah pertanyaan mendasar untuk merenungkan tentang betapa kecilnya kisah kita dalam bentangan semesta ini. Jika kehidupan satu orang saja penuh dengan teka-teki, lantas bisa dibayangkan rahasia maha dahsyat apa yang telah disimpan oleh semesta selama milyaran tahun ini.
Secara pribadi, rangkaian konstelasi bintang dan semesta selalu menarik untuk dipelajari. Seperti kenyataan jika hamparan langit yang bertabur bintang dan seisinya merupakan hamparan masa lalu bagi siapapun orang yang melihatnya. Bintang yang kita lihat saat ini, adalah bintang lima menit yang lalu. Semesta dengan segala hamparan kenangan yang tertulis di langit, memiliki dimensi waktu yang berjuta cahaya dari kita saat ini. Namun jarak yang jutaan cahaya tetap tidak dapat meredupkan setiap konstelasi bintang untuk bersinar hingga bumi. Sama dengan setiap kenangan yang dimiliki manusia yang berjuta cahaya namun tetap dapat dijadikan pelajaran hingga saat ini. Begitu pula dengan Georg:
“Aku memilih hidup. Aku memilih sedikit jatah kebaikan yang dialokasikan untukku, dan mungkin bahkan ada sesuatu yang bisa disebut Yang-Baik. Tak ada yang bisa membuktikan, tapi barangkali saja memang ada Tuhan yang menyaksikan segala sesuatu”.
Gaarder mengemukakannya dengan sebuah analogi bahwa dalam setiap konstelasi semesta, sekecil apapun tidak ada yang terjadi karena sia-sia. Mengutip pemikiran Harun Yahya, bahwa hidup dan nasib selalu bisa tampak berantakan, misterius, fantastis, dan sporadis. Namun setiap elemennya adalah sub-sistem keteraturan dari sebuah desain holistik yang sempurna.2 Kesempurnaan dalam manifestasi sekecil apapun yang tidak akan terjadi secara sia-sia.
Keberanian menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal kecil apapun terjadi karena kebetulan. Kebetulan yang tidak akan membawa seorang anak untuk selalu takjub dengan dunia. Indahnya bermain lumpur dalam genangan, mengejar serangga di taman, hingga bermain air ditengah rinai hujan. Bagi seorang anak, indahnya dunia terlalu sederhana untuk dilewatkan. Bergabunglah dengan mereka, dan mulailah untuk menyadari kegembiraan paling dasar dalam kehidupan. [Warning/Dimas Yulian]
*Diambil dari Bahasa Norwegia yang berarti Gadis Jeruk.
2 Diinterpretasikan dari pemikiran Harun Yahya. Termuat dalam novel Edensor (2007) karya Andrea Hirata.