Dunia digubah layaknya sirkuit lari tanpa garis finish, kita di dalamnya terengah-engah kehabisan nafas memburu waktu. Mereka yang jengah membuat revolusi melawan apa-apa yang serba cepat. Menyebut aksinya dengan Slow Living Movement untuk kembali menikmati kelambatan yang manusiawi.
“Duduk sabantar jua, pane minum teh deng makang kue dulu, habis tu baru pi mengajar. Beta su siapkan itu,” ujar Mama Cha menunjuk segelas teh hangat yang menguarkan bau kayu manis dan setumpuk kue kacang di meja makan. Ia adalah ibu yang menjadi mama piara saya ketika KKN di Banda Neira dua tahun lalu. Mama Cha sedang membiasakan saya mengikuti rutinitas paginya, yang antara bangun tidur dan mulai aktivitas ada waktu barang satu jam untuk duduk ngobrol dan ngeteh bersama. Melihat anak kota yang selalu terburu-buru, ia kasian katanya. “Itu waktu tar akan habis, pelan-pelan sa,” ucapnya suatu kali. Alhasil, setelah dua minggu tinggal di sana, ritme hidup saya mulai melambat. Perubahan yang menyusup pelan namun saya rasakan berdampak hingga sekarang.
Kebiasaan Mama Cha ini sepertinya juga mencerminkan kebiasaan orang-orang Banda Neira pada umumnya. Dibanding Yogyakarta, atau kota lain di Jawa, tak ada pagi yang buru-buru di sini. Semua orang melakukan aktivitasnya dengan santai, tak ada sarapan sambil jalan, laju kaki yang dipercepat, atau obrolan instan sambil lalu. Dan ritme inipun berlangsung sepanjang hari. Bukan pemandangan aneh melihat bapak-bapak nongkrong sambil karaoke lagu pop Ambon di pos kampling sejak pagi, atau para ibu yang berkumpul mengupas kulit pala dan cengkeh sambil bertukar resep masak atau bergosip ria sepanjang hari. Karena mayoritas bekerja di laut dan kebun, tak ada jadwal yang mengikat mereka untuk pergi pagi pulang petang tiap hari. Orang-orang yang hidup di tenggara Maluku ini, pergi bekerja saat mereka butuh uang saja. Sekali melaut, atau panen pala, mereka kemudian bisa bersantai semau mereka.
Saat anak muda di belahan dunia lain sibuk berselancar di internet, abang-abang hitam manis di Banda Neira ini lebih sibuk mengajak kami menyelam di laut tiap sore. Kami tak jadi tahu tentang siapa selebgram yang baru bunuh diri, atau brand ini di mall ini sedang diskon segini. Tapi kami jadi mengerti tentang musim ikan apa di laut, rasi bintang mana yang jadi panduan nelayan, atau cerita-cerita hantu di benteng-benteng kuno yang membuat kami jadi parno dan takjub. Meski tak dipenuhi rumah-rumah mentereng atau gadget beragam rupa, saya tahu mereka ini orang-orang kaya. Mereka punya harta yang mungkin tak dimiliki lagi oleh kebanyakan orang kota: waktu luang dan kebebasan untuk mengatur ritme hidup mereka sendiri.
Ketika kemudian kembali hidup di Jawa, kontras ritme hidup itu adalah salah satu hal yang paling membekas tentang Banda Neira bagi saya. Ada perasaan rindu untuk mengikuti ritme hidup mereka yang lambat. Perasaan memiliki banyak waktu untuk melakukan banyak hal dan dengan sadar memilih untuk tertinggal dari laju dunia yang buru-buru.
Jika ada mesin waktu, saya ingin kembali ke tahun 1784 dan riwil ke Benjamin Franklin agar ia lupa menuliskan slogan “Time is Money” yang ternyata terpatri melewati ratusan tahun peradaban hingga sekarang. Slogan ini ia tulis di sebuah esai berjudul Advice to Young Tradesman, ditujukan untuk memotivasi para pekerja muda agar lebih giat bekerja. Saya curiga, slogan ini juga yang secara tak sadar mempengaruhi psikologis generasi di bawahnya untuk memperlakukan waktu sebagai komoditas terbatas yang harus digunakan seefisien mungkin. Waktu disederhanakan jadi urusan produktivitas, efisiensi, dan hitungan untung-rugi. Kita harus melakukan dan memproduksi semaksimal mungkin dengan waktu seminimal mungkin. Makin cepat, makin bagus.
Sekolah kalau bisa akselerasi saja, kuliah juga tak perlu lama-lama. Buat apa ikut organisasi atau berkarya di komunitas, lima tahun saja di kampus jadi sarjana lalu siap kerja. Tak ada waktu untuk makan santai maka diciptakan fast food. Membuat baju yang sesuai dengan bentuk dan kepribadian kita terlalu ribet maka diciptakan fast fashion. Terlalu banyak tempat wisata padahal libur cuma dua hari di akhir pekan, maka diciptakan fast travel. Ngobrol untuk cari teman baru itu terlalu makan waktu maka diciptakan facebook. Semoga saja aplikasi Tinder tak kemudian menciptakan tren baru seperti fast date atau justru fast sex, alamak!
Saya sudah mendapat cerita absurd tentang jenis olahraga baru nun jauh di London sana, yaitu speed yoga yang diburu orang-orang super sibuk untuk tetap memaksakan bermeditasi dalam waktu 20 menit saja. Yang lebih gila, di Michigan Amerika sana, sudah muncul bisnis baru yaitu drive-thru funeral. Sebuah jasa yang dibuat oleh rumah persemayaman yang mengatur upacara kematian seseorang jadi instan, kerabat yang ingin datang berbela sungkawa bahkan tak perlu repot-repot turun dari mobilnya karena jenazah diletakkan dalam sebuah jendela kaca, lengkap dengan lubang untuk memasukkan kartu ucapan atau memorabilia. Yang terakhir ini rasanya sudah cukup menggambarkan betapa keringnya manusia-manusia jaman sekarang. Ketika urusan kematian sudah tak ada bedanya dengan membeli McFlurry di restoran cepat saji kesayangan kita semua itu. Sama-sama lima menit tanpa ribet ini-itu.
Kita sekarang hidup di dunia yang terobsesi dengan kecepatan. Dunia yang memaksa manusia untuk buru-buru. 24 jam sehari rasanya tak cukup. Penjelasan Noam Chomsky yang komprehensif perihal bagaimana dunia ini digerakkan rasanya bisa menjadi penjelasan bagaimana sistem yang berjalan sekarang ini seperti kerangkeng, mengurung manusia dalam jadwal dan berbagai tuntutan hidup, juga merampok kepemilikan individu terhadap waktu. Menciptakan kemiskinan jenis baru: time poverty, yaitu perasaan kehabisan atau bahkan tak punya waktu sama sekali.. Roda ekonomi yang dulu kita bangun justru berbalik menunggangi kita. Orang-orang yang hidup di daerah urban yang akrab dengan serba-serbi modernitas mungkin tak sadar bahwa mereka sedang dipaksa menjalani hidup yang dipersulit. Sebagian orang bahkan mungkin menikmati ini. Menganggap bahwa ritme hidup yang cepat itu seksi dan menggugah adrenalin. Kecepatan yang memaksa kita untuk terus berpikir praktis ini seperti candu yang membuat manusia merasa hidup (atau justru mati?). Hari-hari seolah hanyalah tumpukan to-do list yang harus diselesaikan, daftar apa saja yang harus dikonsumsi, makanan, barang, bahkan pengalaman. Dan kita dituntut untuk cepat dalam memenuhi semua itu. Bahkan tempat-tempat kerja modern yang berbasis industri memaksa pekerjanya untuk kerja lebih rajin, sementara segala teknologi seolah mendorong kita untuk melakukan apapun secepat mungkin.
Salah satu ciri dari pola industri yang jadi salah satu aspek menonjol dari kehidupan modern adalah tentang produksi massal. Karena tuntutan permintaan dan menjamin berlangsungnya roda ekonomi, satu-satunya jalan adalah dengan produksi secara massal. Laku hidup ‘massal’ ini yang nampaknya menghilangkan sisi personal manusia sebagai makhluk hidup, menjebak manusia dalam standarisasi yang homogen. Manusia seolah hanya punya fungsi secara mekanis. Makhluk-makhluk kering yang tak sempat mengolah rasa dan menghidupi kodratnya sebagai mahkluk sosial, atau spiritual.
Ritme hidup yang serba cepat ini mungkin sekilas membuat kita merasa bisa memenuhi lebih banyak hal. Namun apakah pemenuhan kebutuhan selalu berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan? Rasanya tidak. Karena faktanya, orang-orang yang hidupnya serba cepat itu mayoritas kemudian punya kualitas hidup yang tidak baik. Para karyawan over-worked ini menderita gangguan kesehatan pada tubuh yang tidak bisa dihindari akibat terlalu banyak bekerja, belum lagi gangguan pskologis dan emosional. Silahkan cari data mengenai tingkat stress dan depresi masyarakat perkotaan di kolom pencarian google, niscaya grafiknya naik dari tahun per tahun.
Seperti pemandangan di samping kanan-kiri yang memburam seiring mempercepat laju kendaraan kita di jalan raya, kecepatan membuat kita melupakan kesadaran terhadap hidup dan tubuh kita sendiri. Glorifikasi terhadap kesibukan membuat otak kita selalu penuh ambisi, yang padahal tak lebih dari distraksi yang menjauhkan kita dari makna hidup yang sesungguhnya. Kesibukan membuat kesadaran kita melayang di permukaan, menciptakan hidup yang superficial. Bekerja dalam hidup, yang dulu ditujukan untuk menemukan kebahagiaan berubah jadi lomba pemenuhan kebutuhan. Konsumsi, konsumsi, konsumsi. Membuat kita tak sempat berkontemplasi atau sekedar memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang esensial macam: Sebenarnya siapa aku? Siapa yang menciptakan aku? Kenapa aku diciptakan? Apa itu semesta ini? Apa yang aku inginkan di hidup ini?
Apakah gaya hidup yang merayakan kecepatan, yang mengubah kita jadi manusia-manusia dangkal adalah karena kita memang insecure dan setak sanggup itu untuk menghadapi kefanaan kita? Kita manusia sepertinya makin hari makin takut menghadapi pertanyaan-pertanyaan subtil tentang hidup yang berpotensi mengpengaruhi spiritual dan emosi, lebih aman jadi sibuk.
Menantang Budaya Cepat dengan Revolusi Lambat
Sisyphus menjalani hidupnya dengan mendorong batu ke puncak gunung yang kemudian akan menggelinding jatuh dan akan ia dorong lagi ke puncak untuk jatuh lagi, begitu terus. Ketika konteksnya sedikit disesuaikan dengan gaya hidup kita sekarang, rasanya kita tak ada bedanya dengan sang Sisyphus. Batu besar itu adalah slip gaji, tren fashion, iklan gadget terbaru, atau entah tuntutan hidup apa lagi silahkan diisi sendiri. Bahkan dibanding Sisyphus justru kita lebih sengsara karena jika Sisyphus bisa santai mendorong batunya, kita dituntut tergesa-gesa. Muak dengan hal itu, sekelompok orang di berbagai belahan dunia mulai memutuskan untuk membuang batu besar di hidupnya, dan melakukan sebuah revolusi untuk menghadapi dunia dengan memperlambat hidup mereka.
“We are living a fast life, instead a good life,” tulis Carl Honore, penulis buku In The Praise of Slowness. Sebuah buku yang mungkin bisa dianggap seperti “Das Capital-nya komunisme” untuk gerakan Slow Living. Dirilis tahun 2004, buku ini merangkum dan menjelaskan sebuah revolusi yang sedang mulai dicoba oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia untuk melawan kecepatan. Carl Honore adalah seorang jurnalis asal Kanada yang tinggal di London, sempat terobsesi dengan ritme hidup yang cepat sampai suatu hari ia menyadari betapa tidak sehat hidupnya ketika ia bahkan tergesa-gesa saat membacakan dongeng sebelum tidur untuk anaknya. Ia kemudian bergabung ke gerakan Slow Living bersama jutaan orang lain dan mengkampanyekannya ke seluruh dunia.
Gerakan Slow Living ini sebenarnya diawali oleh protes besar yang terjadi di Itali tahun 1986 yang mempersoalkan industri makanan cepat saji. Peristiwa ini ditandai sebagai awal gerakan Slow Food yang kemudian meluas menjadi Slow Living. Protes ini dilakukan untuk mengajak manusia kembali sadar dan peduli tentang apa yang mereka makan dan dari mana makanan yang ada di meja makan mereka berasal. Dari satu negara, gerakan ini kemudian menyebar ke lebih dari 50 negara di dunia. Menghasilkan banyak turunan seperti club organic food, green food, atau gerakan pangan lokal lain.
Slow Living Movement sendiri secara umum adalah ajakan untuk hidup dengan lebih sadar dan tidak melakukan konsumsi yang menyia-nyiakan sumber daya yang ada. Orang-orang yang menghidupi falsafah hidup lambat ini memberlakukan waktu dan segala sumber daya secara kreatif, melakukan sesuatu dengan waktu yang sesuai demi mencapai kehidupan yang esensial dan memuaskan. Gerakan hidup lambat ini menggambarkan hasrat manusia masa kini untuk punya hidup yang lebih bermakna. Kampanye Slow Living ini pada awalnya terasa tidak mungkin dan bahkan tidak masuk akal untuk mengajak orang menjadi lambat sementara apapun di hidupnya berjalan cepat. Tapi seperti namanya, pelan-pelan gerakan ini meluas dan menghasilkan banyak gaya hidup baru yang melingkupi berbagai aspek kehidupan kita seperti pekerjaan, fashion, transportasi, dan bahkan bagaimana kita memanfaatkan waktu luang kita.
Salah satu slogan yang dihidupi oleh orang-orang yang merayakan prinsip lambat ini adalah less is more. Mereka percaya bahwa efektifitas bisa diraih jika sesuatu dilakukan dengan waktu yang sesuai, bukan dipaksa dipercepat. Alih-alih mentarget untuk menyelesaikan banyak pekerjaan dalam satu hari, cobalah untuk memilih 1-2 pekerjaan saja dan lakukan itu dengan sepenuh hati. Saya misalnya, yang saban hari mayoritas kerja serabutan dengan mengandalkan keyboard mencoba membatasi untuk maksimal menulis sebanyak 1-2 artikel saja tiap hari. Dengan begitu, saya harap punya waktu cukup untuk benar-benar memproduksi sebuah tulisan bermutu daripada 5 artikel sehari yang berisi racauan tak berarti. Ini berlaku apalagi untuk orang-orang yang melakukan jenis pekerjaan non-template, alias kerja-kerja kreatif yang bergantung pada ide-ide baru setiap saat. Model kerja seperti ini memberi kita lebih banyak waktu untuk tak melakukan apa-apa, tapi justru dengan begitu biasanya lebih banyak ide segar bisa muncul.
Tren Slow Living ini pun sudah mulai menginspirasi banyak institusi kerja modern untuk “memanusiakan” kembali para karyawan mereka. Di Swedia misalnya, pemerintahnya sudah memberlakukan waktu 6-jam kerja per hari. Beberapa perusahaan start-up di Amerika juga mulai memberlakukan 4 hari kerja saja per minggu. Dan kabarnya Google pun menambah jam istirahat makan siang karyawannya, dan membiarkan mereka untuk melamun, tidur siang, atau berjalan-jalan menikmati matahari atau gemericik air kolam di taman. Ketika kembali, energi untuk kerja terisi penuh dengan mood yang baik, hasilnya produktivitas pekerjaannya lebih memuaskan. Gerakan ini seperti jadi tanda bahwa setelah ratusan tahun dipaksa kerja keras tiap hari, mungkin sekarang saatnya kita mengubahnya jadi kerja cerdas.
Alih-alih hidup dengan prinsip kerja cepat yang membuat kita jadi sibuk, posesif, tidak sabar, dan grusa-grusu, gaya hidup ini mengajak kita untuk lebih reseptif, lebih intuitif, dan reflektif terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Tak berupaya mendramatisir, tapi sungguh menyempatkan minum teh di pagi hari atau duduk tenang membaca buku sambil memandang langit keemasan di sore hari rasanya bisa sangat menginspirasi.
Sebagian orang yang skeptis duluan pasti lalu membatin, “dih kalo lambat ya pasti ketinggalan dong”. Banyak orang punya respon spontan seperti itu, tapi Carl Honore sang bapak Slow Living punya jawaban atas ketakutan itu. Dalam bukunya ia menulis, “On the contrary. Life is what’s happening right here, right now – and only by slowing down can you live it to the full. If you are always rushing, you only skim the surface of things”. Lagipula, pola pikir ‘takut ketinggalan’ seperti itu jika ditelaah lebih dalam muncul karena sepanjang hidup, kita selalu dilatih untuk berkompetisi. Dari kecil dituntut ranking 1 di kelas, cari kerja penuh seleksi, cari pacar saingan, bahkan urusan tren sehari-hari itu kita punya mindset tidak mau kalah. Teman beli spinner baru, kita harus punya, teman hobi liburan ke Bali, kita memaksa ke Maldives, dan seterusnya. Konsep hidup lambat ini jika diberlakukan dengan sepenuh hati juga akan membuat kita melepaskan banyak ambisi tak penting dan belajar merasa cukup karena Slow Living melatih kita untuk mengkonsumsi apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Lagipula betapa susahnya hidup jika dibuat seperti sirkuit balap lari. Karena tak saling memburu, orang-orang lambat ini justru akan mengembalikan kita ke damainya prinsip kolaborasi.
Untuk memulai gaya hidup ini tak mudah memang. Selain beresiko kehilangan banyak hal pada awalnya, juga pasti mendapat perlawanan dari dalam kita sendiri. Apalagi karena culture of speed yang terlalu mendarah daging di hidup kita ini membuat kata ‘slow’ atau ‘lambat’ jadi terkesan buruk, bahkan dari segi linguisik. Di Indonesia misalnya, kata lambat atau pelan selalu dikonotasikan dengan hal-hal negatif seperti ‘malas’, ‘bodoh’, ‘ketinggalan’, ‘telat’, ‘lama’, atau ‘tak produktif’. Secara tidak sadar hal ini pasti kemudian menjadi pertimbangan kita setiap kali mau memperlambat laju kegiatan kita.
Padahal sebenarnya Slow Living Movement ini bukan mengajak kita untuk melakukan segala hal dalam tempo lama, atau gerakan slow motion macam keong yang kekenyangan. Gerakan ini mengajak kita menemukan ritme yang tepat, kecepatan sesuai kebutuhan, alias “the right speed” untuk melakukan segala sesuatu. Bersandar pada prinsip kualitas alih-alih kuantitas, toh segala hal yang terlalu banyak justru akan berakhir jadi sampah. Hal ini juga menjamin manfaat jangka panjang daripada hasil cepat yang destruktif, dan yang terpenting membuat kita manusia ini kembali menikmati hidup alih-alih menjadi mesin. Karena hidup kita bukan jalan tol yang punya papan tanda kecepatan maksimum, jika tak bisa mengerem sendiri, kita akan terbunuh karena berjalan terlalu cepat.
Saat ini, mulai banyak tren yang terilhami dari gerakan Slow Living ini. Dari bentuk paling awalnya yaitu slow food misalnya, banyak berkembang klab-klab pangan lokal yang berfokus pada produksi bahan pangan dari area sendiri dan organik. Klab organic farm biasanya lalu dibarengi dengan munculnya pasar-pasar kolektif kecil untuk mendukung industri rumahan lokal. Di Yogyakarta saya menemukan beberapa, seperti Pasar Kamisan di Kaliurang, Pasar Tiban di Nitiprayan, dan Pasar Papringan di Temanggung. Mereka ini menjual makanan olahan sendiri, mengutamakan rasa dan kualitas kesehatannya untuk melawan fast food dan segala racun instan yang meresap di makanannya.
Selain itu tren slow fashion juga terlihat dari maraknya toko-toko baju yang memproduksi barangnya secara mandiri dalam kuantitas terbatas. Seperti tren membuat kain Shibori atau tenun misalnya. Tren membuat kain warna dengan teknik celup dari Jepang ini sangat mewabah, dan ilmunya didistribusikan lewat banyak kegiatan seperti lokakarya dan pasar-pasar kreatif. Kita diajak untuk membuat sendiri baju yang sesuai dengan bentuk tubuh dan kepribadian kita. Produsen fashion seperti ini biasanya lebih interaktif dan intovatif dalam membuat model-model baju tak biasa, bahkan tak jarang mereka melayani pesanan custom untuk disesuaikan dengan kondisi kita. Gerakan slow fashion ini sangat penting karena dalam level tertentu juga ikut melawan sistem yang dibuat oleh industri fast fashion dimana brand-brand besar memproduksi pakaian dengan satu standarisasi. Industri fast fashion inilah yang turut membentuk budaya body shamming karena memaksakan bentuk tubuh kita yang beragam untuk masuk ke satu standar produk fashion yang seolah dianggap sebagai ideal dunia. Padahal perkara bentuk tubuh tak ada yang salah.
Slow travel juga mulai berkembang di berbagai belahan dunia. Keinginan untuk bisa mengunjungi sebanyak mungkin tempat wisata dalam waktu seminimal saat ini sudah menimbulkan efek destruktif yang kelihatan. Mass tourism di Bali misalnya, mulai mengikis tak hanya lanskap alam, tapi juga budayanya. Sekarang, mulai banyak penguasaha pariwisata yang menerapkan konsep sustainable tourism yang menyasar sedikit turis namun menawarkan pengalaman yang maksimal. Slow travel ini akan memberi kesempatan untuk tak hanya benar-benar hadir di lokasi yang sedang dituju, namun juga berinteraksi dan menyerap nilai-nilai lokal yang ada. Tak hanya mendapat foto selfie, tapi juga bahkan bisa berubah ke pencarian jati diri.
Tren Slow Living yang mulai berkembang ini seolah menunjukkan laju perabadan kita. Jika terus berkembang, gerakan ini secara universal akan mengubah cara kita memproyeksikan masa depan. Tentang gerak laju peradaban dan bagaimana bentuk modernitas, nyatanya berubah. Ada dua buah manifesto sastrawi yang jitu sekali merumuskan gerak peradaban, dua-duanya ditulis oleh orang Itali. Yang pertama adalah Manifesto of Futursim yang ditulis oleh Fillipo T. Marinetti pada tahun 1909. Sebuah artikel berisi 11 pernyataan yang merefleksikan bagaimana dunia terobsesi dengan ide tentang masa depan yang serba cepat. Manifesto ini ia terbitkan di sebuah surat kabar bernama Gazzetta de l’Emilia dan mendapat perhatian publik yang cukup besar. Ia banyak menyebut soal mesin, generasi baru, kekerasan, desktruktifitas, dan industri. Tahun-tahun itu kemajuan revolusi industri dan saintifik membuat orang-orang terpesona dengan kerja mesin dan serba teknologi. Marinetti merayakan modernitas dalam bentuk apa-apa yang serba cepat. Dalam salah satu pernyataannya ia menulis, “We declare that the splendor of the world has been enriched by a new beauty: beauty of speed.”
Sampai sekitar satu abad setelahnya, yaitu tahun 2011, Manifesto of Futurism yang ditulis Marinetti mendapat respon yang sangat apik oleh Franco “Bifo” Berardi. Ia menulis sebuah buku berjudul After Futurism. Ia menganggap bahwa ide tentang masa depan sudah mati. Alih-alih konsep masa depan dan masa lalu, yang sebenarnya kita hidupi adalah sebuah masa sekarang yang tak terbatas alias ‘the infinite present’. Kita sekarang sudah sampai di sebuah masa yang diimpikan Marinetti seabad lalu. Perkembangan ekonomi, industri, dan semua sistem yang berlangsung di dunia sudah mencapai titik puncak. Kita bukan lagi sebuah peradaban yang tumbuh, jika diteruskan kita justru akan jadi peradaban yang destruktif. Untuk itu, jalan yang paling masuk akal adalah dengan memperlambat laju hidup kita. Merayakan kelambatan, kerja cerdas, kolaborasi, dan independensi. Saya harus mengutip secara lengkap poin nomer 8 di artikel tersebut, sebagai berikut:
“We declare that the splendor of the world has been enriched by a new beauty: the beauty of autonomy. Each to her own rhythm; nobody must be constrained to march on a uniform pace. Cars have lost their allure of rarity and above all they can no longer perform the task they were conceived for: speed has slowed down. Cars are immobile like stupid slumbering tortoises in the city traffic. Only slowness is fast.”
Jangan bilang semua hal di atas terlalu mengawang, karena setiap dari kita adalah penggerak laju peradaban. Serap pelan-pelan, ambil nafas, dan tanya kembali diri anda tentang apa yang sebenarnya anda inginkan. Kalau dengan melambat membuat hidup jadi mudah, kenapa harus hidup dengan sulit. Jon Jandai, seorang petani di Chiang Mai, pedalaman Thailand menginspirasi saya dengan gaya hidupnya. Ia tak menghidupi kekayaan dengan nilai uang, atau kebebasan dengan nilai materi. Ia hidup dari rumah yang ia bangun sendiri, makan dari apa yang ia tanam sendiri, dan sekarang ia punya sebuah learning center dan tempat penyemaian bibit bernama Pun Pun yang ramai jadi jujukan warga negara dunia pertama untuk belajar hidup ‘normal’ lagi.
Kita yang Berjalan Pelan
Membayangkan punya gaya hidup lambat di negara dunia ketiga memang cukup sulit, atau lebih tepatnya bisa dengan banyak strategi. Sistem kerja dan tuntutan ekonomi rasanya tak akan memberi kita ijin untuk barang sejenak mencicipi kelambatan hidup yang mulai menyenangkan untuk dibayangkan ini. Tapi dalam sejarah, revolusi memang tak pernah menunggu ijin dari penguasa di atas, dan jangan lupa pada sebuah petuah lama yang tak pernah salah bahwa comfort zone kills.
Apalagi jika dimulai oleh kita kaum muda yang sedang bergairah dan berbudaya, masak kalah sama rapper kondang besutan TAKIS Entertaiment (saat belum bubar) yang lebih visioner mendendangkan lagu nyebahi tapi nempel di kuping berjudul “Slow”. “I stick to the plan, i don’t give a damn, we are-we are-sometimes we need to slow…” begitu liriknya. Pertama mendengar lagu ini, saya cekikikan sambil mengumpat dalam hati, “Damn! Young Lex dong udah mulai slow life duluan”. Semoga saja Carl Honore yang sedang iseng lihat-lihat video di Youtube menemukan lagu ini dan menawari Young Lex jadi duta slow living national untuk Indonesia. Ets, jangan remehkan skill nge-rap (yang memang menyedihkan) dan suaranya(yang kalah jauh dibanding teman duetnya), Young Lex bagaimanapun adalah publik figur. Kalau urgensinya adalah kampanye perubahan, teman intelekmu yang hidupnya pahit dan hobi baca Das Capital juga tak akan sanggup. Seorang kawan sambil iseng menggambar pernah bilang pada saya, “Bagaimana mau heroik mengubah dunia kalau follower cuma dua ratus?”. Ia tertawa terbahak-bahak, dan saya minta maaf sedikit melantur. Mari kembali ke topik semula.
Gaya hidup lambat ini memang tak perlu dilakukan secara terburu-buru, jika tak ingin menjadikan kampanye ini ironi yang lucu. Untuk saya sendiri, gaya hidup ini mau saya mulai dari sesuatu yang sangat dekat, media sosial misalnya. Untuk generasi Y dan Z, internet dan media sosial rasanya sudah jadi menu tambahan hidup, jadi sandang, pangan, papan, sosmed. Keberadaanya fundamental dalam membentuk hidup kita sekarang ini. Ragam aplikasi mulai Facebook, Twitter, Instagram, dan lainnya telah mengisi sebagian besar hidup kita. Media sosial menenggelamkan kita dalam arus informasi yang sangat cepat. Membuat kita seolah harus mengikuti apa saja yang terjadi di mana saja. Terbawa arus kesini-kesitu, setelah ini lalu itu, begitu terus sampai kita lupa waktu, hingga tiba-tiba kita kehabisan 24 jam yang kita punya, tanpa merasakan atau menyerap sesuatu. Tak hanya membuat kita kecanduan dan menghabiskan banyak waktu, bahkan menghasilkan identitas diri artificial dan keintiman digital yang secara tak sadar membuat kita makin sendirian. Sosial media membuat kita semua seolah terhubung satu sama lain padahal dalam bentuk lain kita justru makin terpisah-pisah. Paradoks yang diciptakan oleh media sosial ini membuat kita jadi manusia-manusia yang bergerak cepat namun sendirian, efisien namun kesepian.
Dalam tataran tertentu, kita sudah berubah jadi generasi yang hyper-connected karena terhubung dengan terlalu banyak hal dalam waktu sekejab. Menggunakan media sosial secara berlebihan membuat kita jadi merasa harus mengikuti segala hal baru, dan bahkan menciptakan sebuah ketakutan baru yang diderita oleh anak-anak muda jaman sekarang, yaitu FOMO. FOMO adalah akronim dari Fear Of Missing Out, sebuah ketakutan akan tertinggal sesuatu. Istilah ini sangat berhubungan dengan culture of speed dan gaya hidup serba cepat yang memaksa orang untuk meraba permukaan dengan cepat asal tak ketinggalan apapun. Kehabisan kuota internet dan baterai mungkin jadi salah satu hal paling menakutkan yang diderita oleh para generasi masa kini. Sosial media dan seluruh antek ekonomi yang bergerak di belakang budaya pop dan konsumerisme kita inilah yang sebenarnya menciptakan FOMO sebagai produk industri kapitalis yang ditujukan untuk masyarakat yang selalu merasa kehabisan waktu untuk meraih kesuksesan atau kebahagiaan.
Sampai di tahun 2008 ada kampanye turunan dari Slow Living Movement, yang melawan FOMO tersebut. Kampanye ini menyuarakan untuk menghargai apa yang benar-benar ada di sekitarmu, apapun, dengan siapapun, kapanpun. Sebuah ajakan untuk melepaskan koneksi-koneksi maya dari media sosial dan internet, serta menganggap apa yang benar-benar ada di depanmu sekarang adalah yang terbaik, bukan apa yang ada di linimasa media sosialmu tentang sesuatu yang terjadi nun jauh entah dimana. Kampanye ini disebut JOMO alias Joy of Missing Out. JOMO mengajak orang-orang untuk lepas dari arus informasi yang serba cepat.
Kampanye ini mendorong kita untuk menggantikan porsi besar digital intimacy yang kita punya dengan membangun koneksi nyata dengan orang-orang atau kelompok kita. Keluarga misalnya, teman, atau kekasih. Selama ini kesibukan kita membuat kita hidup terfragmen, maka kampanye Slow Living ini secara tak langsung juga mengajak kita membangkitkan spirit komunal lagi. Untuk saling berjejaring, saling menginspirasi, dan menghidupi.
Jika sebelumnya kita merasa wajib mengikuti dan melakukan apa saja seperti yang ada di linimasa media sosial kita, laku menikmati ketertinggalan ini membuat kita dengan sadar memilih apa saja hal untuk tidak kita lakukan. Alih-alih ketinggalan banyak hal, hal ini justru menstimulasi kita untuk memilih apa saja kegiatan kita dengan lebih bijak dan sepenuh hati. Jika untuk bergabung dengan klab-klab slow food, slow fashion, atau slow travel tadi perlu modal. Maka kita warga kelas menengah yang biasa saja ini tak punya alasan lagi karena bentuk JOMO sebagai laku Slow Living tak perlu modal apapun. Justru akan menghemat anggaran kuota internetmu. Matikan hape saat berada di tengah keluarga, ngobrollah—bukan basa-basi, bacalah buku dengan baik, resapi, bukan hanya membaca dengan memindai agar mendapatkan sesuatu yang bersifat trivial. Go slow, go deep.
Jika terus diupayakan dan dilakukan dalam level yang sederhana, nampaknya konsep hidup ini masuk akal untuk dilakukan. Namun jika penjelasan panjang saya di atas masih terbaca terlalu ndakik dan “kebarat-baratan”, sesungguhnya tidak. Karena falsafah Slow Living Movement dan segala manifestasinya tadi sebenarnya sudah ada dalam diri kita orang Jawa, atau bahkan Indonesia. Sebuah prinsip yang tak pernah hilang, tapi mungkin selama ini tenggelam dalam ritme hidup serba buru-buru. Membuat kita lupa menengok akar kita sendiri. Falsafah hidup itu adalah: Alon-alon waton kelakon.
“Pelan-pelan asal berhasil dilakukan”, adalah sebuah nasihat yang sudah lama tak terdengar (paling tidak di telinga saya). Betapa bijaknya orang-orang Jawa dulu. Yang dengan kelambatannya menghidupi hari-hari dengan sederhana dan bermakna. Sepertinya kita memang butuh waktu luang sejenak, untuk berkenalan dengan waktu yang bukan ada di jarum jam. Waktu yang bebas. Waktu yang tidak diukur dengan standar yang disusupi oleh kepentingan industri ekonomi. Sang waktu yang bebas ini pernah saya pergoki muncul saat memandangi teman saya yang menikmati rokoknya sehabis makan sepiring nasi goreng di daerah Selokan Mataram. Piring kami sudah sama-sama kosong, ketika saya mengajaknya pergi, ia dengan santai berkata, “sikto sebats dulu…”. Saat itu waktu yang bebas muncul. Bahwa masa ketika sebatang rokok itu dihisap oleh teman saya itu adalah waktu yang merdeka, karena urusan ‘sebat’ adalah standar yang begitu personal. Teman saya itu, sedang merayakan jeda antara makan dan mulai kerja lagi dengan mengatur hisapan dan hembusan nafasnya sendiri. Jika tak percaya, silahkan lakukan eksperimen kepada 100 orang dan silahkan ukur waktu satu batang merokok mereka, niscaya tak akan mendapatkan angka yang sama. Betapa merdekanya sebat. Terma ‘selo wae’ yang kerap digaungkan oleh teman-teman saya orang Jogja nampaknya juga mengandung local wisdom yang besar, dan harus dimaknai secara lebih dalam lagi.
Laju peradaban ke masa depan yang masih berada antara transisi berupa percepatan dan kelambatan ini nampaknya harus membuat kita memandang waktu dengan cara lain. Ia bukanlah sesuatu yang linier, bukan sesuatu yang akan habis. Seperti kebanyakan kepercayaan dunia timur, waktu yang mengisi hidup ini juga bereinkarnasi, ia adalah siklus. Yang padanya kita terikat dan ikut berputar, berangkat dan akan sampai pada titik awal lagi. Maka takut kehabisan waktu hanyalah energi negatif yang berasal dari cara pikir saja. Sengaja saya ajak dulu berkenalan dengan teori barat, karena tentu saja akan lebih seksi dan memikat untuk kaum intelektual muda, daripada esai ini dibuka dengan bahasan kejawen yang umumnya dianggap ndeso. Lagipula sebuah laku hidup juga tak bisa dijelaskan secara buru-buru, pelan-pelan saja.
Ada satu kutipan yang sangat menempel di kepala saya. Satu paragraf bernas dari Seno Gumira Ajidarma yang saya patri untuk menghidupi masa muda. Berbunyi:
“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”
Jangan sampai kesadaran kita hilang, dan tahu-tahu suatu hari nanti kita bangun mendapati rambut kita sudah beruban dan badan yang digerogoti penyakit. Saya ingin menutup esai ini dengan sebuah undangan untuk duduk bersama di suatu sore, dengan segelas teh jahe madu di tempat yang banyak tumbuhan, untuk sekedar merayakan ketertinggalan atas dunia yang serba cepat, dan entah apa yang berhasil kita bangun nanti. Sampai ketemu! [WARN!NG/Titah AW]
ilustrasi: Silent Dialogue – Bambang Nurdiansyah
*artikel ini sebelumnya telah diterbitkan dalam buku kumpulan esai Echo-System oleh Festival Kesenian Yogyakarta 2017
Sebats dulu… 💨💨
Nice artikel, mau tidak mau memang begitulah faktanya. Terlalu mengejar hingga lupa butuh ketenangan.