
Director: Woody Allen
Cast: Joaquin Phoenix, Emma Stone, Parker Posey, Jamie Blackley
Production: Gravier Productions – Perdido Productions
Year: 2015
Running time: 95 minutes
[yasr_overall_rating size=”small”]
Saya mencintai karya-karya Woody Allen apa adanya. Tidak terdapat tendensi berlebih tatkala menikmati plot yang rapi, obrolan berkualitas dua insan seputar hidup dan keanehan sistem semesta serta iringan scoring yang sensual kala masuk mengetuk lubang telinga. Sejak era Annie Hall (1977) atau Manhattan (1979) yang legendaris itu, raungan antusiasme terdengar saling berteriak lantang; menginginkan diri menjadi bagian yang hanyut di dalamnya. Memori seketika langsung menangkap salah satu kutipan favorit di film Woody, Stardust Memories (1980) yang diucapkan si manis Sandy Bates: “You can’t control life. It doesn’t wind up perfectly. Only-only art you can control. Art and masturbation. Two areas in which I am an absolute expert.” Maka tak butuh waktu lama untuk menulis nama Woody Allen sebagai sutradara idaman versi pribadi; meski tak bisa melenyapkan fakta bahwa ia digandrungi Raditya Dika.
Woody Allen juga seonggok manusia biasa. Tak semua hal yang dituangkannya dalam tungku sinema berakhir bahagia atau setidaknya mengundang decak pujian; walaupun produktifitasnya seolah tak luntur ditelan masa. Gayanya yang lihai memainkan sisi humanis dalam balut personal interest menjadikan patokan wajib bagi mereka yang berkeinginan lebih merangsang indera perasa. Tapi untuk sejenak coba lihat bagaimana Scoop (2006)—dibintangi Hugh Jackman dan Scarlett Johansson—yang hancur secara kualitas, Whatever Works (2009) yang terlalu dangkal entah kemana, sampai The Curse of Jade Scorpion (2001) yang percikan sihirnya kelewat buruk. Ketiganya mempunyai similiaritas penegasan akan deretan kegagalannya yang sulit dimaafkan. Namun jika melihat Hannah and Her Sisters (1986), Crimes and Misdemeanors (1989), The Purple Rose of Cairo (1985), dan Zelig (1983) yang lahir dari buah kecermelangannya, lontaran cerca di atas seketika sirna meluap tanpa jejak.
Di tahun 2016, Woody kembali memunculkan anatomi roman klasiknya lewat Café Society. Naga-naganya film tersebut merupakan yang pretensius semenjak era Blue Jasmine (2013) dan Magic in the Moonlight (2014). Tapi saya tak mau berandai-andai karena sebelum kehadiran Café Society yang memecah keramaian di hari pemutaran Cannes Film Festival, Irrational Man nyatanya lebih menarik untuk menemani kebuntuan pikir sembari menerka-nerka apakah daya sentuhnya masih relevan dengan zaman atau justru tertinggal jauh di belakang.
Irrational Man bercerita mengenai perjalanan Abe Luca (Joaquin Phoenix) yang tersusun atas kegetiran, ketidaktahuan arah, dan minimnya gairah untuk mendapatkan sesuatu; menghilangkan sepucuk ambisinya yang tak berbentuk apa-apa. Kesimpulannya: dia cukup kacau. Abe merupakan pengajar filsafat yang terdampar di sebuah universitas bernama Braylin. Berbicara tentang Abe tak ubahnya membaca perihal daftar riwayat hidup panjang yang berlapiskan pengalaman-pengalaman eksentrik. Ia pernah menjadi juru tulis medan perang di kawasan Asia Selatan, menghidupi waktunya dengan membuat sekumpulan naskah teologi Nazi, dan mungkin yang paling tragis adalah saat kekasihnya berpaling pada sahabatnya sendiri; membuat pribadinya terguncang dan berubah drastis tanpa harapan.
Seiring berjalannya waktu, perputaran roda di Braylin mengajak Abe untuk bergulat dengan konflik batiniah. Pertama, ia bertemu Rita (Parker Posey), dosen kimia yang mengajaknya kabur dari kebosanan Amerika dan menunjuk eksotisme tepian Spanyol sebagai pelabuhan akhir. Sebagai catatan, Rita sudah memiliki pasangan. Kedua, ia berkenalan dengan Jill (Emma Stone), mahasiswa kelas filsafat asuhannya yang lantas membuahkan jalinan intens; berujung ketertarikan bias cenderung rumit dan terlarang meski pada akhirnya Abe memotong gurat komitmennya dan larut dalam orgasme suci kepadanya. Sebagai catatan, Jill sudah memiliki pasangan.
Permasalahan tidak berpatokan pada kasus cinta segitiga yang melibatkan Abe, Rita dan Jill. Kompleksitas konflik memuncak ketika Abe yang kala itu berada di kedai pinggiran kota, mendengarkan secara tidak sengaja tentang perlakuan hakim beridentitas Spangler yang semena-mena kepada perempuan janda beranak satu. Batinnya berkata, ia tak ingin sekedar meluapkan teori-solusi semu dalam kasus ini namun juga berkehendak melakukan tindakan praktis (dan nyata). Ketidakadilan telah menuntunnya ke lubang pemaknaan hidup yang jauh. Lalu dirumuskanlah konspirasi unik, rapi sekaligus sederhana untuk melenggangkan pemurnian niat tersebut.
Seyogyanya tak perlu berpikir keras mengenai alur cerita Irrational Man. Banyak yang berujar Woody bukan tipikal penulis naskah mumpuni. Letakkan asumsi yang merajam karena ini menjelaskan lanskap Woody yang dipenuhi sarkasme cerdas, konflik batin yang terasa tajam hingga gertak dilematis yang begitu membuih klimaks. Apa yang dialami Abe sesungguhnya juga kita alami. Ia ditimbun cairnya demotivasi, tak mengerti betul apa yang menjadi kendaraan hidup; meski berpuluh tahun ia bercinta dengan ketebalan ajaran Kant dan Dostoyevski, memproklamirkan diri sebagai eksistensialis, berselang kemudian menguasai etika situasi serta berada di ujung Zabriskie Point.
Walaupun kritikan terhadap Irrational Man terbit silih berganti, saya melihat bahwa Woody berhasil mengungkap titik nadir dari permadani hidup. Ia berdalil jujur tentang kecemasan dan sikap pesimistis tanpa justifikasi moralitas yang abu-abu. Ditambah, peran Joaquin Phoenix yang fasih dalam memainkan pria misterius dengan kharisma natural; memeluk impotensi ranjang dan tenggelam lewat tenggak vodka di siang hari sungguh melebur padu. Tiap adegan yang melibatkan Phoenix dan Emma mengingatkan kehebatan Midnight in Paris (2011). Setidaknya Woody masih berada di zona aman. [WARN!NG/Muhammad Faisal]
Bahasanya gak enak dibaca bro. Terlalu puitis. Lain kali buat review bahasanya yg ringan ringan aja