
Mari kita putar mesin waktu menuju tahun 1970. Apa yang terekam dalam benak memori manusia Indonesia? Tentu saja rezim Orde Baru yang begitu berkuasa. Menancapkan jemari-jemari konstitusionalnya demi visi yang kita sendiri hanya bisa mengiyakan dan terus berjalan sesuai kehendaknya. Sebuah masa dimana hanya butir-butir nafsu tahta yang menjadi pedoman kehidupan. Tapi tidak semua bisa dipaksa untuk tunduk dalam kungkungan otoriterisme. Di luar itu, banyak pihak yang tetap berani menyerukan idealisme kemajuan. Melantangkan gertak perlawanan. Tak peduli bagaimana nasib akan menghadang, sekali lawan selamanya akan terus berperang. Dan musisi menjadi salah satu garda terdepan mengepalkan tangan perjuangan.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi ketika pergerakan musisi saat dekade 1960-1970 begitu dibatasi. Terdapat perbedaan siginifikan jika kita telisik lebih dalam antara perkembangan musik di Orde Lama dan Orde Baru. Orde Lama menegaskan bahwa tidak boleh berkembang musik dari negara barat seperti Amerika Serikat. Hal ini bisa terjadi karena ideologi Soekarno yang saat itu cenderung ke arah kiri konservatif. Yang tetap melantunkan, silakan pergi ke tahanan. Sebagai kompensasinya, Soekarno getol mengarahkan para musisi untuk menggali musik khas Nusantara. Jadilah musik irama lenso hasil eksperimen Bing Slamet dan Jack Lesmana. Beda Soekarno, beda pula Soeharto. Era Orde Baru merupakan momentum musik Indonesia terbuka terhadap beragam varian jenis musik.Tidak ada isolasi yang dilakukan pemerintah. Meski demikian, bukan berarti segala sesuatunya akan berjalan beriringan. Sikap pemerintah yang anti-kritik mengakibatkan terhempitnya keleluasaan musisi untuk menyuarakan protes sosialnya. Tak selamanya aksi membatasi proses kreativitas ini berujung kenestapaan. Berada dalam tekanan propaganda birokrat elite, justru membuat musisi-musisi Indonesia semakin getol meneriakkan kritik sosio-budaya yang relevan. Nama-nama seperti Benny Soebardya, Duo Kribo, Panbers sampai The Brim’s adalah beberapa yang gemar beraksi lewat lirik-liriknya.
Kondisi berbeda memang terjadi di era sekarang tatkala kebebasan bersuara dijunjung tinggi ke haribaan. Pemerintah tak menutup kemungkinan untuk berpendapat. Keran demokrasi dibuka selebar-lebarnya. Tapi bukan berarti tak ada gerik perjuangan di tiap sudut. Tentu kita masih ingat keluarnya album kompilasi yang dibuat beberapa musisi bersama Greenpeace pada 2014. Menggandeng Navicula, Toni Q, Besok Bubar, Pandai Besi serta (((AUMAN))), mereka melantangkan keresahan terhadap lingkungan yang semakin dilahap habis oleh aksi kapitalisme korporasi. Dengan karya yang bertajuk Indonesia Adalah Pertiwi, vokal kritis melalui syair dan melodi mengaung kencang beradu rasa marah dan frustasi. Dan di sini pula peran sebuah album kompilasi menjadi penting sebagai tugu peringatan terhadap kondisi sekitar yang tak melulu seremonial belaka..
Meski mengalami paradoks momen yang jauh ke belakang, album kompilasi membentuk budaya produktif yang hadir secara konsisten di era orde bumi pertiwi. Para musisi bekerja sama untuk membuat album yang semarak tapi tetap menjunjung tinggi estetika masing-masing. Ada yang berkungkung atas nama sebuah festival, ada pula yang mengadu kemampuan dalam satu bejana. Sebuah album kompilasi pada era ini mempunyai visi berbeda dalam prosesnya. Tidak hanya menyerukan teriak ketidakpuasan pada pemerintahan, juga terdapat album kompilasi yang dikerjakan untuk mengenalkan jati diri negara pada dunia lewat musik melayu khas bangsa. Selain itu muncul pula rilisan kompilasi sebagai media berkumpulnya penyanyi pop potensial dalam etalase kompetisi nasional. Setelah mendalami secara intens, maka sudah ditetapkan daftar album kompilasi yang merepresetasikan hasil pikiran serta tujuan di momentum lama khazanah musik Indonesia dan ini adalah diantaranya:
1. Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso (1965)

Aroma campur tangan pemerintah begitu terasa di album ini. Dengan semangat program anti-baratnya, Soekarno menerjemahkan itu ke dalam nada, tarian dan irama yang pada nantinya publik kenal sebagai irama lenso. Dimotori oleh Bing Slamet dan Jack Lesmana, irama lenso mengambil intisari musik nusantara untuk dijadikan fondasi berkarya. Alhasil, jadilah sebuah album kompilasi berisi delapan buah lagu yang dinyanyikan beragam penyanyi seperti Rita Zahara dan Titiek Puspa. Nuansa folk yang berbaur bersama similiaritas pop melayu terdengar dominan. Tak jarang juga nada-nada melodius akordeon yang beradu dengan petikan Gibson seri lama menambah warna khas orkes irama pimpinan Jack ini. Balada seperti “Euis”, “Burung Kakak Tua”, “Soleram” sampai “Gendjer-Gendjer” menggambarkan semangat nasionalisme yang diagung-agungkan Soekarno sekaligus jadi kado terakhir darinya ketika menjabat presiden seumur hidup. Karena tak lama berselang, ia jatuh bersama tuduhan yang sampai sekarang masih menjadi misteri terbesar bangsa ini. Album ini dirilis bertepatan dengan ‘dasawarsa Konferensi Asia-Afrika’ pada tahun 1965 oleh Irama Record Indonesia.
2. Festival Lagu Populer Jakarta II (1975)

Jika ada yang menjadi album kompilasi pop berpengaruh sampai saat Ini tak lain dan tak bukan ialah saat Festival Lagu Populer Jakarta tahun 1975 silam. Baik secara musikalitas maupun gegar budaya yang ditimbulkannya, album ini seolah merepresentasikan apa yang terjadi di waktu itu dengan baik. Total ada 13 buah lagu yang direkam dalam satu rekaman pita ataupun piringan hitam. Di album ini pula lagu-lagu bernuansa pop dipertunjukkan kepada publik. “Pergi Untuk Kembali” yang dinyanyikan Margie Segers, “Getsemane” yang dibawakan oleh Hetty Koes Endang dan “It’s Never Hurt” yang dilantunkan Melky Goeslaw jadi panorama pop tersendiri kala kebebasan masih berstatus barang langka.
3. Festival Lagu Populer Jakarta III (1976)

Perkembangan musik pop berawal dari Jakarta. Sebagai pusat segala aktivitas, tak heran apabila Jakarta menjadi kiblat dari segala urusan. Terlebih di era Orde Baru sedikit informasi yang turun ke daerah-daerah, termasuk urusan musik. Untuk sebuah penyelenggaraan festival lagu, panitia seperti biasa menyediakan slot untuk pembagian lagu wajib dan pilihan. Di umurnya yang ke-4, lagu wajib yang harus dinyanyikan jatuh pada “Renjana” , sedangkan untuk lagu pilihan bebas sesuai selera masing-masing peserta. Adalah Grace Simon yang menjadi juara dalam perheletan tahunan tersebut. Membawakan “Bing” ciptaan Titiek Puspa ia mengalahkan pesaing-pesaingnya seperti Hetty Koes Endang, Eddie Silitonga, dan juga Margie Segers. “Bing” yang sejatinya diciptakan untuk mengenang kepergian Bing Slamet mendapatkan kategori lagu terbaik sekaligus menjadi salah satu hits terbesar di zamannya. Selepas festival, berselang kemudian rilis album kompilasi yang dibuat Pramaqua. Memuat sebelas nomor, album ini menyajikan aksi panggung yang direkam dari para peserta di Kuningan Theatre. Tujuannya jelas mengenalkan pada Indonesia deretan bintang besar kelak di suatu masa nanti. Album Festival Lagu Populer Jakarta juga menandai debut fenomenal dari deretan calon bintang papan atas dunia musik pop Indonesia seperti Hetty Koes Endang, Eddie Silitongan, dan juga Rafika Duri.Masing-masing mempunyai nomor andalah dari “Dia Yang Dilupakan” sampai “Biarlah Sendiri” yang catchy juga mempesona.
4. Festival Lagu Populer Jakarta IV (1977)

Setelah membuat gempar Indonesia dengan album kompilasi di tahun sebelumnya, kali Ini beberapa musisi yang mengikuti Festival Lagu Populer Jakarta melakukan hal sama lagi di tahun keempatnya. Bukan hal mengagetkan sebenarnya jika mengingat tahun 70-an adalah masa-masa terbaik bagi generasi penyanyi pop tanah air.Banyaknya potensi yang tersebar di sana-sini adalah bukti sahih tentang fenomena populis di realita.Ambil contoh saja Hetty Koes Endang, Berlian Hutahuruk, Margie Segers, Nina Nasution, dan juga Rien Djamain.Mereka lahir dari ajang kompetisi cipta lagu populer yang diselenggarakan oleh Pramaqua (Prambors-Aquarius) pada medio 1975-1977.Album kompilasi 1977 menampilkan balada-balada baru dengan penyanyi baru pula.“Kumbang Malang” oleh Diah Iskandar, “Takkan Kuulangi” dari John Tanamal merupakan beberapa contoh diantaranya. Melalui album kompilasi ini pula, musik pop Indonesia memiliki karakter tersendiri; kuat tapi tetap sentimental. Seluruh esensi lagunya berkisah tentang keputus-asaan cinta yang dibolak-balikkan secara sempurna tapi tetap memancarkan cahaya dibalik kamuflasenya. Dan ini ragam pop yang kita dambakan kehadirannya.
5. Various – Those Shocking Shaking Days (1970-1978)

Tidak perlu berpikir lama untuk menyatakan bahwa ini adalah album yang membelakkan mata dunia tentang musik Indonesia. Sebuah album kompilasi memuat bermacam band dengan aliran prog-rock, funk, sampai psikadelik yang begitu fenomenal. Tidak ada pengumbaran romantisisme, tidak ada kesenduan nurani, yang ada hanya seruan perlawanan otoriterisme lewat lirik sarkastik di dalamnya. Terdapat 19 komposisi di album ini. Nama-nama macam Koes Plus, Panbers, The Gang of Harry Roesli, AKA, Duo Kribo, Black Brothers, Benny Soebardja and Lizard sampai Golden Wing jadi pasukan terdepan di tengah peperangan. Mewakili efek minoritas dari enigma pengekangan, mereka dengan berani menyuarakan sisi gelap kekuasaan tanpa ragu. Dalam balutan semiotika psikadelik misal, The Gang of Harry Roesli mengkritik pemerintah lewat “Don’t Talk About Freedom” yang jelas-jelas terbaca kemana arah angin lagu ini bertiup. Lalu ada juga “Uang” garapan Duo Kribo yang berapi-api menyulut gelak ironi ketika mendengarkannya.
Berkarya tak mengenal keterbatasan.Apapun kondisinya, sudah menjadi harga mati untuk kaum kreatif seperti musisi-musisi kita di tengah kuasa pemerintahan.Tak peduli seberapa besar tekanan yang didapati. Hanya lewat nada dan irama mereka bisa menyampaikan apa yang semestinya tersampaikan. [WARN!NG/ Muhammad Faisal]