Penulis: Nuran Wibisono
Penerbit: EA Books (2017)
“Sebentar lagi orang ini pasti akan merilis buku,” tukas saya ke beberapa sejawat dengan merujuk pada sosok Nuran Wibisono, jauh-jauh hari sebelum buku berjudul Nice Boys Don’t Write Rock N Roll ini rilis. Dari produktivitas dan rengkuhan sebaran karyanya, Nuran memang layak dilabeli salah satu penulis musik lokal dengan kiprah paling benderang setidaknya setahun terakhir. Ini tidak lepas juga dari wadah-wadah kepenulisannya yang memang merandai masa keemasan masing-masing. Sebut saja tahun 2017 adalah tahunnya Nuran. Tapi saya tidak akan merendahkan preferensi bacaan musik Anda yang tak tahu menahu tentangnya, karena tentu yang terpenting bagi saya adalah Anda membaca situs ini dan tulisan saya.
Saya pertama kali mengenal karya Nuran tatkala masih berstatus mahasiswa baru. Kala itu saya membaca artikelnya di situs Jakartabeat–yang juga tertampung di buku ini—bertajuk “Hair Metal vs Grunge: Perdebatan yang Tak Akan Pernah Usai.” Ia mengomparasikan Nevermind dan Appetite For Destruction dengan simpulan bahwa album yang disebut terakhir lebih unggul karena di antaranya digarap secara lebih kolektif dan punya kualitas materi yang lebih merata. Artikel tersebut adalah salah satu tulisan musik yang paling berkesan bagi saya selama ini. Alasan pertama, pahlawan musik seumur hidup saya adalah Guns N’ Roses dan Nirvana. Praktis, saya sudah takluk sejak dalam topik.
Kedua, kala itu saya belum punya pengalaman menulis musik sama sekali, dan serapan informasi musik saya sebatas dari majalah Rolling Stone dan segelintir media musik berpakem sama. Saya sejatinya tidak seia sekata dengan opini Nuran di artikel tersebut, tapi toh isinya memang bukan analisis yang berupaya keras tampak objektif dan rasional, melainkan sekadar kebawelan pemuja musik dengan wanti-wanti berbunyi “Anda setuju, ya alhamdulillah, kalau Anda tidak setuju,apa peduli saya?” Justru ini kemudian yang menyadarkan saya bahwa menulis musik ternyata bisa seseru dan semerdeka ini. Impresinya mungkin lain jika membacanya hari ini, tapi bagi saya yang masa itu masih tersandera film Realita Cinta dan Rock N’ Roll dan butuh pamer selera musik sebagai penandasan identitas diri, artikel itu menjadi penting. Aku ki cah GNR bro, you’re gonna die!!!
Ketiga, nama Nuran Wibisono sebagai penulis musik yang jatuh cinta pada Guns N’Roses dan hair metal telah terpatri di ingatan saya. Ini wajib dirayakan lantaran mencari penulis musik yang secara terbuka mengaku mengabdi pada Guns N’ Roses dan serumpunnya lebih sulit dibanding mencari penulis musik yang menyanjung-nyanjung Joy Division, My Bloody Valentine, Velvet Underground, atau bahkan nama-nama asing terpencil yang Tuhan saja belum tentu tahu. Kendati berstatus legenda, namun reputasi Guns N’ Roses tidak cukup terhormat di kalangan snob. Potret Guns N’ Roses memang berjarak dengan intelektualisme, terutama menilik liriknya yang misoginis dan melumangkan nilai-nilai emansipasi. Waduh, jangan lagi sebut Poison, Skidrow, Twisted Sister, atau kawanannya yang punya citra lebih tercela dan berbondong-bondong mencorakkan dekade 80-an sebagai periode yang diyakini paling norak di budaya populer, termasuk dari wilayah sinema dan busana.
Syahdan, kesan nostalgia saya terhadap artikel “Hair Metal vs Grunge, Perdebatan yang Tak Pernah Usai” ini sedikit banyak menjadi gambaran buku Nice Boys Don’t Write Rock N Roll.
Salah satunya, buku ini menjadi ajang bagi saya—yang menghabiskan waktu di SMP-SMU dengan padupadan fesyen berandal dan atribut feminin, lalu (entah ada relasinya atau tidak) berakhir benar-benar menjalin persahabatan hangat dengan beberapa gay—untuk mendapatkan afirmasi selera musik. Membaca buku ini seperti lepas dari alienasi karena jarang adanya tulisan lokal mengenai band-band hair metal yang bermutu. Bahkan, wawasan saya juga diperluas, karena Nuran mengulik lebih dalam dengan menulis soal Cinderella, Quiet Riot, dan bahkan Great White yang saya baru dengar namanya. Namun, selera saya juga sedikit meronta-ronta ketika mendapati Nuran tidak menyinggung nama Aerosmith, band kesayangan saya lainnya yang sebenarnya punya relasi dekat dengan Guns N’ Roses di penghujung dekade 80-an. Sementaraitu ia malahan menggaungkan nama Bon Jovi yang selama tiga dekade hanya pernah menghasilkan satu karya bagus, yakni intro “Livin On Prayer”. Aduduh, selera musik memang kadang bisa sama sensitifnya dengan selera bertuhan.
Jika menulis musik punya genre, maka kita bisa memetakan beberapa penulis musik lokal berdasarkan spesifikasi tulisannya. Ada Taufiq Rahman dengan ketajaman cakrawala politiknya, Idhar Resmadi yang andal menaruh konteks sosial dalam tiap amatan, Rudolf Dethu yang amat punk rock dan provokatif, Rio Tantomo yang sukses membawakan gonzo journalism dengan keterlibatan emosi disertai berjubel referensi miras plus narkoba di tulisan-tulisannya, atau Aris Setyawan dengan pendekatan etnomusikolog dan kajian budaya. Dalam petaan itu, Nuran mengisi posnya sebagai sosok pengisah. Ia melayani pembacanya dengan tuturan sejarah, sisi lain, atau trivia-trivia yang mengiringi objek tulisannya. Seperti isi kata pengantar dari Philips Vermonte, ”Mungkin karena dia (Nuran) lulusan Sastra Inggris, maka ia tak perlu tergopoh-gopoh untuk mengakses literatur, karya sastra, dan bacaan berbahasa Inggris“. Memang sebagian besar apa yang disampaikan Nuran ialah daur ulang dari konsumsi sumber-sumber literatur barat. Kendati terkesan kurang orisinil, namun hasilnya belum tentu sebaik ini jika tak diimbangi dengan kemampuan berbahasa dan pemerian yang mumpuni.
Membaca buku Nice Boys Don’t Write Rock N Roll juga menunjukan kecintaan sedalam jurang dari Nuran terhadap objek-objek tulisannya. Bergairah dan tanpa tedeng aling-aling, seperti jumlah halaman bukunya sendiri yang tak kenal kata “tanggung”. Bagai anak kecil yang berapi-api unjuk omong dan berlabun-labun dengan temannya perihal cerita serial animasi yang ditontonnya kemarin sore. Bahkan sisipan humornya pun punya watak tersendiri, yakni cenderung mengakar rumput, lantam, dan kadang membuat kita tersedak, seperti ketika ia menyinggung soal ukuran penis Tommy Lee. Mengutip Nuran di buku ini, musik yang hebat bisa melahirkan penggemar yang mencintaimu dengan keras kepala dan tanpa lelah. Aih, kepala Nuran pasti keras sekali.
Minat dan karakter tulisannya membuat Nuran seakan berjodoh menulis Sangkakala. Tiga liputan konser band glam rock sarat gimmick heboh ini begitu menarik. Parameter reportase konser yang baik menurut saya ada dua. Satu, membuat pembaca yang tidak hadir di acara bisa berempati dan seolah-olah datang ke acara itu. Dua, membuat pembaca yang sebenarnya hadir di acara kemudian mendapat sudut pandang berbeda terhadap pengalamannya menonton. Karena saya tidak datang di ketiga konser Sangkakala yang ditulis oleh Nuran, maka saya berada di posisi pembaca yang pertama, dan tulisan Nuran akhirnya membuat saya merasa benar-benar hadir di acara-acara tersebut. Ia cakap membangun atmosfer konser lewat teks narasi, serta mendeskripsikan kehuru-haraan yang diciptakan Sangkakala. Sisi gempar, jenaka, dan fiil gondes yang mewarnai jalannya acara kuat terpancarkan.
Tak hanya ulasan tentang Sangkakala yang membuktikan bahwasanya Nuran juga piawai mengeksekusi konten di luar khazanah hair metal dan musisi internasional legendaris. Saya juga akhirnya baru tahu kalau ia sempat menulis tentang Slank. Terdapat empat artikel yang awalnya digarap untuk proyek biografi Slank, namun kandas. Mungkin ini harta karun dari Nice Boys Don’t Write Rock N Roll. Keempat artikel itu berangkat dari wawancara dengan tokoh-tokoh penting yang bukan personel tetap Slank, yakni Bunda Iffet, Reynold Rizal (gitaris pengganti Pay yang mengisi album Lagi Sedih), Massto (adik Bimbim), dan bahkan Bob selaku pemilik kios kecil di bibir gang Potlot. Keempatnya menunjukan kecakapan Nuran untuk melakukan kerja jurnalistik berbasis wawancara sebagai bagian penggalian informasi turun lapangan.
Menilik daya produksi Nuran sebagai penulis yang terhitung subur, pastinya sulit bukan main memilih karya-karyanya yang terkorbankan untuk tidak disertakan dalam buku ini. Padahal, mungkin cuma almarhum Denny Sakrie yang paling bisa mendapat pemakluman untuk menerbitkan buku kumpulan tulisan lebih dari 500 halaman. Namun, masalah utamanya memang bukan semata di ketebalan, melainkan terdapat beberapa artikel dalam Nice Boys Don’t Write Rock N Roll yang sebenarnya bisa dilebur atau dipadatkan. Toh, tidak ada ayat kitab yang melarang suntingan terhadap konten-konten dalam buku kumpulan tulisan, kecuali jika konsepnya memang ingin setransparan mungkin dengan tujuan menunjukan perkembangan kualitas kepenulisan sang penulis. Tapi target ini pun tak tercapai karena Nuran tidak mencantumkan tanggal perilisan masing-masing tulisan. Absennya informasi set waktu penulisan ini bahkan juga menciptakan kebingungan konteks di beberapa artikel, terutama untuk artikel yang mengangkat musisi lokal baru seperti Silampukau, Gribs, dan Sangkakala. Patut disayangkan, karena ini seperti menampikkan dinamika yang terjadi dalam satu dasawarsa (2007-2017) selaku rentang waktu penggarapan seluruh tulisan di buku ini.
Ibarat musisi, buku kumpulan tulisan bisa ditakhtakan selaiknya album pertama. Nuran lantas berhasil mengintroduksikan dirinya sebagai penulis musik lokal yang berkarakter dan memiliki ceruk konten sendiri. Di bukunya, Nuran berujar bahwa album bagus adalah album yang masih didengar meski sudah lewat puluhan tahun. Tidak bisa untuk tidak setuju, tapi media berperan besar untuk itu. Maka Nuran sendiri punya akses dan kapasitas untuk menentukan karya mana yang bisa didengar puluhan tahun lagi. Jalannya memperjuangkan minat-minat musiknya di satu sisi memang rentan terjerembab dalam kubang glorifikasi atau mistifikasi kejayaan rock & roll, sebuah tantangan runyam bagi kabanyakan penulis musik. Tapi jika ia memang seteguh besi mengejar obsesinya bersenang-senang, maka mudah-mudahan ia bernasib sama dengan Nicki Sixx yang bernyali dan tak mati-mati, tapi jangan seperti Bon Jovi: berumur panjang, tapi membosankan.[WARN!NG/Soni Triantoro]
Yahut mas.. salam hormat!! Dri penggemar si tua yang tak habis bosannya “steven tyler”