Back To:
Buku Indonesia Terbaik 2016 (10-6)
5.O – Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Berangkat dengan narasi sederhana tentang seorang monyet yang ingin menikah dengan kaisar dangdut, siapa sangka O jadi salah satu buku dengan plot paling rumit tahun ini. Semesta O disusun dari belasan fragmen cerita eksentrik, mitos-mitos ganjil, dan sudut pandang majemuk yang tidak membiarkan kita memihak pada apa atau siapa. Sebuah novel semi-fabel modern, yang tidak hanya metaforis dan satir seperti Animal Farm, tapi menggelitik, karena latar ceritanya bukan sebuah peternakan nun jauh di Eropa sana, tapi di Jakarta, dengan tabiat tokoh dan hewan-hewan yang acap kali kita temui di hari-hari biasa. Dengan umpatan dan kutipan ayat Tuhan, O tidak sedang menggurui tentang kehidupan, ia menyerupainya. “semua manusia dan binatang dan benda-benda dan kenangan dan harapan berebut untuk hidup di kota ini. Mereka hanya perlu saling memakan.”

4. Sejarah Gerakan Kiri Indonesia Untuk Pemula – Yayak Yatmaka, Dkk
Penerbit: Ultimus
Kami sepakat sepenuhnya dengan kutipan ini “Pertama, buku ini menghadirkan sejarah indonesia dari perspektif kelas tertindas, kedua buku ini menghadirkan cara mempresentasikan sejarah yang berpihak dan karenanya mengajarkan cara mengambil sikap politik. Ketiga, buku ini menghadirkan secara begitu telanjang jenis-jenis kekerasan yang dilakukan terhadap anggota partai komunis dan ormas-ormasnya. Keempat, buku ini menghadirkan potret kebudayaan yanbg dibangun dari kolaborasi dengan kelas berkuasa dari era kolonial sampai Orde Baru, serta bagaimana gerakan rakyat tampil untuk menentangnya. Kelima, buku ini menghadirkan gaya lukis karikatural yang kritis secara terang-terangan dan bersemangat polemis.” Itu adalah kutipan kata pengantar dari Martin Suryajaya yang dengan sangat jelas menggambarkan mengapa buku SGKIUP ini menjadi buku yang penting tahun ini.

3.#Narasi: Antologi Prosa Jurnalisme – Wisnu Prasetya Utomo, Dkk
Penerbit: Pindai
Di tengah tren adu kecepatan jurnalisme 300 kata di industri media lokal, Pindai justru menerbitkan kumpulan tulisan jurnalisme sastrawi 80.000 kata pula memperkenalkan prosa jurnalisme ke wilayah daring. Buku ini memperlihatkan bahwa jurnalisme sama sekali tidak kaku, mereka bisa mencapai bentuk-bentuk bebas. Nikmati 18 tulisan naratif di buku ini yang menyerupai cerita pendek, bahkan buku catatan harian. Masing-masing melakukan eksplorasi dengan metafora, pengembangan karakter hingga penentuan sudut pandang. Salah satu yang paling ngehe adalah tulisan Andreas Harsono yang berjudul “Haokiao dari Jember” yang dijamin membuat anda memaki di akhir. Buku ini seperti pengingat kembali bentuk jurnalisme yang hakiki. Infomatif, mendalam, dan tetap menyenangkan selagi menuntun pembaca pada kebenaran.

2.Bakat Menggonggong – Dea Anugrah
Penerbit: Buku Mojok
Kumcer ini layaknya dilabeli buku harian, karena entah kenapa saya percaya betul emosi tokoh-tokoh yang disajikan dalam tiap ceritanya pernah dialami oleh si juru kisah. Kecerkasan penulisan dan ketidakinginan cerita-cerita di dalamnya untuk dipahami sedikit banyak mengingatkan pada Nine Stories milik J.D. Salinger. Keduanya sama-sama minta dibaca lebih dari dua kali. Kalau Nine Stories bikin emosi pembaca berganti di tiap judul, Bakat Menggonggong beda cerita. Beda judul tidak menghapuskan jati diri juru kisah: seorang milenial sedih, sinis, bosan hidup, dan kalau boleh menebak, pasti laki-laki–karena punya ego yang khas. Pembaca makin yakin kalau buku ini sebetulnya buku harian yang di-kumcer-kan. Meski tiap babak penuh dengan tedeng aling-aling, meminjam kata Wanda: hati yang remuk pasti bisa dipahami oleh siapa saja (hal. 72). Pertanyaannya, apakah Dea Anugrah tidak risih kita tahu segala soal batinnya?

1.Raden Mandasia – Yusi Avianto Pareanom
Penerbit: Banana
Yusi Avianto Pareanom menghebohkan jagat kesastraan nasional dengan kitab yang dilabelinya sebagai dongeng kontemporer. Yang kontemporer dari epos tebal ini kiranya adalah latar waktu cerita campur aduk—tentu dalam maksud yang baik. Dinarasikan oleh seorang pemuda bernama Sungu Lembu, kisah perjalanan heroik bersama putra mahkota kerajaan Gilingwesi yang sangat dibencinya—Raden Mandasia, menghisap perhatian pembaca.
Sangat mudah untuk menyukai buku ini, racikan antara tuturan coming of age, perjalanan penuh aksi, hobi janggal Raden Mandasia yang bikin liur menggenang membayangkan seporsi daging panggang setengah matang, petualangan cinta nan erotis, hingga referensi guyonan yang comot sana-sini. Diksi-diksi lawas makin menambah aduhainya pesona novel ini. Penunjuk waktu “sepenanakan nasi” dipakai kembali sejak kejayaan Bastian Tito. Jelas karya ini adalah jelmaan penawar kecewa untuk tahun 2016 yang banyak diwarnai kiamat-kiamat kecil.
*
*

1.Questioning Everything! – Tomi Wibisono & Soni Triantoro
Penerbit: WARNING Book
Tenang, ini ADVETORIAL. Andai penerbit dan penulisnya bukan kami sendiri, barang tentu kami muat di list buku terbaik 2016.
“Ada dua cara ampuh untuk memahami isi kepala seseorang: Pertama, sambangi tempat ia tinggal dan lihat koleksi bukunya. Kedua, luangkan waktu yang amat panjang dan ngobrol-lah dengan dia. Kalau tak punya waktu dan segan bertemu, baca saja wawancaranya. Adalah suatu hal yang patut disyukuri di tengah deruan zaman artikel distortif serba singkat nir-5W+1H masih ada anak-anak muda sudi berkutat berjam-jam mentranskrip dan menyunting wawancara panjang seperti yang ada dalam buku ini” – Ananda Badudu
“Sejak dulu, Yogya adalah salah satu dapur kreatif Indonesia. Kota ini selalu menyuplai kreator-kreator yang kemudian bersinergi dengan kreator-kreator dari kota lain untuk mengembangkan dunia kreatif negeri ini. Sejak mahasiswa, anak-anak muda di Yogya sudah terbiasa ditantang untuk mencipta dan membuka ruang mereka, baik secara kolektif maupun individu. Salah satu yang mencuat di Yogya, di era sekarang ini, adalah apa yang dilakukan oleh Tomi Wibisono dkk. Siapapun pasti mafhum, hanya dengan ketelatenan dan energi kreatif yang terus terpelihara, maka Warning Magz bisa ada dan tumbuh terus. Ini kerja yang luarbiasa.” – Puthut EA
“Ngobrol tentang musik, film, sastra, poster dan budaya populer lainnya bersama para nara sumber dengan segudang karya yang luar biasa (kecuali saya) adalah kenikmatan tiada tara saat membaca Questioning Everything: Kreativitas dalam Dunia yang Tidak Baik-baik Saja ini. Banyak tokoh yang mungkin Anda tak mengenalnya secara pribadi namun dijamin karya-karya mereka, lewat berbagai cara dan media pernah mampir di riuhnya kehidupan kita, dengan santainya (atau tergesa-gesa) berbagi aneka obrolan menarik di sini. Keliaran perspektif, cerdasnya arogansi, bahkan provokasi pemikiran ketat tersirat lewat buku milik kolektif literasi nekat asal Yogya ini. Walau diantarkan dalam gaya sastrawi namun buku ini tak akan membuat kening berkerut, cepat saji dan pastinya tidak kehilangan taji.” Wendi Puranto.
**Buku segera dicetak ulang tengah tahun.
