
Apa yang bisa mahasiswa lakukan selain belajar dan ngetweet? Tentu saja, demonstrasi. ups dewasa ini kata terakhir tadi sudah mulai usang, kini sebagian telah mengalihkan bentuk perjuangan dengan cara membuat event musik, ya, perjuangan untuk mengajak orang-orang bergembira di akhir pekan.
Tak peduli kemarau atau hujan, iklim permusikan di Jogjakarta mengalir dengan derasnya. Dalam beberapa bulan terakhir ini saja, di kala weekend, akan mudah ditemukan lebih dari 3 event musik. Seperti yang terjadi pada tanggal 15, saya mencatat setidaknya ada 8 event musik yang digelar hari itu. Tentu ini iklim yang bagus bagi kota yang terkenal sebagai gudang seni dan kreativitas.
Menyuguhkan sebuah acara musik, tak lagi menjadi ekslusifitas dari event organizer resmi. Hal yang menarik adalah, andil pelajar Jogjakarta yang turut memanaskan akhir pekan kita. Dalam 3 bulan tercatat ada 18 event yang digelar pembelajar di Jogja.Walau bukanlah hal baru, tentu ini merupakan sebuah progress yang positif.
Tidak hanya mengadakan sebuah event sebagai selebrasi atau ajeng pamer, mahasiswa-mahasiwa di Jogja ini cukup sukses menampilkan sebuah event berkualitas. Bintang tamu pun tak jarang berasal dari luar Jogja. Deretan nama besar seperti Mocca, ERK, The S.I.G.I.T, Glenn Fredly, Tangga, Endah N Rhesa, BLP, dan Jikustik hadir dalam event-event mereka. Sementara rentetan nama band-band tuan rumah seperti Endang Soekamti, Melancholic Bitch, FSTVLST, Death Vomit, Captain Jack dll, silih berganti mengokupasi panggung dengan E.O mahasiswa-mahasiswa ini.
Kata berkualitas tadi bukanlah isapan jempol belaka, sebagai contoh pada tanggal 25 Mei, Mahasiswa Teknik Pertanian UGM bisa survive tanpa trouble menggelar konser dengan guest star RAN. Pada tanggal yang sama juga berlangsung 2 konser besar lainya, yakni Pentas Puas dengan Endank Soekamti – Superman Is Dead dan Lockstock fest #2.
Masuk lebih dalam, event musik tidak hanya diorganisir oleh mahasiswa dari kampus arus utama. Pembelajar dari Poltekkes Kemenkes Yogyakarta dan STTA juga turut bertanggung jawab menciptkan padatnya event di akhir pekan.
Melihat aktivitas ini, terkadang membuat saya bertanya-tanya, bukannya dewasa ini sistem perkuliahan telah memaksa kita untuk pasif? Memaksa kita untuk datang ke kampus, kemudian pulang dan mengerjakan tugas. Saya semakin kaget, ketika mengetahui mayoritas event musik yang diadadakan mahasiswa yang berasal dari kampus eksak. Lihat saja, mulai dari Teknik Mesin, Industri, Minyak, Arsitektur, Sipil, Pertanian serta Geologi dan Geografi dari UGM, UPN, ATMA JAYA, silih berganti menggelar acara musik dalam tiga bulan terakhir ini.
Tentu kita tahu kampus eksak penuh dengan praktikum-praktikum yang menyita waktu. Pun begitu dengan yang non eksak, dan saya merasa kampus selalu menginginkan mahasiswa untuk cepat lulus. Ini berarti, mengorganisir sebuah event musik tidak memilki hubungan yang urgent bagi kegiatan akademis, bahkan bisa mengganggu jalannya perkuliahan.
Walau mungkin tidak didukung kampusnya, toh mahasiswa-mahasiswa ini tetap mengadakan event musik. Saya yakin bakal ada respon skeptis dari beberapa kalangan. Tentu dengan label mahasiswa, kemudian mengadakan sebuah acara hiburan, akan menjadi sasaran empuk kawanan konservatif. “Mahasiswa kok bikin acara musik, mahasiswa itu harusnya belajar, cepat lulus, karena kalian harapan bangsa” Wait, harapan bangsa? Lagi-lagi sebuah label usang. Faktanya pengangguran semakin bertambah seiring lulusnya ribuan mahasiswa tiap tahun. Di fase ini mahasiswa bertransformasi menjadi beban bangsa, sebelum kemudian bebas dan terpenjara lagi dalam dunia kerja.
Mengadakan sebuah event musik mungkin bisa menghambat kegiatan akademis, dengan kemungkinan terburuk memperlama waktu lulus. Namun teman-teman mahasiswa yang sukses mengorganisir event ini, menjadi bukti bahwa tak semua mahasiswa hanya menjadi robot sistem pendidikan. Setidaknya, sisi humanisme sudah mereka tunjukan dengan cara mengajak orang lain bergembira lewat event musik. Jadi, mengapa harus buru-buru menjadi beban bangsa? Setidaknya ajak orang bergembira dulu, mari buat event musik lagi. [Warning/Tomi Wibisono]
*opini ini juga diterbitkan di majalah MyMagz edisi Juli 2013